Alya selalu merasa lebih nyaman mengagumi orang-orang yang tidak mengenalnya. Tokoh-tokoh besar itu hidup dalam buku dan artikel, hadir melalui kutipan yang ia simpan rapi. Mereka memberinya gambaran tentang hidup yang berhasil: ide besar, keberanian, dan pengakuan. Mengagumi mereka terasa bersih tanpa keterikatan emosional, tanpa kewajiban membalas apa pun. Ia pun belajar meniru cara mereka berbicara, bahkan cara mereka diam. Dalam pikirannya, menjadi hebat berarti dikenal; menjadi bermakna berarti disebut oleh banyak orang.
“Kalau jadi seperti mereka,” katanya suatu sore, setengah berbicara pada dirinya sendiri, “hidup pasti berarti.”

Di rumah, kehidupan berjalan dengan ritme yang tidak pernah ia pertanyakan. Ibu selalu bangun lebih dulu, memastikan segalanya tersedia sebelum Alya menyadari ia membutuhkannya. Kehadiran ibu begitu rutin hingga kehilangan keistimewaannya; ia berubah menjadi latar, bukan subjek. Menemukan idola yang dapat dijadikan panutan pada saat ini tentu sangat mudah, banyak sekali orang-orang dengan segudang prestasi dan jasa yang di torehkan. Bagi kaum perempuan, sejumlah tokoh selalu dijadikan inspirator agar perempuan dapat tumbuh dan berdikari, minimal untuk kemerdekaan diri nya sendiri.
“Pilih satu figur yang paling memengaruhi cara berpikir kalian kumpulkan minggu depan!,” ucap Ibu Ningsih. “Bukan yang paling terkenal, tapi yang paling berpengaruh.”
Alya tersenyum tipis. Ia yakin jawabannya sudah jelas. Ia tinggal memilih salah satu tokoh yang gambarnya memenuhi kamar kecil dan buku catatannya. Alya memiliki tekad dan cita-cita besar, menjadi aktivis perempuan adalah kesempatan besar baginya untuk dapat berkontribusi untuk kemajuan peran perempuan, sehingga ia mulai menyukai sosok dengan rekam jejak hidup yang tangguh.
Namun malam itu, di depan layar laptop yang kosong, keyakinan itu runtuh. Ia menuliskan satu nama, lalu menghapusnya. Nama lain menyusul, lalu ikut terhapus. Semua terasa seperti jawaban yang dipaksakan.
“Kenapa susah sekali,” gumamnya.
Dari dapur, suara langkah kaki terdengar. Ibu muncul sebentar di ambang pintu.
“Sudah makan?”
“Belum, Bu.”
Ibu mengangguk, tidak bertanya lebih jauh. Ia kembali ke dapur, seolah percakapan itu sudah cukup.
Alya kembali menatap layar. Ia menyadari sesuatu yang selama ini ia hindari: ia memilih figur-figur jauh karena tidak menuntut keterlibatan. Ia bisa mengagumi tanpa harus berterima kasih, terinspirasi tanpa harus merasa berutang. Ia bangkit dan berjalan ke ruang tengah. Ibu sedang melipat pakaian, gerakan yang sama, rapi, nyaris mekanis. Alya memperhatikan untuk pertama kalinya betapa hidupnya bertopang pada pengulangan yang tidak pernah ia anggap penting.
“Kok Ibu nggak capek?” pertanyaan itu meluncur tanpa rencana.
Ibu berhenti sejenak. “Capek,” jawabnya singkat. “Tapi kalau tidak dikerjakan, nanti numpuk.”
Tidak ada nada heroik dalam jawabannya. Justru di situlah Alya merasa terguncang. Keteladanan yang selama ini ia cari ternyata tidak berbentuk pidato atau keputusan besar, melainkan kesediaan untuk tetap bertahan dalam hal-hal kecil yang berulang.
Malam itu, Alya kembali ke kamarnya dengan perasaan yang tidak nyaman. Menulis tentang tokoh besar berarti mempertahankan jarak yang aman. Menulis tentang ibu berarti mengakui betapa sering ia lalai, betapa banyak yang ia terima tanpa benar-benar melihat.
Ia memilih kejujuran, meski tidak menyebutkan semuanya secara gamblang. Dalam tulisannya, Alya menulis tentang pengaruh yang bekerja dalam diam—tentang seseorang yang membentuk hidup orang lain bukan dengan kata-kata besar, melainkan dengan kehadiran yang konsisten.
Pagi berikutnya, sebelum berangkat kuliah, Alya berdiri di dekat pintu.
“Bu,” katanya ragu.
“Iya?”
“Terima kasih.”
Ibu menoleh, sedikit heran. “Terima kasih kenapa?”
Alya menggeleng pelan. “Nggak apa-apa.”
Ia melangkah keluar rumah dengan kesadaran baru: bahwa selama ini ia terlalu sibuk mengagumi orang-orang yang jauh, hingga lupa bahwa teladan paling nyata justru tinggal bersamanya, dalam wujud seorang ibu yang tidak pernah meminta untuk dijadikan idola.
Namun kesadaran itu tidak serta-merta menjelma menjadi keberanian. Di kelas, Alya kembali duduk dengan punggung tegak dan wajah tenang, seperti biasa. Teman-temannya mulai membacakan esai masing-masing. Nama-nama besar kembali memenuhi ruangan: aktivis, pemikir, tokoh perempuan yang fotonya sering menghiasi poster-poster motivasi. Setiap kali satu nama disebut, Alya merasakan getaran kecil di dadanya—bukan iri, melainkan keraguan yang belum sepenuhnya selesai.
Ketika gilirannya tiba, Alya berdiri sambil membawa kertas yang sejak semalam ia baca berulang kali. Tangannya sempat bergetar, lalu ia menahannya.
“Saya menulis tentang seseorang yang tidak pernah berdiri di mimbar,” ucapnya pelan. “Ia tidak memimpin massa, tidak menulis manifesto, dan mungkin tidak akan pernah disebut dalam buku sejarah.”
Ruangan mendadak hening. Alya melanjutkan, suaranya lebih stabil.
“Ia mengajarkan ketahanan bukan lewat kata-kata, melainkan lewat pengulangan. Lewat kesediaan untuk tetap hadir, bahkan ketika tidak ada yang melihat. Dari dia, saya belajar bahwa keberanian tidak selalu tampak seperti perlawanan—kadang ia justru tampak seperti kesetiaan.”
Ia berhenti sejenak. Tidak ada nama yang disebut. Tidak perlu.
Ibu Ningsih mengangguk perlahan. “Pengaruh memang tidak selalu spektakuler,” katanya. “Justru yang paling membentuk sering kali bekerja paling diam.”
Sepulang kuliah, Alya berjalan kaki lebih pelan dari biasanya. Ia menyadari bahwa selama ini ia memaknai perjuangan perempuan hanya sebagai sesuatu yang berada di ruang publik: orasi, advokasi, dan pengakuan. Ia lupa bahwa ada perjuangan lain yang sama beratnya, yang tidak tercatat, tidak dirayakan, namun menopang segalanya.
Malam itu, ia duduk di ruang tengah lebih lama. Ibu sedang menyetrika, uap panas naik pelan ke udara.
“Bu,” kata Alya tiba-tiba, “kalau Ibu punya pilihan lain dulu… Ibu mau?”
Ibu terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. “Pilihan itu selalu ada. Tinggal mana yang sanggup dijalani.”
Jawaban itu sederhana, tapi menetap lama di benak Alya. Ia menyadari bahwa menjadi perempuan tidak selalu tentang memilih jalan paling terlihat, melainkan tentang bertanggung jawab pada pilihan yang diambil—apa pun bentuknya.
Sejak hari itu, tidak banyak yang berubah secara kasatmata. Ibu tetap bangun lebih dulu, rumah tetap berjalan dengan ritmenya. Tetapi Alya berubah dalam caranya melihat. Ia tidak lagi memisahkan kekaguman dan kedekatan, tidak lagi menempatkan teladan hanya pada jarak yang aman.
Ia tetap ingin menjadi aktivis. Ia tetap ingin berkontribusi. Namun kini ia tahu, perjuangan tidak selalu dimulai dari panggung besar. Kadang ia bermula dari rumah—dari seseorang yang mengajarkan arti bertahan, tanpa pernah meminta untuk dipuja. Dan untuk pertama kalinya, Alya merasa bahwa makna tidak selalu perlu disebut oleh banyak orang. Cukup dijalani, dan diteruskan.
