Sejak diturunkan Islam sudah menjadi penyempurna ajaran agama-agama sebelumnya. Selain penyempurna, Islam juga mengubah pandangan kaum jahiliyah di kota Mekkah —kota di mana Islam diwahyukan kepada Nabi. Menukil Ibn Rusyd, Islam hadir untuk mewujudkan moralitas luhur, kebaikan dan kasih-sayang, bukan untuk melahirkan kerusakan, kebodohan, dan kebencian. Inilah tujuan semua agama dan jalan yang ditempuh para bijak bestari dan orang-orang yang berakal.
Namun, tidak mudah mengubah kepercayaan dinamisme masyarakat jazirah Arab kala itu. Dibutuhkan konsep dan strategi yang teoat, tidak langsung menohok pada hal-hal yang sudah mandarah daging di kalangan masyarakat luas. Maka, dakwah dengan konsep dan model santuy lebih diterima di kalangan luas. Tersebab untuk hal yang sudah mandarah daging dibutuhkan waktu dan konsep yang benar-benar telaten serta mengena pada inti.
Islam sebagai agama wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad seolah menjadi respons bagi segala problem yang menimpa muka bumi. Sehingga prioritas utama bagi Islam tiada lain adalah mengedepankan kemaslahatan. Berdakwa tanpa harus merusak, tanpa harus memasukkan unsur-unsur kekerasan. Apalagi mudah menyalahkan sesama muslim yang tidak sepaham.
Tugas kita hanya mengajak menggunakan metode-metode yang sekiranya membuat orang tertarik dengan pemahaman kita terhadap agama Islam itu sendiri. Membuat orang-orang tertarik untuk memahami Islam sampai ke akar rumput. Yang kemudian bisa diaplikasikan pada kehidupan sehari-hari. Dengan begitu, cita-cita Islam sebagai sumber segala bentuk kemaslahatan mudah dicapai dan bisa diterima di kalangan luas.
Dalam tilikan historis, Islam di masa Nabi tidak menggunakan tindak kekerasan sebagai jalan pintas. Seandainya Nabi mengambil metode yang cukup ekstrem, mungkin kota Thaif sudah dihujani gunung. Tetapi karena kearifannya, maka Nabi tidak mengizinkan malaikat menimpakan gunung pada dataran Thaif.
Itu adalah sebuah contoh kecil dari Nabi dalam berdakwah. Bagaimana agama disampaikan dengan cara paling lembut dan adem-ayem. Maka interpretasi terhadap sejarah perlu diberlakukan sebagai alamat kita menempuh jalan ke depan. Karena yang terpenting dari sejarah bukan kebenaran, melainkan aspek-aspek inspiratif yang berkelindan dengannya.
Dari itu penelaahan terhadap sejarah perlu dilakukan. Agar kita—utamanya para dai—tidak terjerumus pada metode ekstrem pensyariatan di kalangan umat. Tidak mudah menuduh kafir sesama muslim yang hanya berseberangan pendapat. Apalagi dalam hal-hal yang bersifat cabang(furuiyyah).
Terlepas dari masalah pokok, semisal kewajiban salat, zakat, puasa, dan sebagainya. Itu penting diwujudkan sebagai jalan membentuk kacamata orang tentang Islam. Karena, dari sekian banyak orang yang berteriak jihad fi sabilillah atas nama Islam, sambil melaksanakan praktik bom bunuh diri. Itu sudah sedikit menodai Islam sebagai agama penyandang status rahmatan lil alamin.
Juga yang seharusnya jadi cerminan, metode dakwah Wali Songo di Tanah Jawa. Metode penggabungan teks-teks agama dengan tradisi sosial budaya. Sebuah terobosan mencengangkan yang dilakukan para ulama terdahulu dalam penyempurnaan penyebaran Islam. Semisal, Sunan Kalijaga memasukkan doktrin-doktrin agama dalam pementasan wayang kulit. Dari hal-hal kecil demikian sebuah perubahan dapat diwujudkan . Doktrin agama akan menyatu dengan tubuh masyarakt luas.
Kalau ditarik pada konteks kekinian, kita harus mampu menguasai media (utamanya media sosial) dalam berdakwah. Mengunggah konten-konten bernuansa Islam di kanal-kanal Youtube, Facebook, dan lain-lain. Tidak perlu melarang mengoperasikan sebuah media selama media tersebut masih bisa menyebarkan kebaikan meski sebesar zarrah. Tugas kita hanya mengasah kemampuan memonopoli media dalam menyebarkan doktrin-doktrin agama Islam yang paling efektif.
Karena, dalam menyampaikan sesuatu kita dituntut untuk melakukan relevansi-relevansi dengan zaman. Menangkal kejumudan berpikir dan keterbelakangan dalam bertindak. Sebab, bagaimana pun teks-teks dalam Islam harus dilakukan pengajian ulang untuk menyesuaikan dengan zaman.
Lalu kenapa harus demikian? Karena, diakui atau tidak, dakwah tidak boleh terpaku pada majlis-majlis dan pengajian-pengajian umum. Dakwah harus lewat berlapis-lapis cara. Dan dengan begitu doktrin Islam paling santai akan mudah terwujud.
Mengutip pernyataan Syaikh Khudri Bik di dalam kitab Tarikh Tasyri’, ada beberapa konsep dalam dasar-dasar pensyariatan. Pertama, adamul kharaj atau tidak ada paksaan. Begitu pula dalam mengajak pada ajaran agama, tidak boleh ada frasa pemaksaan. Kedua, taqlilu takalif, yaitu meminimalisasi beban. Ketiga, at-tadarruj, yakni bertahap dalam mengajarkan doktrin agama melalui proses sampai dan waktu tertentu.
Terakhir, semua butuh waktu. Segala bentuk proses membutuhkan strategi dan konsep-konsep tertentu. So, ber-Islam secara santai adalah satu dari sekian konsep ekspansi doktrin agama di negeri tercinta ini. Mengingat kita hidup di negara yang plural, tidak mengedepankan golongan sendiri dan harus memikirkan golongan lain. Wallahu a’lam.