Ngaji Kitab Tahliyah wa Targhib yang diasuh oleh Dr KH Heryono Tardjono pada Rabu Malam (25/11) kemarin berjalan seperti biasanya. Namun, ada yang berbeda dari jumlah santri yang ngaji. Bertambah sepuluh santri. Uniknya, mereka bukan berlatar dari golongan tradisional yang Islamnya kental. Mereka bahkan berlatar belakang nonmuslim.
Sepuluh santri kelas 9 ini merupakan utusan dari Sekolah Kristen Tirta Amarta BPK Penabur Cinere, Kota Depok, Jawa Barat. Delapan dari mereka beragama Nasrani, satu Islam, dan satunya Budha. Mereka dikirim ke pesantren kami, Aksara Pinggir, untuk ‘studi sosial’ tentang keberagaman dan kebudayaan yang berada di Kampung Sawah, Kecamatan Pondok Melati, Kota Bekasi, Jawa Barat.
Sebelum Ngaji, saya ajak mereka istighotsah. Dan tanpa basa-basi semua mengikuti rangkaian istighotsah sampai selesai, tanpa ramai dan tanpa gaduh sekali. Baru kemudian Dr Hery, sapaan akrab Dr Heryono Tardjono, membuka pengajian dengan teman malam itu tentang Hari Santri. Dr Hery menjelaskan dengan gamblang apa, bagaimana, mengapa, dan siapa santri itu.
Di akhir sesi dibuka sesi pertanyaan. Kala itu pukul 22.00 WIB, dan mereka belum juga takluk oleh kantuk, justru malah melontarkan pertanyaan-pertanyaan kritis, di antaranya ialah mengapa Islam dengan sesama Islam saling perang, seperti kasus Irak versus Kuwait tahun 1990? Apa itu Aksara Pegon? Bolehkah nikah beda agama? Begitu lontaran pertanyaan mereka.
Dr Heryono menjawabnya dengan gamblang, Pertama, “mengenai Aksara Pegon, merupakan literasi yang dikembangkan oleh ulama Jawa, yang memang digunakan sebagai bahasa utama kurikulum pesantren saat itu, sekaligus metode untuk mengelabuhi Snouck Hurgronje supaya strategi pesantren untuk melawan penjajahan tidak terendus.” Begitu jawaban doktor alumnus Pondok Al-Mahrusiyah Lirboyo ini.
Kedua, “Nikah beda agama itu secara Islam hanya boleh kepada kafir kitabi, tapi sekarang kafir kitabi sudah tidak ada. Secara hukum positif di Indonesia jelas-jelas tidak ada legalitas, namun di kalangan akademisi masih menjadi pro-kontra. Meskipun, toh kamu menemukan pasangan nikah beda agama di Indonesia, kemungkinan salah satu di antara pasangan itu ngalah, sehabis itu ya kembali ke agamanya masing-masing.” Dengan damblang, Pengurus Lembaga Wakaf dan Pertanahan NU ini memberi jawaban. Sedang para santri yang mendengar terlihat menyimak dan beberapa ada yang mencatat.
Terakhir mengenai perang Irak versus Kuwait. Saya diberikan kesempatan menjawab. Begini jawaban saya, “Irak versus Kuwait itu bukan perihal perang agama, itu lebih ke economic war, merebutkan minyak. Pemicu utama Kuwait menyedot minyaknya miring, nyedotnya memang dari atas tanah Kuwait tapi kedalamnya miring menuju ladang minyak Irak. Tentu Irak tidak terima, jadilah perang.” Tandas saya, tak berapa lama berselang, Ngaji malam itupun usai.
Selanjutnya, 10 santri tamu ini terbagi menjadi dua kamar. Besoknya, Kamis (26/10), mereka sudah bangun pagi, ternyata mendengar kebisingan kami yang subuh berjamaah. Setelah itu mereka mengunjungi tempat-tempat penting di Kampung Sawah, di antaranya mengunjungi Gereja Kristen Pasundan, Gereja Katholik Servatius, dan Pondok Pesantren Yasfi. Malamnya mereka kembali ke Pesantren kami, Aksara Pinggir.
Selesai makan malam bersama, mereka langsung bergabung dengan pengajian kami lagi, mengikuti istighotsah, dan ngaji Kitab Fathul Qorib sampai selesai. Bahkan, mereka turut membantu praktik wudhu yang kami adakan kepada santri kelas beginner. Tampak kecerian di antara raut muka remaja yang rata-rata tinggal di kompleks ini. Mereka juga cepat menyatu sama santri-santri Aksara Pinggir, padahal perbedaan di antara kita dan mereka tampak jelas, tapi itu bukan menjadi alasan di antara mereka untuk berinteraksi sesama masa depan bangsa.
Besoknya, sebelum tiba waktu Jumatan, mereka berpamitan, turut hadir pembinannya, kemudian saling menceritakan pengalamannya masing-masing. “Saya tidak menyangka selama tiga hari di Aksara Pinggir ini, orang Islam begitu peduli terhadap kami, dikasih perhatian, peduli, padahal kami minoritas. Saya baru mengalami ini,” ucap Jova Gilbert.
Jesse Pangabean juga berkata, “Pesantren Aksara ini sangat nyaman, tidak nyangka ada pesantren sebersih ini. Perpustakaan lengkap, penghuninya juga sopan-sopan. Sangat nyaman untuk belajar,” terang remaja Batak yang selama di Aksara memang suka membaca ini.
Tak mau ketinggalan, Dorian sebagai ketua kelompok memberikan testimoninya. “Di Kampung Sawah kami mempelajari keberagaman, bagaimana kita bisa mendengarkan azan dan lonceng gereja secara bersamaan. Selain itu, Pesantren Aksara ini mengajari saya hidup bersama, makan bareng, merasakan antre mandi dan kekompakan tentunya,”
Mereka ternyata betah selama di Pesantren Aksara. Kebersamaan nampaknya menjadi hal baru bagi mereka, apalagi mengenai keharmonisan dalam perbedaan. Suatu saat mereka menyatakan ingin kembali kesini lagi.
Untuk diketahui, Aksara Pinggir merupakan Pesantren yang didirikan oleh Dr KH Heriyono Tardjono pada 2021, beralamat di Jalan Swadaya I Gang H Timin, RT.02/RW.002, Jatimurni, Kecamatan Pondok Melati, Kota Bekasi, Jawa Barat.
Pesantren rerata dihuni santri yang menyambi kuliah di Jakarta dan anak-anak sekitar lingkungan. Kegiatan utamanya meliputu Madrasah Diniyah, Istighotsah, dan Sudut Literasi. Meskipun baru dua tahun berdiri, pesantren ini kerap menjadi tempat jujukan studi lintas beragama dan kajian mahasiswa yang melakukan penelitian.