KATA TAK BERTULANG

11 views

TELAT

Aku akan membawamu pergi, ke tanah-tanah di masa kecilku, di mana pasir putih berdesir di bawah kaki, dan langit biru bersama lautan berdentang luas seolah surga telah berpelatar di hamparan luas bumi.

Advertisements

Aku akan membawamu melangkah ke masa laluku, di mana kupungut kulit-kulit kerang, menjadi hiasan di dalam rumah serta nyanyian panjang dari perjuangan menepi badai di atas laut. Akan kuberi kau sedikit atau bahkan banyak berbagai jenis ikan berwarna-warni yang  tak akan kuingkari janjiku tiada mungkin kau temukan di pasar kota.

Aku akan membawamu ke pegunungan Salahutu yang diisi mata air suci jernih nan segar di bawah kepingan-kepingan harumnya mekar bunga cengkeh dan pala. Biar kau tahu selain hatimu yang dipenuhi kekayaan, bumiku di Timur pun menyimpan harta yang dicemburui dunia barat.

Akan kubawa kau ke penyulingan minyak Atsiri yang di sana tumbuh jiwa kami dan wewanginya menyembuhkan luka di tubuh serta kepala, kami hidup di sana, bertahan tanpa sedikit jua perhatian. Kami telah merangkai sepaket alam bersama jalan-jalan sunyi.

Akan kubawa kau di pertunjukan tarian-tarian kami, memegang salawaku dan ikut bergerak dalam senyum pun irama masyarakat. Biar kau tak hanya pergi berdemo di depan gedung wakil negara, di sana kau hanya temui sia-sia dari teriakanmu.

Akan kubawa kau mencicipi indah suci kerangka sempurna dari Ilahi, memperlihatkan jejeran sagu yang meneduhkan sisi-sisian sungai. Akan kau sadari, emas yang bertumpuk di bawah pasir muara itu sama berharganya dengan nyawa kami.

Tapi kasih, jika kau pergi hari ini, aku khawatir kau hanya menafsirkan kecewa. Karena hutan kami telah berbunyi mesin-mesin yang berbentang berhektare tapi tak sedikit juga berfungsi. Siapa tahu ketika kau menuju pantai, kau hanya melihat beton-beton beruap. Karang-karang sudah menjadi kapur, bergabung dengan semen bangunan tinggi.

Ah, kau telat. Aku tidak bisa membawamu.

Surabaya, 2025.

KATA TAK BERTULANG

Begitulah kata-kata, ia tak bertulang namun berdaging
Tak memiliki fondasi namun tegak berdiri
Tenggelam dalam samudera tanpa lautan
Tergeletak bernyawa tiada berhulu raga

Seperti itu kita—dan kau yang jauh di sana
Menghamba pada kuasa di mana cita-cita jauh mengabdi
Sementara pelupur hati tertinggal di lubuk pohon kenari
Menyiur lembut suara syahdu burung-burung penuh elegi
Kau hanyalah penderitaan yang dibungkus puisi

Indah sekali bila hujan turun dini hari
Terlampau jauh kukenang saban-saban rasa tanpa sabda
Karena kau memilih tidak ingin menyentuh jiwa
Akibat ketidakjangkauan kita atas sebuah identitas
Kau bersiang pergi tanpa berujar satu jua pamit undur diri

Apa lah yang perlu dikenang
Dari kata-kata tak bertulang
Puisi yang hanya dimiliki seorang
Harapan berisi risau dan malang

Pula pada rindu yang sudah terlampau dibentang
Sementara usai tak lagi menjadi jalan panjang
Sudah memang dikata, akhir bersabda
Tiada jalan, habis pula daging dimakan belatung
Habis sudah kenangan ditelan waktu

Pudar sudah harga diri perempuan
Mati kelak kemenangan sang tuan
Bila memang perang yang berkibar raya
Barangkali aku pun hanya menunduk muka
Berdiri di balik kaca
Mengunci diri dalam abdi
Membakar seutuhnya untuk sang jiwa dari Agni

Surabaya, 2025 .

UNTUKMU KESERIBU KALINYA

Untukmu keseribu kalinya, dalam bayangan hitam yang menemaniku dan gemuruh kipas di tengah malam. Sementara beberapa tiupan angin berangguk-angguk malu melewati tiap perbatasan jalan dan pohon yang tak kukenal namanya.

Untukmu keseribu kalinya, aku berharap kau mengulum senyum di tengah gelombang perahu dan berteriak kencang pada arus yang mengecam kehidupan kita.

Untukmu keseribu kalinya, pengecut sekali hatiku yang tidak bisa menghadapimu walau sedetik saja. Aku ingin mencintaimu dengan ketulusan tanpa nama yang bahkan awan-awan pun memilih hilang dari peredarannya. Dari sana, bintang-bintang mampu menunjuk muka, maka semoga di sana kau bersua atas jalan Tuhan di meja-meja hijau.

Untukmu keseribu kalinya, aku telah meniadakan percaya pada negara. Tapi melihat kau tanpa jumawa-bergerak dan mengacung badai bagai karang di tepi pantai. Kokoh nan abadi namun tak bisa sesedikitpun mampu kulerai. Kau dan keberanianmu adalah dua kata yang ditakdirkan bersama.

Untukmu keseribu kalinya, semoga keadilan tampak di muka-muka beserta hidungmu. Biar saat kau tampak suatu kelak, aku mengenal bahwa tak pernah kaulupa janjimu di masa muda.

Surabaya, 2025.

Sumber ilustrasi: istockphoto.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan