Sebuah insiden viral di mesia sosial akhir-akhir. Terjadi persekusi terhadap orang-orang yang salat dengan memakai masker. Orang-orang yang hendak salat mengenakan masker di sebuah masjid diperkusi dan diusir oleh beberapa pengurus masjid. Peristiwa itu diketahui terjadi di Masjid Al-Amanah, Kelurahan Medan Satria, Kecamatan Medan Satria, Kota Bekasi, Jawa Barat, Selasa (27/4/2021).
Terlepas dari kejadian tersebut —yang tidak menggambarkan seseorang dengan kedalaman etika, karena pada saat peneguran itu dilakukan dengan cara yang kasar dan tidak beradab, bahkan hal tersebut terjadi di sebuah masjid yang seharusnya merupakan tempat terhormat—maka di sini kita dapat memetik hikmah terkait pemakaian masker dalam salat. Kita dapat mencermati lebih jauh, apakah memakai masker saat melaksanakan salat dilarang oleh Rasulullah? Jika pun iya, apakah tidak ada toleransi pada saat terjadi pandemi Covid-19 seperti sekarang ini?
Dari beberapa referensi yang penulis telusuri, memakai masker pada saat melaksanakan salat tanpa adanya maksud dan tujuan lain secara syari, hukumnya tidak boleh (haram?). Ada perbedaan pendapat terkait hal ini. Sebagaimana dijelaskan di dalam kitab Kasyifatus Sajah, Syeh Nawawi Al-Bantani mengatakan bahwa penggunaan masker saat salat tidak dilarang. Asalkan masker tersebut suci, maka diperbolehkan untuk dikenakan saat salat. Bila masker yang dipakai terkena najis, maka haram hukumnya dan salatnya tidak sah.
Sementara itu di dalam kitab Kutubus Sittah, ada sebuah hadis yang menjelaskan, “Dari Abu Hurairah RA, sesungguhnya Rasulullah SAW melarang sadl (menjulurkan pakaian) di dalam salat dan melarang seseorang menutupi mulutnya.” (HR Abu Dawud).
Hadis ini jelas-jelas mengatakan bahwa ada larangan dari Nabi Muhammad untuk memakai masker pada saat salat. Dalam hadis di atas dinarasikan sebagai penutup mulut. Hal tersebut dimaksudkan agar tidak terjadi kesulitan pada saat melafalkan bacaan-bacaan salat.
Kondisi Darurat
Di dalam beberapa keterangan terkait dengan kualitas hadis di atas dijelaskan sebagai hadis hasan. Kualitas hadis hasan di bawah satu tingkat dari hadis mutawatir. Perbedaannya terletak pada perawi yang dabith (hafal) dan dabith tam (hafalan kuat). Kalau dabith merupakan kriteria dari hadis hasan, sedangkan dabith tam merupakan kriteria dari hadis mutawatir. Menurut ulama hadis, kedua hadis tersebut dapat digunakan sebagai dalil dalam istimbat (pengambilan) hukum.
Namun, dalam kondisi tertentu, sesuatu yang haram dapat menjadi mubah bahkan wajib. Semisal daging babi, dalam keadaan normal, seorang muslim haram hukumnya mengonsumsi daging babi. Tetapi, pada kondisi darurat, tidak ada lagi menu makanan yang dapat dimakan, maka mengonsumsi daging babi menjadi boleh bahkan menjadi wajib jika kemudian jika tidak makan daging tersebut akan menyebabkan kematian.
Sama halnya dengan kondisi saat ini, ketika pandemi Covid-19 melanda negeri kita, bahkan seluruh dunia terdampak, maka menggunakan masker menjadi kewajiban. Karena kalau tidak, akan menyebabkan timbulnya gelombang malapetaka seperti yang terjadi di India saat ini.
Jadi memakai masker merupakan persoalan darurat sehingga pada saat salat pun kita harus memakai alat pelindung diri tersebut. Dalam kaidah fikih disebutkan, “Alhukmu yaduru ma’a ‘illatihi wujudan wa’adaman,” (ada tidaknya suatu hukum tergantung kepada illat atau sabab musabab). Saat pandemi Covid-19, memakai masker pada saat salat merupakan kebutuhan demi kemaslahatan kita bersama.
Merangkum Perbedaan
Lalu mengapa Syekh Imam Nawawi Al-Bantani di dalam kitabnya membolehkan memakai masker pada saat salat? Hal ini perlu kita cari hikmah di dalam perselisihan ini. Di dalam “hadis masker” Rasulullah melarang memakai penutup mulut yang menyebabkan bacaan salat kurang sempurna. Larangan tersebut, barangkali, menurut Imam Nawawi bukan larangan littahrim (keharaman), akan tetapi kesempurnaan salat. Jika dengan masker saat ini bacaan salat tidak terganggu, maka memakai masker merupakan sesuatu yang sah-sah saja.
Sama misalnya dengan hadis “La shalata lijaril masjidi illa filmasjidi,” (tidak ada salat bagi tetangga masjid kecuali di masjid). Sebagian ulama fikih berpendapat bahwa la shalata ini bermakna la kamila, yaitu kurang baik. Bukan kemudian salatnya tidak sah dan kalau salat di rumah haram dan mendapat dosa. Jadi di sini bukan suatu keharusan yang melahirkan keharaman, akan tetapi sebuah kesempurnaan yang jika dilakukan tidak menyebabkan dosa.
Pendapat Imam Nawawi tersebut jika dalam keadaan normal. Kalau dalam keadaan darurat, tidak normal karena adanya suatu sebab (misalnya Covid-19), maka memakai masker adalah sebuah kewajiban yang telah ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Dalam hal ini pemerintah yang telah menggandeng Menteri Agama, Menteri Kesehatan, MUI, dan lembaga terkait lainnya. Jadi, memakai masker pada saat pandemi Covid-19 masih mengancam merupakan suatu kewajiban, bahkan pada saat melaksanakan salat sekalipun. Wallahu A’lam!
Madura, 22 Ramadan 1442 H.