“Kau ingin dunia yang seperti apa Hiro!?” tanya Karsu.
Sebuah tendangan melayang ke arah samping kepala pemuda itu. Ditangkisnya dengan gerakan tangan mengangkat bahu, untuk melindungi kepala. Pemuda itu menurunkan kuda-kudanya. Lalu melayangkan sikutan ke arah perut lawan tandingnya. Namun sang lawan melakukan flip ke arah belakang dua kali. Menghindar sekejap mata. Tatap mata mereka bertemu pada persimpangan jarak kuda-kuda.
“Aku ingin semua orang bisa bahagia.”
“Heaa!!”
Hiro melompat ke arah Karsu. Tendangannya membidik ulu hati sang lawan. Namun mereka setara gerak cepatnya. Berhasil dihindari serangan fatal itu. Sembari memantapkan pijakan kaki kanannya, tangan Karsu menangkap kaki Hiro yang sedang melayang. Itu bukanlah hal susah. Lalu dengan cepat melemparnya ke arah samping. Hiro terlempar beberapa meter, terguling dan kembali menyangga tubuhnya dengan satu lutut menempel tanah.
Napas kedua pemuda itu tersenggal. Entah sudah berapa jam mereka berlatih. Di tengah sawah yang habis di panen. Di bawah rembulan yang sedang benderang. Semilir angin tak ingin ketinggalan. Setelah memutuskan mengakhiri latihan dengan salam, tubuh mereka diterpa angin malam.
“Besok masih kerja?”
“Iya. Dan kamu?” Hiro menoleh.
“Kapan balik ke Surabaya?” Hiro mengambil napas panjang.
“Entahlah, semua serba sulit di sana.”
“Maksudmu?” Karsu tampak kebingungan.
Ini masa-masa akhir kuliah. Semua serba sulit. Teman-temannya mulai menghilang, dia harus segera mencari pekerjaan. Ditambah, adiknya akan masuk ke jenjang selanjutnya. Semua harus dilakukan setapak demi setapak. Tapi keadaan menyerangnya secara bersamaan. Di waktu yang sempit itu, pada momentum yang konstan, seakan di belakang mereka sudah berembuk menyusun strategi, lalu menyerang Hiro dari segala penjuru. Bertubi-tubi.
“Uang bukan segalanya, Hiro.”
“Tapi segalanya butuh uang. Ah, itu sudah hal lumrah, Kang.”
Temannya itu berdiri, mengambil kaus yang disampirkan pada pohon-pohon dekat sawah.