Jaringan ulama merupakan satu kerangka teori dalam membaca sejarah Islam di Nusantara. Sejauh yang saya tahu, Jaringan Ulama, karya Azyumardi Azra (1993), adalah penelitian awal yang secara serius mengkaji jaringan ulama Nusantara. Tidak heran kalau kemudian teori jaringan ulama di Nusantara identik dengan sosok intelektual Muslim ini.
Karya Azra menjelaskan, bahwa jaringan ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara, pada abad 17 dan 18 M, membawa akar pembaruan Islam di Nusantara. Perkembangan Islam pada masa ini bercorak neo-sufisme. Ini menghasilkan Islam Nusantara, dari yang awalnya bercorak amat sufistik-mistik, menjadi Islam yang punya corak tasawuf berpadu syariat.
Perkembangan Kajian
Setelah karya Azra, muncul karya-karya selanjutnya yang mengkaji Islam Nusantara dengan melihat peran jaringan ulama. Pada pasca-karya Azra ini, jaringan ulama agaknya sudah tidak lagi seperti apa yang ia katakan sebagai kajian yang telantar. Sebab, kajian ini mulai mendapat perhatian. Ya, meski tidak dominan.
Atlas Wali Songo, karya Agus Sunyoto (2012), meski tidak secara khusus mengulas jaringan ulama, namun dapat dibilang termasuk buku yang mengkaji jaringan ulama Nusantara. Tepatnya jaringan Wali Songo.
Sunyoto dalam karyanya menjelaskan dakwah para wali di tanah Jawa yang terhubung dalam jaringan Wali Songo. Kelebihan karya Sunyoto dari karya-karya terdahulu yang menjelaskan Wali Songo, adalah ia tidak terjebak pada cerita karomah, namun mampu menjelaskan jaringan Wali Songo sebagai fakta sejarah.
Al-Jawi al-Makki: Kiprah Ulama Nusantara di Haramain, karya Amirul Ulum (2017), juga perlu saya sebutkan dalam pembahasan perkembangan kajian jaringan ulama Nusantara. Karya Ulum dapat dibilang melanjutkan kerja Azra. Sebab keduanya mengkaji jaringan ulama Nusantara yang terbentuk di Haramain. Ulum menyebutnya sebagai jaringan al-Jawi al-Makki. Bedanya, Azra mengkaji jaringan al-Jawi al-Makki abad 17 dan 18 M, sedangkan ulama-ulama Nusantara yang Ulum jelaskan dalam bukunya adalah para ulama abad ke-19 dan ke-20 M.
Jaringan ulama dalam karya-karya di atas, Wali Songo dan al-Jawi al-Makki, dapat kita kategorikan sebagai jaringan ulama Nusantara pada level nasional dan global. Kiprah jaringan ulama di level lokal sering kali terabaikan.
Azra dalam pengantar bukunya menggunakan istilah “jaringan yang terlupakan” untuk menyebut kondisi ini. Padahal, peran ulama di level lokal tidak kalah penting dalam perkembangan Islam di berbagai daerah Nusantara.
Jaringan Jiou (Ulama Lokal) dan Corak Keislaman di Pesisir Selatan Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, Abad 20 M, merupakan tesis saya (2021), yang dapat dibilang menjadi bagian jawaban dalam mengisi jaringan yang terlupakan. Tesis ini menjelaskan jaringan ulama jiou abad ke-20 M, dan peran mereka yang amat berpengaruh terhadap corak keislaman di pesisir selatan Bolaang Mongondow.
Beberapa karya yang telah saya jelaskan itu adalah karya-karya yang mengkaji jaringan ulama Nusantara. Ya, tentu masih banyak lagi karya-karya lain yang belum sempat saya sebutkan. Namun, sekurangnya melalui karya-karya tersebut, kita dapat memahami bahwa penyebaran dan perkembangan Islam di Nusantara tidak lepas dari peran ulama. Dan, dalam peran itu, para ulama Nusantara terhubung dalam jaringan ulama.
Teori Terbentuknya Jaringan Ulama
Berdasarkan penjelasan Azra, dalam Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, kita dapat menyimpulkan, kalau jaringan ulama terbentuk melalui dua cara. Yaitu, ada jaringan ulama yang secara langsung dan tidak langsung.
Jaringan ulama yang terbentuk secara langsung berdasarkan pada hubungan keilmuan antara guru-murid, maupun melalui hubungan keluarga antara anak-orang tua atau menantu-mertua.
Seperti, dalam jaringan Wali Songo, para wali terhubung melalui ikatan nasab dan ilmu. Sunan Ampel dan Sunan Bonang merupakan ayah dan anak. Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga punya hubungan guru dan murid. Dan, wali-wali lain yang kalau kita telusuri memiliki hubungan ulama dalam jaringan secara langsung berdasarkan nasab dan ilmu.
Ada lagi hubungan ulama dalam jaringan yang secara tidak langsung. Misalnya, ada ulama yang tidak pernah mengaji pada guru yang sama, namun guru-guru mereka pernah belajar pada satu guru yang sama. Atau, memahami ajaran ulama dan mengacu pada karya-karya yang sama juga secara tidak langsung memunculkan hubungan jaringan ulama.
Kalau kita masih mengambil contoh dari sejarah Wali Songo, ini dapat digambarkan melalui relasi para santri dari para wali yang nyantri di Pesantren Ampel.
Sunan Kalijaga, yang menyebarkan Islam di Jawa, belajar pada Sunan Bonang yang nyantri di Ampel. Datuk Ri Bandang, yang menyebarkan Islam di timur Nusantara, belajar di Pesantren Giri dan sebagaimana kita tahu bahwa Sunan Giri nyantri di Ampel. Dalam hal ini, secara tidak langsung, Sunan Kalijaga dan Datuk Ri Bandang memiliki ikatan ulama dalam jaringan yang nyambung pada Sunan Ampel.
Teori jaringan ulama ini dapat membantu kita dalam membaca sejarah Islam Nusantara. Sebagaimana berdasarkan penjelasan Azra, membaca sejarah Islam Nusantara dengan kerangka teori jaringan ulama, dapat memberi pemahaman yang lebih tentang perkembangan Islam sepanjang sejarah masyarakat Muslim. Kita dapat memahami relasi para ulama, dan perkembangan Islam yang terjadi melalui hadirnya ulama dalam masyarakat Nusantara.