Kitab Jawahir al-Iththila’ wa Durar al-Intifa’

Jawahir al-Iththila’, Syarh Taqrib Bercorak Tasawwuf

240 kali dibaca

Salah satu kitab yang menjadi rujukan dalam ilmu fikih yang umumnya dipelajari para santri pemula di pesantren adalah kitab Matn al-Ghayah wat Taqrib, biasa juga disebut Ghayatul Ikhtishar atau yang lebih populer dengan sebutan Matan Taqrib. Kitab ini disusun oleh Syekh Ahmad bin Husain bin Ahmad Al-Asfihani/al-Asfahani atau dikenal dengan al-Qadli Abu Syuja’ (433-593 H).

Kitab Matan Taqrib ini bagaikan inspirator pada masanya dan masa setelahnya. Terbukti kitab ringkas nan monumental ini bisa memantik banyak ulama intelektual untuk memberikan penjelasan (syarh), komentar-komentar, dan catatan terhadapnya, bahkan tak sedikit juga yang menadhomkannya.

Advertisements

Berikut beberapa syarh dan nadhom Matan Taqrib:

  1. Kifayatul Akhyar fi Halli Ghayah al-Ikhtishar karya Imam Taqiyuddin al-Hishni
  2. Syarh Matn Abi Syuja’ karya Syekh Ahmad al-Akhshoshi
  3. Fathul Qarib al-Mujib fi Syarh Alfadz at-Taqrib karya Syekh Muhammad bin Qasim al-Ghazi
  4. ‘Umdah an-Nudzdzar fi Tashhih Ghayah al-Ikhtishar karya Syekh Ibn Qadli ‘Ajlun
  5. Al-Iqna’ karya Syekh Syihabuddin Abul Khair
  6. Al-Iqna’ fi Halli Alfadz Abi Syuja’ karya Imam al-Mawardi
  7. Al-Iqna fi Halli Alfadz Abi Syuja’ karya Syekh Muhammad asy-Syirbini al-Khatib
  8. An-Nihayah fi Syarh al-Ghayah karya Syekh Waliyuddin al-Bashir
  9. Tuhfah al-Labib fi Syarh at-Taqrib karya Imam Ibn Daqiq al-‘Id
  10. Fath al-Ghaffar bi Kasyfi Mukhabbaat Ghayah al-Ikhtishar karya Syekh Ahmad bin Qasim al-‘Abbadi
  11. At-Tadzhib fi Adillah Matn al-Ghayah wa at-Taqrib karya Syekh Dr. Musthafa Dieb al-Bugha
  12. Al-Imta’ bi Syarh Matni Abi Syuja’ karya Syekh Hisyam Kamil al-Azhari
  13. Imta’ al-Asma’ fi Syarh Matni Abi Syuja’ karya Dr. Syifa’ (Putri Syekh Hasan Hitu)
  14. Nadzm Mukhtashar Abi Syuja’ karya Syekh Ahmad al-Ibsyithi
  15. Nihayah at-Tadrib fi Nadzm Ghayah at-Taqrib karya Syekh Syarofuddin Yahya al-‘Imrithy
  16. Nadzm Abdil Qadir bin al-Mudzaffar
  17. Al-Kifayah fi Nadzm al-Ghayah karya Syekh Ibn Qadli ‘Ajlun
  18. Nadzm Ibn Abdissalam
  19. Nasyr asy-Syu’a’ ‘Ala Abi Syuja’ karya Syekh Husain bin Ahmad ad-Dawsari

Dari beberapa syarh Matan Taqrib di atas, ada satu yang belum disebut yaitu kitab Jawahir al-Iththila’ wa Durar al-Intifa’ ‘Ala Matn al-Asfahani Abi Syuja’.

Sekilas Profil Muallif 

Kitab Jawahir al-Iththila’ wa Durar al-Intifa’ ‘Ala Matn al-Asfahani Abi Syuja’ adalah karya seorang ulama bernama Syekh Musthafa bin Yusuf bin Salamah asy-Syafi’i asy-Syadzili al-Mishri al-Azhari. Beliau merupakan salah seorang ulama, fukaha, dan sufi di zamannya, tepatnya pada abad ke 14 hijriah. Beliau juga seorang imam, khatib, dan pengajar di Masjid Imam Husain Kairo.

Belum ada keterangan yang menuliskan biografi beliau secara lengkap menurut penuturan pentahkiq kitab Jawahir al-Iththila’ wa Durar al-Intifa’ ‘Ala Matn al-Asfahani Abi Syuja’ (halaman 4).

Tujuan Penulisan Kitab

Syekh Musthafa mengungkapkan bahwa tujuan menuliskan kitab Jawahir al-Iththila’ wa Durar al-Intifa’ tak lain adalah sebagai pengingat bagi dirinya maupun bagi saudaranya—para mursyid yang menjadi penunjuk jalan bagi kaumnya. Selain itu, beliau juga terinspirasi oleh perkataan Imam Malik berikut:

مَنْ تَشَرَّعَ وَلَمْ يَتَحَقَّقْ فَقَدْ تَفَسَّقَ ، وَمَنْ تَحَقَّقَ وَلَمْ يَتَشَرَّعْ فَقَدْ تَزَنْدَقَ ، وَمَنْ جَمَعَ بَيْنَهُمَا فَقَدْ تَحَقَّقَ.

“Barangsiapa yang menjalani syariat tanpa hakikat, maka telah benar-benar fasik, dan barangsiapa yang menyelami hakikat tanpa syariat maka telah benar-benar zindik. Barangsiapa yang memadukan antara syariat dan hakikat, maka dialah ahli hakikat”. (kitab Jawahir al-Iththila’ wa Durar al-Intifa’ halaman 7)

Dalam redaksi yang lain,

مَنْ تَصَوَّفَ وَلَمْ يَتَفَقَّهْ فَقَدْ تَزَنْدَقَ، وَمَنْ تَفَقَّهَ وَلَمْ يَتَصَوَّفْ فَقَدْ تَفَسَّقَ، وَمَنْ جَمَعَ بَيْنَهُمَا فَقَدْ تَحَقَّقَ.

“Barang siapa (mempelajari) ilmu tasawuf/bertasawuf, namun tidak mempelajari ilmu fikih (syariat), maka akan menjadi orang zindiq. Barang siapa yang belajar fikih tanpa mempelajari tasawuf, maka akan menjadi orang fasik. Barang siapa yang mempelajari keduanya, maka dialah ahli hakikat”.

Oleh karena itu, seyogyanya bagi seseorang untuk menjalankan kedua aspek tersebut yaitu syari’at dan hakikat/tasawwuf, karena hakikat adalah aspek dari syari’at yang bersifat esoteris atau batiniah (al-Haqiqah Bathin asy-Syari’ah) atau dalam redaksi lain disebutkan bahwa hakikat adalah makna terdalam dari praktik dan petunjuk yang ada pada syari’at.

Substansi Kitab

Kitab Jawahir al-Iththila’ wa Durar al-Intifa’ adalah salah satu syarh Matan Taqrib yang sama sekali berbeda dengan syarh-syarh yang lain. Kitab ini memiliki kekhasan tersendiri, yaitu penjelasan-penjelannya yang bernuansa tasawuf. Jikalau kitab-kitab syarh lainnya menjelaskan dan menguraikan redaksi atau teks-teks fikih Matan Taqrib juga dengan redaksi fikih, kitab ini justru menguraikan teks Matan Taqrib dengan pendekatan tasawuf.

Pembahasan kitab Jawahir al-Iththila’ wa Durar al-Intifa’ secara urutan mengikuti kitab Matan Taqrib, dimulai dengan Kitab ath-Thaharah dan diakhiri dengan Kitab al-‘Itqi. Pada permulaan kitab Matan Taqrib, Syekh Abu Syuja’ memberikan perincian tentang macam air yang bisa digunakan untuk bersesuci:

المياه التي يجوز التطهير بها سبع مياه: ماء السماء، وماء البحر، وماء النهر، وماء البئر، وماء العين، وماء الثلج، وماء البرد.

“Air yang dapat digunakan untuk bersuci ada tujuh macam yaitu air hujan, air laut, air sungai, air sumur, air sumber, air salju, dan air es.“

Syekh Musthafa menjelaskan pada halaman 10 bahwa yang di maksud “sab’u miyah” adalah sifat-sifat ma’ani. Kemudian beliau juga mengatakan dalam syarahnya bahwa tujuh macam air tersebut adalah adz-dzikru (dzikir), al-fikr (pikiran/berpikir), at-tawadlu’ (rendah hati), al-faqr (kefakiran), at-taubah (taubat), al-hubb (cinta), dan ar-ridlo (keridloan/kerelaan).

Beliau mengistilahkan tujuh perkara tersebut dengan istilah al-Maqamat as-Sab’ah (tujuh tingkatan) yang apabila seorang hamba sudah melakukan tujuh maqamat tersebut dan sudah tercapai maka Allah akan menyingkap tujuh sifat ma’ani sehingga bisa wushul kepada Allah SWT (pengetahuan hakiki terhadap Allah, bukan penyatuan zat antara Tuhan dan makhluk-Nya).

Selanjutnya, pada kitab Matan Taqrib juga dijelaskan tentang bab menyamak kulit bangkai yang dalam fikih disebut ad-dabghu. Menyamak adalah kegiatan membersihkan kulit bangkai binatang selain anjing dan babi dari sesuatu yang dapat membuatnya busuk, seperti darah atau daging yang masih menempel dengan menggunakan benda-benda yang rasanya sepet/kelat (hirrif) semisal daun bidara. Berikut redaksi Matan Taqrib:

وجلود الميتة تطهر بالدباغ إلا جلد الكلب والخنزير وما تولد منهما أو من أحدهما وعظم الميتة وشعرها نجس إلا الآدمي.

“Kulit bangkai dapat suci dengan disamak kecuali kulit anjing, babi, dan hewan yang terlahir dari keduanya atau dari salah satunya. Tulang bangkai dan rambutnya itu najis kecuali tulang dan rambutnya mayat manusia”.

Syekh Musthafa memberikan penjelasan dalam kitabnya bahwa yang dimaksud dengan “Julud al-Maitah” (kulit-kulit bangkai) adalah “Qulub Ahlil Ghaflah” yang berarti hati-hati orang yang lalai, dan cara menyucikannya adalah dengan zikir seraya memohon kepada Allah, dan dengan mengendalikan hawa nafsu. Berikut redaksinya (halaman 12):

قوله: وجلود الميتة، أي قلوب أهل الغفلة تطهر بالدباغ أي بالذكر مع الجهر والسؤال وبمخالفة النفس كالجوع والسهر والعزلة والصمت مع مصاحبة الصدق والإخلاص والتخلي من الحول والقوة، ثُم استثنى المصنف بقوله: إلا جلد الكلب والخنزير. أعني: أهل الكبائر المصرين عليها عبيد الدنيا وما تولد منهما من القول والفعل أو من أحدهما من القول والفعل أيضا مع حيوان طاهر من الكبائر والصغائر حالة كونه مترددًا فإنه يتبع أصله، قوله وعظم الميتة. أي: القلوب الغافلة عن ذكر الله تعالى، وشعرها أي دنياها نجس أي مانع عن رضاء الله تعالى إلا الآدمي الخالص لله تعالى فإنه ذاكر ومذكور، وورد عن النبي ﷺ: (مثل الذي يذكر ربه والذي لا يذكر ربه مثل الحي والميت). وورد (لكل شيء مصقلة، ومصقلة القلوب ذكر الله)

“Perkatanyaannya mushonnif (Syekh Abu Syuja’): “Beberapa kulit bangkai” artinya beberapa hati orang yang lalai “bisa suci dengan disamak” artinya dengan zikir secara nyaring serta permohonan, dan dengan melawan/mengendalikan hawa nafsu seperti melalui lapar, tidak tidur malam, mengasingkan diri dari keramaian, dan diam dengan tetap disertai kesungguhan, keikhlasan, dan tidak merasa memiliki daya dan kekuatan. Kemudian mushonnif (Syekh Abu Syuja’) mengecualikan dengan perkataannya: “kecuali kulit anjing dan babi” maksudnya pelaku dosa besar yang terus menerus melakukan dosa besar serta menjadi budak dunia.  “Dan hewan yang terlahir dari keduanya” berupa perkataan dan perbuatan “atau dari salah satunya” berupa perkataan dan perbuatan juga “bersama/beserta hewan yang suci” berupa dosa-dosa besar dan dosa-dosa kecil , ketika keadaannya diragukan maka ia mengikuti asalnya/induknya. “perkatannya mushonnif: dan adapun tulangnya bangkai” artinya hati-hati yang lalai dari mengingat Allah Ta’ala “dan bulunya bangkai” artinya dunianya “ialah najis” artinya mencegah dari ridlo Allah Ta’ala, “kecuali manusia/anak adam” yang murni/ikhlas karena Allah Ta’ala maka sesungguhnya dia adalah orang yang ingat dan diingat. Datang sebuah hadis dari Nabi Muhammad SAW: Perumpamaan orang yang mengingat Tuhannya (Allah) dan orang yang tidak mengingat Tuhannya adalah seumpama orang yang masih hidup dan orang yang telah mati”, dan diriwayatkan juga: segala sesuatu ada alat penggosoknya/rempelasnya dan penggosoknya hati adalah dzikir kepada Allah (mengingat Allah).”

Itulah Jawahir al-Iththila’ wa Durar al-Intifa’ ‘Ala Matn al-Asfahani Abi Syuja’ karya Syekh Musthafa. Selebihnya, pembaca bisa menelaah lebih lanjut kitab tersebut jika ingin menikmati redaksi Matan Taqrib dari sisi yang berbeda. Wallaahu A’lam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan