لَقَدۡ خَلَقۡنَا الۡاِنۡسَانَ فِىۡۤ اَحۡسَنِ تَقۡوِيۡمٍ {٤} ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ {٥} إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ {٦}
Artinya: “Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (4), kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (7), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebaikan; maka mereka akan mendapatkan pahala yang tidak ada putus-putusnya (6).” (QS At-Tin [95]: 4-6)
Manusia diciptakan dalam ahsani taqwīm; dalam sebaik-baiknya bentuk, dengan anugerah tertinggi berupa akal yang sehat dan ilmu pengetahuan yang luas. Namun suatu waktu, saat karunia yang mulia itu tidak dipergunakannya dalam kebenaran, mereka dapat terjatuh ke dalam asfala sāfilīn; relung terendah, titik terhina hidupnya. Keberpalingan manusia dari esensi dan fitrah sucinya itu menenggelamkannya ke dalam kubangan nista, karena mereka telah menyia-nyiakan dan menyalahgunakan pemberian Tuhan yang sedemikian besar (Muhammad Sayyid Thanthawi, 1998: 446-447).
Hari-hari ini, untuk melihat bagaimana kandungan firman di atas ‘bekerja’, bisa kita saksikan wujud dan puncak ironinya saat seorang pejabat, yang cendekia, yang berlimpah harta–setelah disumpah jabatan atas nama Tuhan–terperangkap dalam kasus korupsi: betapa anugerah yang meruah, intelektualitas yang tinggi dan gelar kesarjanaan yang berjibun sempurna terlacuri oleh tindakan dan perilaku menyimpang dan memalukan. Maha Benar Tuhan atas segala firman-Nya.
Karena itu, betapapun fitrah dan esensi manusia diuraikan sedemikian suci, ia tidak dapat dijelaskan secara pasti, seperti esensi benda-benda mati. Manusia tidak seperti sebatang rokok, misalnya, yang esensinya dapat dilukiskan dengan jelas: bahwa ia diproduksi oleh seseorang, dengan konsepsi yang utuh di kepalanya tentang prosedur dan hingga tujuan pembuatan sebatang rokok tersebut. Dan terjadilah konepsi itu sebagaimana mestinya.
Adapun manusia, ia ada, terlahir ke dunia, kemudian membentuk esensinya sendiri. Seorang balita yang baru dilahirkan, misalnya, apakah ia akan menjadi pribadi yang baik atau buruk? Apakah ia akan menjadi seorang penolong atau penjahat? Apakah ia akan sukses atau gagal? Pertanyaan-pertanyaan di atas, akan terjawab semata-mata dengan apa yang ia wujudkan sendiri, dalam perjalanan panjang hidupnya. Esensi-esensi itu tidak dapat diuraikan sedini mungkin.
Manusia yang Tebelenggu
Hakikat penciptaan manusia, dalam hal ini, tidak sedikitpun dapat menjamin ‘laku kemanusiaannya’. Manusia, dengan setiap kesempurnaan yang dimiliki (ahsani taqwīm), sanggup menjadi pribadi yang kian luhur, lebih luhur dari para malaikat. Namun, dalam tarikan nafas yang sama, ia pula bisa menjadi sangat hina, bahkan lebih hina dari binatang (asfala sāfilīn). Manusialah yang menentukan sendiri, menciptakan sendiri esensi ‘kemanusiaannya’. Manusia bebas dengan sebebas-bebasnya menjadikan dirinya ‘apa’ dan ‘siapa’.
Kebebasan itu, ditengarai pula oleh posisi manusia, sebagai mandataris Tuhan di muka bumi. Nurcholish Madjid mendedahkan, fungsi manusia sebagai khalīfatuLlāh fil ardh menyiratkan ruang kebebasan bagi manusia untuk memilih sendiri jalannya, dalam rangka perbaikan hidupnya di muka bumi (Nurcholish Madjid, 1992: 230).
Di satu sisi, kebebasan manusia adalah simbol kemerdekaan yang hakiki. Pesona kebebasan yang menguar deras selalu dirindukan dan dielu-elukan oleh banyak orang. Namun di sisi lain kebebasan meniscayakan beban tanggung jawab yang besar. Kebebasan didasarkan pada pilihan, dan setiap saat manusia dituntut untuk menjatuhkan pilihannya. Kemudian, ia benar-benar bertanggung jawab penuh atas pilihannya itu. Singkat kata, kebebasan yang acap diagung-agungkan sejatinya tak berarti apapun, kecuali serupa sangkar yang memasung paksa manusia dalam hidupnya.
Setiap gerak manusia senantiasa terpulang pada ruang pertanggungjawabannya. Pertanggungjawaban itu tidak saja dalam waktu dekat, melainkan pula hingga kelak di akhirat. Manusia dituntut untuk siap menanggung setiap reaksi dan konsekuensi atas pilihan-pilihannya.
Makhluk Politik
Manusia tidak diciptakan sebagai makhluk yang statis, kaku, dan sepanjang waktu tetap seperti awal penciptaannya. Ia tidak seperti benda-benda mati yang terkungkung dalam wujudnya. Ia tercipta dalam sebaik-baiknya rupa (ahsani taqwīm), dibekali dengan akal fikiran yang luar biasa untuk ‘menjadi’ dirinya yang terbaik. Itulah apa yang oleh Jean-Paul Sartre, seorang filsuf abad ke-20, disebut sebagai ‘being for itself’; manusia ada ‘untuk’ dirinya. “Manusia,” ungkap Sartre, “bukan apa-apa selain apa yang ia buat untuk dirinya sendiri.”
Dalam hal ini, manusia berkuasa penuh dalam menerbitkan eksistensi dirinya. Ia, benar-benar berdiri di atas dirinya sendiri. Untuk mencapai kesejatiannya, manusia membutuhkan tindakan (action) dan karya (work). Saat ia berfpikir, berkehendak dan atau kemudian memutuskan, tidak ada yang benar-benar berubah pada eksistensinya, sebelum segala sesuatu itu terkonversi sebagai tindakan atau karya yang nyata. Hal itu, apa yang oleh Hannah Arendt, dalam The Human Condition, disebut sebatagai ‘Vita Activa’; kehidupan yang aktif.
Arendt menguraikan tiga tingkatan aktivitas eksistensial manusia. Pertama, kerja (labour). Manusia bekerja atas naluri alamiahnya, untuk memenuhi kebutuhannya. Bekerja tidak membutuhkan peran pikiran. Bekerja adalah aktivitas terendah manusia.
Kedua, karya (work). Berkarya adalah aktivitas menghasilkan sesuatu. Berkarya hanya memerlukan insting yang aktif. Manusia berkarya hanya dengan pemahaman alat dan tujuan; sebuah alat dibuat atas tujuan tertentu, yang diharapkan.
Ketiga, tindakan (action). Tindakan merupakan aktivitas tertinggi manusia. Ia tidak sekadar melibatkan naluri, insting dan intuisi, melainkan pula perenungan dan kerja pikiran yang mendalam.
Pada titik inilah manusia disebut sebagai makhluk politik (homo politicus); ia tidak saja hidup dengan naluri, insting dan intuisinya seperti halnya binatang. Ia merumuskan setiap langkah hidupnya, merancang visi dan misi, menyusun manuver-manuvernya secara sistematis, dan terciptalah kemudian sebuah tindakan. Tindakan yang membedakan manusia dengan binatang.
Kegiatan kontemplasi manusia–yang oleh Arendt disebut dengan ‘Vita Contlemplativa’–seperti berpikir, berkehendak, dan atau memutuskan, tidak berarti apapun pada konstruksi eksitensinya. Ia hanya bergemuruh sebagai ide, menderai sebagai teori dalam alam pikiran, yang seketika dapat dengan mudah hilang, lenyap atau menguap ke angkasa. Saat kontemplasi itu terbangun sebagai tindakan, saat itulah ia benar-benar nyata.
Reka cipta manusia yang dalam ahsani taqwīm, dalam sebaik-baiknya ciptaan, tanpa tindakan yang luhur adalah sebuah kekufuran. Sebab, tidaklah seseorang disebut bersyukur atas sebuah nikmat apabila ia menyia-nyiakannya. Tindakan adalah wujud manifestasi ahsana taqwīm dalam kehidupan. Tindakan adalah bukti kebersyukuran seorang hamba sahaya atas karunia Tuhannya. Tindakan adalah bentuk tanggung jawab makhluk di hadapan-Nya. Tindakan menasbihkan presensi manusia sebagai makhluk politik, makhluk Tuhan yang paripurna. Tindakan adalah koentji.
Referensi
Muhammad Sayyid Thanthawi. At-Tafsir al-Wasith lil Qur’anil Karim. Kairo: Dar al-Ma’arif, 1996.
Nurcholis Madjid. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan, 1987.
Julia Kristeva. Hannah Arendt Hidup sebagai Sebuah Narasi. Yogyakarta: Circa, 2019.