Secara berulang-ulang, aku lempar sekepal batu ke satu arah. Lemparan tanpa sasaran—sekadar membuang resah.
Tak berapa lama kemudian, dari arah belakang, sekonyong-konyong kurasakan angin menderaku kencang. Lalu ia bergulung-gulung di hadapanku. Menjadikanku, mau tak mau, menghentikan polahku.
Setelah agak tenang, angin beruluk salam, lalu menanyakan kabarku. Tak kujawab, angin berucap, “Sampean tahu, tadi jauh di belakang sana, seseorang berjalan di bawah terik matahari. Kendati tidak terperosok lubang di bahu jalan, tiba-tiba ia ambruk. Kemudian tampak kepayahan, ia coba berdiri. Dan, baru beberapa langkah ia berjalan lagi, sekonyong-konyong ia ambruk lagi. Kejadian itu menimpanya beberapa kali, membuat saya jatuh iba —secepatnya saya mendekatinya. Sembari mengucap salam, saya elus wajahnya. Setelah ia menjawab, saya bertanya: “Kenapa?
“Entahlah,” jawabnya.
Kemudian, ia menyatakan bahwa kendati ia tak melihat seorang pun di belakangnya, ia merasa ada seseorang yang sedang melemparinya. Setelah menghela napas sejenak, ia menandaskan: sungguh sukar dinalar.
Mendengar hal ini, kebingungannya seketika merambat ke dalam diri saya. Karena saya yang, sejak tadi berembus di belakangnya, pun memastikan: tak ada seorang pun di belakangnya. Kemudian, setelah mengucap salam perpisahan, sebagai sebentuk empati, saya mengingatkannya untuk lebih berhati-hati. Ia mengangguk sembari menjawab salam seiring kepergian saya melanjutkan perjalanan—tepat ke arah ia menuju. Lalu sampailah saya di sini, mendapati sampean tampak asyik melempar-lempar batu.”
Sejenak angin bergulung-gulung, kemudian sambil mengucap salam, ia pergi meninggalkan sesuatu yang tak dapat kupahami. Meskipun demikian, entah mengapa, batu yang tergenggam di tanganku tak jadi kulemparkan.
Kesugihan, 2017 – 2020.