Lima tahun lalu, kau Umayah, istriku, menghadiahiku anak perempuan yang pertumbuhannya makin hari makin sejuk untuk dipandang. Seiring usia anak kita yang sudah berumur lima tahun, anakku mulai aktif bermain dengan mainan-mainan yang kubuatkan dari kayu; ada harimau-harimauan yang kuwarnai coklat yang sengaja kubuatkan dari pelepah janur siwalan muda. Lima tahun lalu, kau, istriku, memintaku untuk memberi nama Fatimah pada anak itu, dan aku menyetujuinya tidak lain sebagai bentuk rasa terima kasihku padamu.
Sekarang, anak itu sudah bersekolah di tingkat pendidikan usia dini. “Kelak kita sekolahkan anak kita di tempat aku sekolah dulu ya, Mas!” ucapmu tempo dulu. Setiap pagi selepas urusan beberes rumah selesai, kau antar anak kita ke Kiai Syansuddin, gurumu dahulu, guna mengais pundi-pundi ilmu pengetahuan.
Terkadang bendungan air mata yang kubuat kokoh tak kuat menahan deras air, kala melihat dirimu mengusap cucuran keringat dahimu, ketika kelelahan menyergapmu perihal pekerjaan rumah dan anak kita yang mulai nakal sebagai anak kecil. Tak jarang kau memintaku untuk memijat punggungmu yang terasa nyeri ketika bersantai di ruang tamu kita. “Nanti kalau mau pergi ke pasar, belikan aku obat nyeri punggung ya, Mas!” pintamu saat aku asyik memijat dan memandang punggung indahmu.
“Anak kita sudah besar Mas, setelah pendidikan usia dini, akan kita sekolahkan ke mana?” tanyamu suatu ketika. Aku tak segera menjawab tanyamu waktu itu. Kau selalu memintaku untuk mempersiapkan peralatan anak kita yang sudah akan masuk sekolah dasar. Waktu itu, dengan sedikit rezeki lebih, kubelikan sepatu dan peralatan tulis-menulis untuk anak kita.
Ketika melihat anak kita, istriku, aku melihat masa depannya yang cerah. Aku melihat keceriaan yang sangat pada saat ia bermain mainan yang kau belikan sebagai ole-ole dari pasar tempo hari.
***
“Bun, aku mau seperti temanku, mengadakan acara selamatan di hari ulang tahun mereka,” pinta anak kita padamu, istriku. Kau tak menjawab “iya” pinta anak kita. Kau menjanjikan anak kita untuk mengadakan acara ulang tahun esok-esok hari. Aku bisa menebakmu, istriku, kau tampak keberatan untuk menuruti permintaan anak kita itu. Namun, kau juga tidak tega menolak permintaan anak tecinta kita, bukan?
Lama lepas itu, kau tampak lupa dengan permintaan anak kita. Kau sangat sibuk dengan urusan rumah, pekerjaan, dan menjajakan gorengan ke sekolah-sekolah dekat rumah kita. Tak pernah terpikir sedikitpun olehmu permintaan anak kita waktu itu.
Suatu ketika, usai anak kita pulang menunaikan kewajibannya di sekolah, di saat kau sedang berbaring menikmati halaman rumah bersama teh hangat di teras rumah kita, anak kita menggangu istirahatmu. Lagi-lagi, “Bun, Aku ingin seperti temanku, Imas, dia juga mengadakan acara ulang tahun. Temanku yang lain juga banyak mengadakan acara itu. Aku ingin seperti mereka!” berontak anak kita padamu.
Sehari setelah itu, anak kita terus bersikeras meminta mengadakan perayaan ulang tahun padamu. Apakah kau tidak kasihan melihat wajah anak kita yang penuh harap dengan bening cahaya di matanya, istriku?
***
Dalam salat dan doamu pada Tuhan, aku melihatmu tampak tak sengaja menjatuhkan air mata sambil menengadahkan tangan sembari memohon petunjuk pada Sang Sutradara. “Berikan aku jalan untuk memenuhi keinginan anakku ya Rabb, aku ingin membahagiakannya meskipun dengan acara kecil-kecilan,” mohonmu dengan suara yang parau di sepertiga malam.
Setiap hari ruang batok kepalamu terisi dengan dengang-dengung permintaan anak kita. Kau makin hari makin giat berusaha menuruti permintaan pertama anak kita istriku. “Apa aku harus bilang pada Pakde-Bude?” tanyamu pada dirimu sendiri saat sepulang mengantar anak tercinta kita. Sepertinya itu jalan yang baik istriku, lagi pula jalan mana lagi yang mau kau usahakan untuk anak tercinta kita selain kau harus merembukkan dengan Pakde-Budemu.
Dalam ragu yang menyerangmu, akhirnya kau merembukkan pinta anak kita pada ibu juga bapakmu. Ada sedikit perasaan masygul saat kau mulai berbicara pada mereka, kau harus tetap bilang itu istriku, ini demi anak kita. Lepas perbincangan itu ibumu sangat setuju dengan permintaan cucu kesayangannya, tapi tidak dengan bapakmu, ia menolaknya— dengan alasan acara ulang tahun ini tak begitu penting untuk diperingati.
“Sekolahkan saja dengan benar, buat cucuku itu pintar!” sentak bapakmu saat itu juga. Kau sedih mendengar itu. Apakah kau takut anak kita tidak sama dengan anak-anak yang lain, istriku? Kau takut anak kita tidak senang seperti anak-anak lain ketika menggelar acara ulang tahun? Jangan begitu istriku, bukankah kau yang selalu memintaku untuk berusaha terlebih dahulu.
“Yang penting kita usaha dulu, Mas, soal hasil kita serahkan pada Sang Pemilik Langit,” ucapmu dulu ketika aku tak kunjung menemukan pekerjaan.
“Acara ulang tahun ini harus tetap dilaksanakan, kita bersama-sama doakan Fatimah agar tumbuh menjadi manusia yang berguna dan taat pada orang tua serta Tuhan kita,” bela Budemu dengan kokoh. Mendengar kegigihan ibumu, aku melihat kau menarik bibir ujung cantikmu ke samping. Apa artinya itu istriku, apakah kau bahagia?
“Aku tak punya cukup biaya Pakde-Bude,” lirihmu pada kedua orang tuamu.
“Jangan pikirkan tentang uang, Umayah!” tegur Ibumu seketika. “Pamanmu pasti akan menyumbang sekantung beras dan sekilo telur untuk acara ulang tahun anakmu,” ucap ibumu setelah kau ungkap ketidakmampuanmu untuk mengadakan acara ulang tahun untuk anak kita.
Seketika rasa tidak enak hati menghampiriku saat mendengar ucapan ibumu, istriku. Sejak pinta anak kita perihal ulang tahun itu, kau selalu tampak murung dan lelah. Kau pontang-panting menjual gorengan ke warung-warung dekat sekolah anak kita demi mengumpulkan uang untuk mengabulkan permintaan anak kita. Maafkan aku istriku, seharusnya aku yang bertanggung jawab untuk biaya acara ulang tahun anak kita. Namun apalah daya, aku pun tak mampu melakukan itu istriku.
“Sudah jangan pikirkan itu. Tak baik menolak pemberian orang, anggap saja itu rezeki Tuhan karena kau telah merawat Fatimah sampai sebesar ini dengan penuh kasih sayang,” ungkap ibumu seakan bisa menebak rasa sungkan dalam dirimu waktu itu.
Terus terang istriku, aku tak bisa menampik kebahagiaan dalam diriku, meski sedikit ada perasaan malu yang menyergapku. Aku tak bisa menyembunyikan buncah kebahagiaan yang juga tertebar dalam dirimu. Haru dan bahagia yang amat dalam seakan membawaku terbang istriku. Bukankah melihat keluarga kecil kita bahagia adalah impian kita sejak lama, istriku?
Dan aku tak ragu lagi mengakui bahwa aku teramat bahagia memilihmu sebagai istri tercintaku, dan aku juga tak pernah salah memilihmu sebagai tempat peraduan paling nyaman untuk anak kita. Terima kasih istriku, kau memang layak mendapat limpahan kasihku.
***
Dari gelagatmu, kau tampak segar dan tenang. Wajahmu berlinang cahaya yang memendar ke mana-mana. Sejuk dapat kurasakan ketika melihatmu sebahagia ini. Apakah dengan kebahagiaan yang kau tampakkan di acara ulang tahun anak kita sudah siap untuk dilaksanakan, istriku?
“Syukurlah, hampir semua persiapan sudah selesai, tinggal menentukan siapa yang akan memimpin acara ulang tahun untuk Fatimah. Semoga anakku menjadi anak yang salehah dan taat pada orang tua, amin!” ucapmu waktu itu. Lebih dari itu istriku, aku berharap Fatimah menjadi orang yang paling disegani di negeri ini. Bahkan mari kita doakan anak kita agar bisa lebih melampaui harapan kita.
Sehabis harapmu itu, kau terlihat bersiap-siap untuk pergi ke rumah Kiai Syamsuddin, guru ngaji anak kita. Tak lupa pula bawa beras dan minyak tanah untuk sekadar ole-ole untuk Kiai Syamsuddin. Di matamu yang teduh, aku melihatmu berharap penuh agar Kiai Syamsuddin bersedia memimpin acara ulang tahun untuk anak kita. Semoga saja, harapku istriku.
“Begini, Kiai. Saya mau adakan acara selamatan kecil-kecilan di hari ulang tahun anak saya, Fatimah. Saya harap njenengan mau memimpin acara ulang tahun ini,” pintamu pada guru ngaji anak kita itu.
“Oh Fatimah anakmu itu? Baik, kapan akan dilaksanakan acara ulang tahunnya?” jawab Kiai Syamsuddin waktu itu. Kau mengangguk-angguk tanda meng-iyakan pertanyaan Kiai Syamsuddin sambil menjawab waktu pelaksanaan acara ulang tahun itu. Kau juga tidak lupa meminta Kai Syamsuddin untuk membacakan surat Yasin saja. “Tak banyak yang saya undang, Kiai, hanya acara keluarga,” ucapmu pada Kiai Syamsuddin. Dan Kiai Syamsuddin memaklumi ucapanmu dengan mengangguk-angguk meniru tingkahmu.
Aku senang, istriku. Aku tak bisa meluapkan kebahagian ketika keinginan anak kita sudah hampir terkabul. Terima kasih juga, istriku, berkat usahamu, anak kita akan didoakan agar menjadi anak yang bermanfaat kelak. Semoga terkabul.
***
Lihat itu istriku, di saat matahari tampak mengungguli kepala, keluarga-keluarga jauh kita sudah banyak yang datang. Mereka rela datang meskipun bertaruh dengan terik matahari. Mereka datang dengan membawa senyum yang pekat dengan keindahan, istriku. Lihat itu juga, istriku, pamanmu yang dari Jawa datang memenuhi undanganmu tempo hari. Keluarga-keluarga besar kita sudah berkumpul istriku.
Segeralah mulai acara ulang tahun untuk anak kita. Aku sudah tak sabar istriku. Tapi, tunggu! Mana anakku, Fatimah. Dengan sigap dan pengertianmu, kau bawa Fatimah keluar dari rumah dan kau dudukkan di dekat guru ngajinya. Aku bangga melihatnya, istriku, dia merupakan paduan kita. Sikapnya yang lembut mencerminkan sikapmu, istriku. Dengan balutan baju batik yang kubelikan tempo hari, Fatimah sangat cantik. Segera mulailah acara ulang tahunnya, istriku. Aku sudah tak sabar sekali!
Mula-mula Kiai Syamsuddin memulai dengan pembacaan Al-Fatihah untuk Nabi Muhammad dan ulama-ulama dahulu. Lepas itu, tak lupa Kiai Syamsuddin berbuat demikian untuk anak kita. Duh, aku kelewat senang istriku. Bacaan surat Yasin tergaung ke segala penjuru rumah kita, ke kamar tidur, ke dapur, ke halaman, ke belakang, dan ke tetangga. Lihat anak kita itu istriku, dia ikut khusyuk membaca surat Yasin untuk dirinya sendiri. Para anggota keluarga besar kita semua ikut tertunduk membacakan hal yang sama untuk anak kita.
Pada suasana khidmat pembacaan surat Yasin itu, aku melihatmu sengaja menahan air mata agar tidak jatuh, menahan diri supaya tak tampak rapuh. Apakah kau tak bahagia setelah acara ulang tahun untuk anak kita sukses tergelar? Pantasnya kau bangga, istriku. Kau sudah menjadi ibu yang baik bagi anak kita, Fatimah. Lihat anak kita itu, dia menunduk, mengamini doa Kiai Syamsuddin untuk dirinya. Lihat keluarga besar kita istriku. Mereka semua mengamini harapan-harapan kita.
“Andai saja Mas… andaikan saja Mas masih hidup dan menyaksikan ini semua,” ucapmu lirih dan tertahan.
Ah, istriku…