Ada semacam pola di masyarakat kita: begitu melihat tokoh agama, sebut saja kiai, tidak akur, seolah dunia akan kiamat esok hari. Padahal dari langit sejarah dan ayat-ayat suci, pesan yang turun justru kebalikannya: perbedaan itu bukan musibah—kepanikan kita lah yang sebenarnya masalah.
Nyatanya, salah satu doa Nabi Muhammad SAW yang mengharapkan agar umatnya tidak terpecah belah, justru tidak dikabulkan Allah: “Aku meminta tiga (hal) pada Rabbku, Ia mengabulkan dua (hal) dan menolakku satu (hal). Aku meminta Rabbku agar tidak membinasakan ummatku dengan kekeringan, Ia mengabulkannya untukku, aku memintaNya agar tidak membinasakan ummatku dengan banjir, Ia mengabulkannya untukku dan aku memintaNya agar tidak terjadi perpecahan dan kekerasan di antara mereka — namun permohonan itu tidak dikabulkan.” (HR. Muslim).

Bahkan dalam redaksi Al-Qur’an disebutkan sebagai pengingat kita: “Seandainya engkau (Muhammad) menginfakkan seluruh (kekayaan) yang ada di bumi, niscaya engkau tidak akan mampu mempersatukan hati mereka. Akan tetapi Allah-lah yang mempersatukan mereka. Sesungguhnya Dia Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS. Al-Anfal:63).
Artinya? Konflik bukan berarti kehancuran total. Ia adalah sunnatullah. Ia juga bagian dari fakta antropologis, sosial, bahkan teologis.
Manusia itu penuh nuansa—ego, pengalaman, keinginan, ilmu, madzhab, preferensi, dan karakter. Dipaksa seragam itu justru berbahaya. Keseragaman yang dipaksakan sering berakhir lebih mengerikan daripada konflik yang dikelola.
Impian Umat: Kiai Tanpa Konflik
Di benak sebagian besar masyarakat awam, kiai itu harus ideal:
rukun, adem ayem, saling support, dan berbicara pakai bahasa yang selalu sopan dan senada. Sehingga, idealitas tersebut, saat menemukan realitas konflik terbuka seperti saat ini, maka langsung dianggap “kiamat kecil”.
Padahal, sejarah Islam tidak pernah menampilkan utopia seperti itu. Sayyidina Ali RA berkonflik -bahkan berperang- dengan Muawiyah RA secara terbuka. Ummul Mu’minin Aisyah RA bahkan pernah berhadap-hadapan langsung dengan khalifah keempat tersebut di Perang Jamal.
Faktanya, manusia adalah makhluk dengan kecerdasan, argumentasi, dan pertimbangan-pertimbangan yang rumit—bukan malaikat yang memiliki satu pola pikir tunggal Kalau mereka saja bisa berbeda sangat keras, mungkin kita perlu maklum jika kiai zaman sekarang juga saling berdialektika yang tajam.
Konflik: Antara Sunnatullah dan Kematangan Organisasi
Konflik bukan hanya wajar dalam sebuah organisasi besar, seperti dialami Nahdlatul Ulama (NU). Bahkan dalam banyak kasus, ia sehat. Perkumpulan yang tanpa konflik sering terlihat damai, tapi di dalamnya stagnan, beku, dan bahkan rapuh.
NU sebagai jam’iyah besar justru menunjukkan kedewasaan dan kematangannya dengan dinamika internalnya. Bahasa halusnya: NU itu dinamis. Bahasa agak nakal dan sarkasnya: ya kadang ruwet, tapi ruwet yang produktif.
Selama tidak muncul dua PBNU—misalnya PBNU Sultan vis a vis PBNU Kramat—maka semuanya masih aman terkendali. Yang satu keras suara, yang satunya lebih sabar. Biasa saja. Yang satu pakai jalur tabayun-islah, yang satu jalur rapat pleno bersama. Wajar juga. Konflik adalah tanda organisasi ini hidup, tumbuh, dan berkembang.
Antara Konflik dengan Perpecahan
Ini poin penting. Banyak jamaah menganggap setiap perbedaan adalah perpecahan. Padahal bedanya jauh.
Konflik bisa menyehatkan. Ada panas, ada debat, ada tidak saling sapa, dan ada saling berstatemen. Tapi semuanya tetap dalam rumah besar NU. Kayak keluarga kandung yang kadang ribut soal warisan tapi tetap makan bareng pas Lebaran.
Beda kalau sampai terjadi perpecahan. Kalau sudah bikin NU tandingan. Misalnya NU versi A dan NU versi B, maka potensi kiamat sughra di tubuh NU akan terjadi. Dulu ada Gus Dur dengan Abu Hasan, tapi Allah tetap menjaga NU hanya satu sampai sekarang. Dan sampai saat ini —alhamdulillah— belum sampai terjadi, dan semoga tidak terjadi.
Bahkan kiai yang paling keras pun tahu batas. Mereka boleh jadi panas di dunia, tapi seperti kisah Alm. Gus Dur yang berbeda pandangan dengan Alm. KHR. As’ad Syamsul Arifin, sekarang -keyakinan saya- beliau berdua sama-sama bahagia di alam barzah. Sama-sama jadi Pahlawan Nasional. Dan sama-sama memiliki dampak yang signifikan bagi agama, nusa, dan bangsa. Keyakinan para santri, beliau para kiai yang pernah berkonflik sekarang saling gandengan tangan bersama Rasulullah SAW.
Kenapa Jamaah Panik?
Jawabannya sederhana: karena mungkin belum dewasa menyikapi konflik.
Banyak jamaah NU yang kaget dengan peristiwa ini. Umat tidak siap dengan konflik terbuka. Apalagi zaman medsos yang betapa mudahnya komentar netizen menyerang sana-sini. Apalagi bagi yang tidak suka NU, seakan ada momentum untuk menyerang dengan girang. “See? NU itu duniawi, rebutan jabatan, penuh konflik politik!”
Padahal kalau dicermati, para profesor matematika saja bisa beda jawab soal satu rumus. Apalagi para kiai yang ilmunya luas, kapasitasnya besar, logika sosialnya kompleks.
Masyarakat sudah punya ekspektasi bahwa para kiai menjadi simbol stabilitas emosional mereka. Padahal kiai itu manusia—dengan tugas berat, tekanan besar, dan tanggung jawab kemasyarakatan yang tidak ringan.
Tapi kadang lupa, bahwa mereka bukan robot spiritual. Mereka manusia biasa seperti kita semuanya.
Konflik Beradab: Dari Pedang ke Pengadilan
Kalau konflik di zaman kerajaan bisa sampai angkat senjata, perang, bahkan bunuh-bunuhan, namun konflik hari ini paling mentok saling sindir di media atau debat di forum organisasi.
Dan kalau forum internal mentok, selalu ada mekanisme modern yang lebih beradab: pengadilan. Mulai dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Kasasi, Peninjauan Kembali, dan seterusnya.
Apakah sistem hukum kita sudah ideal? Tentu saja belum. Tapi justru memilih jalur hukum menunjukkan bahwa kita masih punya titik temu: kita sepakat menyelesaikan masalah lewat jalur konstitusional, bukan menang-menangan.
Ini cara modern yang lebih beradab. Jamaah NU harus mulai naik kelas: lebih jernih, lebih khusyuk, dan lebih optimis. Tidak perlu mencaci salah satu faksi. Tidak perlu terprovokasi buzzer. Tidak perlu menganggap konflik sebagai bencana spiritual.
Kalau tukang bakso terkadang ributnya dengan sesama tukang bakso, masak kiai yang habitatnya sama, basisnya sama, jamaahnya sama, tidak boleh beda pendapat sesama kiai? Yang penting: tidak berlebihan, tidak saling membunuh, dan tetap saling hormat dan beradab.
Keseimbangan Baru
Setiap konflik adalah proses menemukan keseimbangan baru. NU pernah menghadapi masa yang panas seperti ini. Dan selalu keluar lebih matang, lebih dewasa, lebih kuat.
Kita tinggal menunggu bab berikutnya dengan adab seorang santri. Bukan dengan teriak-teriak. Bukan dengan menghardik nama kiai. Tapi dengan sikap: boleh berbeda, tapi tetap beradab. Boleh panas, tapi tetap satu rumah.
Pada akhirnya, sejarah akan mencatat momentum ini sebagai bagian dari perjalanan panjang NU—dan menjadi pelajaran penting bagi siapa pun yang berkhidmah di dalamnya.
Konflik tidak meruntuhkan NU. Yang meruntuhkan adalah kita—jika kehilangan adab dalam menyikapinya. Jadi, tetap tenang. Kiai berkonflik bukan tanda kiamat; itu tanda bahwa NU sedang tumbuh.
