Dalam tataran masyarakat akar-rumput, perbedaan agama menjadi hal bersifat aib, tabu, sekaligus rawan. Pasalnya, perbedaan ini lalu mengarah kepada kebencian yang berakibat perpecahan bangsa. Apalagi bagi kaum-kaum Islam radikalis-tekstualis, boro-boro beda agama, lha wong beda mazhab atau pemahaman Islam saja dikatakan kafir. Jika sudah dicap kafir, kemudian dinyatakan sebagai musuh Islam sehingga boleh dibunuh. Halal darahnya.
Mereka seringkali membawa-bawa nama Tuhan dalam setiap aksinya. Padahal, aksi mereka itu jelas-jelas bertentangan dengan apa yang Tuhan ajarkan. Misalnya dengan seabrek terorisme yang menimpa negeri ini, seperti aksi bom Bali, bom Sarinah, ataupun dengan aksi perusakan tempat-tempat ibadah agama lain. Padahal jelas-jelas Islam mengharamkan semua perbuatan yang melukai kemanusiaan.
Kebencian dengan membawa-bawa nama Tuhan, memang sulit diobati. Mereka akan tetap ngeyel walau sudah berkali-kali diberi argumentasi yang shohih dan shorih. Jatuhnya ialah mencelakai agama itu sendiri.
Agama Islam oleh beberapa orang, lalu dianggap sebagai agama yang mengajarkan kekerasan dan anti kedamaian. Barangkali, inilah yang membuat semakin merebaknya islamofobia. Seperti candaannya seorang teman, bahwa dulu kumandang takbir menggetarkan hati dan mengharukan, saat ini teriakan takbir justru mengundang hawa ketakutan. Sebabnya, lafal takbir sering dibarengi dengan penggerebekan dan aksi massa oleh kaum-kaum Islam radikalis, sembari membawa pentungan, untuk melawan pihak-pihak yang tidak setuju dengan mereka.
Kaum Islam radikalis, sejatinya disinyalir memiliki cara pandang yang kaku dalam segala hal. Intinya, jika segala sesuatu—entah budaya, ekonomi, politik, dll—tidak sesuai dengan apa yang mereka pahami, akan dicap sebagai kafir-dosa yang pada hilirnya, mereka akan memusuhinya dan membolehkan, bahkan mewajibkannya untuk menumpas hal-hal tersebut dengan segala cara, sekalipun dengan kekerasan.
Mereka memaknai Islam secara laterlek, persis dengan harfiah yang Al-Quran ataupun Hadis katakan. Padahal, sudah masyhur dan disepakati oleh para ulama bahwa dalam memahami dan menafsirkan Al-Quran, harus melibatkan banyak hal, misal maqashid syariah-nya, asbabun nuzul, asbabul wurut, mantiq, konteks masyarakat ketika diturunkannya Al-Quran ataupun Hadis, nasakh mansukh, dan seabrek keilmuan lainnya.