Alya selalu merasa lebih nyaman mengagumi orang-orang yang tidak mengenalnya. Tokoh-tokoh besar itu hidup dalam buku dan artikel, hadir melalui kutipan yang ia simpan rapi. Mereka memberinya gambaran tentang hidup yang berhasil: ide besar, keberanian, dan pengakuan. Mengagumi mereka terasa bersih tanpa keterikatan emosional, tanpa kewajiban membalas apa pun. Ia pun belajar meniru cara mereka berbicara, bahkan cara mereka diam. Dalam pikirannya, menjadi hebat berarti dikenal; menjadi bermakna berarti disebut oleh banyak orang.
“Kalau jadi seperti mereka,” katanya suatu sore, setengah berbicara pada dirinya sendiri, “hidup pasti berarti.”

Di rumah, kehidupan berjalan dengan ritme yang tidak pernah ia pertanyakan. Ibu selalu bangun lebih dulu, memastikan segalanya tersedia sebelum Alya menyadari ia membutuhkannya. Kehadiran ibu begitu rutin hingga kehilangan keistimewaannya; ia berubah menjadi latar, bukan subjek. Menemukan idola yang dapat dijadikan panutan pada saat ini tentu sangat mudah, banyak sekali orang-orang dengan segudang prestasi dan jasa yang di torehkan. Bagi kaum perempuan, sejumlah tokoh selalu dijadikan inspirator agar perempuan dapat tumbuh dan berdikari, minimal untuk kemerdekaan diri nya sendiri.
“Pilih satu figur yang paling memengaruhi cara berpikir kalian kumpulkan minggu depan!,” ucap Ibu Ningsih. “Bukan yang paling terkenal, tapi yang paling berpengaruh.”
Alya tersenyum tipis. Ia yakin jawabannya sudah jelas. Ia tinggal memilih salah satu tokoh yang gambarnya memenuhi kamar kecil dan buku catatannya. Alya memiliki tekad dan cita-cita besar, menjadi aktivis perempuan adalah kesempatan besar baginya untuk dapat berkontribusi untuk kemajuan peran perempuan, sehingga ia mulai menyukai sosok dengan rekam jejak hidup yang tangguh.
Namun malam itu, di depan layar laptop yang kosong, keyakinan itu runtuh. Ia menuliskan satu nama, lalu menghapusnya. Nama lain menyusul, lalu ikut terhapus. Semua terasa seperti jawaban yang dipaksakan.
“Kenapa susah sekali,” gumamnya.
