Fenomena nikah-hamil kian marak terjadi di Indonesia. Ada kecenderungan malah sudah dianggap lumrah dan seolah-olah telah menjadi bagian dari budaya yang berkembang di masyarakat kita. Padahal, jika terus-menerus dibiarkan, akan terjadi lagi dan lagi pada generasi seterusnya.
Yang dimaksud dengan nikah-hamil di sini ialah perkawinan seorang wanita dengan seorang pria di mana, saat dilakukan akad nikah, yang perempuan dalam kondisi hamil alias hamil di luar nikah. Dalam hal ini, baik yang menikahinya adalah laki-laki yang menghamilinya maupun oleh bukan laki-laki yang menghamilinya.
Dalam hal ini, ulama mazhab sepakat menetapkan hukum perkawinan wanita yang hamil di luar nikah adalah sah, apabila yang menikahinya itu adalah laki-laki yang menghamilinya, dan dibolehkan untuk berhubungan layaknya suami istri pada umumnya. Namun, Ibnu Hazm berpendapat keduanya boleh dikawinkan dan melakukan hubungan bila mereka sudah bertobat dan mengalami hukum dera (cambuk).
Lain halnya jika yang menikahinya itu bukan laki-laki yang menghamilinya. Menurut Abu Yusuf, tidak boleh mengawinkan wanita hamil dengan laki-laki yang bukan menghamilinya. Kalau dikawinkan dengan bulan lelaki yang menghamilinya, maka perkawinannya menjadi fasid atau batal.
Pendapat ini berdasarkan pada firman Allah Swt dalam QS An-Nur (24) ayat 3:
الزَّانِي لا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِين
Artinya: “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan kepada perempuan yang berzina atau perempuan musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.”
Selain itu, juga didasarkan pada hadits Nabi yang berbunyi:
ﺍﻦ ﺮﺠﻼ ﺗﺯﻮﺝ ﺍﻤﺮﺃ ﺓ ﻔﻠﻤﺎ ﺍﺻﺎ ﺒﻬﺎ ﻮ ﺠﺪ ﻫﺎﺤﺑﻠﻰ ٬ﻓﺮﺟﻊ ﺫﻠﻙ ﺍﻠﻰ ﺍﻠﻧﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻮ ﺴﻠﻢ ٬ﻓﻔﺮﻖ ﺒﻴﻧﻬﻣﺎ ﻮ ﺠﻌﻞ ﻠﻬﺎ ﺍﻠﺼﺪﺍﻖ ﻮ ﺠﻠﺪ ﻫﺎ ﻤﺎ ﺌﺔ
Artinya: “Bahwasannya seorang laki-laki mengawini seorang perempuan, maka ketika ia menikahkannya, ia mendapatinya dalam keadaan hamil. Lalu ia melaporkannya kepada Nabi Saw, maka Nabi Saw menceraikan keduanya dan memberikan kepada perempuan itu maskawin, kemudian dicambuk seratus kali.”
Namun, pendapat ini bertentangan dengan yang dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i. Menurut pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’I, seorang perempuan yang hamil di luar nikah dikawinkan dengan laki-laki selain yang menghamilinya adalah sah, karena perkawinan mereka tidak terikat dengan perkawinan orang lain. Hubungan yang dilakukan layaknya suami istri juga diperbolehkan, karena tidak mungkin nasab bayi yang dikandung itu ternodai oleh sperma suaminya.
Na’udzu billah min dzalik