“Apa yang harus aku lakukan sekarang, Sar?”
“Kau ini bagaimana? Bukannya semua orang mengidamkan memiliki anak seperti Alawi, anakmu?”
Busar menyeruput kopinya yang mulai dingin. Kemudian melanjutkan, “Aku sudah mendengar kabar dari orang-orang bahwa rumahmu telah beberapa kali didatangi oleh kiai-kiai besar bukan? Bukan hanya itu, kabarnya anakmu itu telah tinggi ilmunya. Ia dipuji oleh guru-gurunya. Kabarnya Ia akan jadi seorang yang masyhur, guru besar, dan dikagumi banyak orang. Kiai Fathoni saja sedang menunggu kepulangan anakmu itu.”
Samad kehilangan gairah untuk meneruskan pembicaraan. Ia tak mendapatkan pencerahan dari lawan bicaranya. Menyadari perubahan sikap Samad, akhirnya Busar melanjutkan.
“Bulan depan Ia pulang ke desa ini bukan? Kau seharusnya menyiapkan sambutan yang terbaik untuk anakmu itu. Bukan bengong di tengah sawah seperti tadi.”
“Aku malu, Sar. Aku malu pada diriku sendiri. Bagaimana mungkin dia adalah anakku? Sementara aku masih kotor seperti ini? Ibunya yang ahli ibadah, ahli sedekah, sedangkan aku? Sembahyang saja aku tak bisa.”
“Ya. Oleh karena itu, Kau selalu sembahyang jamaah, bukan?” Busar meledek.
“Ya. Kau benar. Kau masih ingat ceritaku padamu waktu itu?” Busar hanya diam menunggu lawan bicaranya menjawab pertanyaannya sendiri.
Beginilah cerita singkat Samad kepada Busar di teras surau seusai malam selamatan satu suro itu. Cerita itu terjadi sekitar dua minggu lalu.
***
Kebiasaan Narsih tidak pernah berubah walaupun tengah mengandung. Ketika suami dan dunia sedang terlelap, Narsih selalu menyempatkan diri untuk sembahyang malam. Malam itu ia bangkit dari dipan yang dialasi tikar pandan, tempat ia tidur bersama suaminya, Samad. Narsih berjalan tertatih-tatih sambil memegangi punggung belakang dan perut besarnya. Samad yang terbangun oleh suara rintihan Narsih menyadari kebiasaan sembahyang istrinya itu. Tapi kondisi Narsih yang sedang hamil besar membuatnya beranjak untuk memeriksa keadaan. Samad memeriksa dapur, barangkali Narsih belum jauh. Tapi tak ditemukannya. Ia pun segera menuju sumur. Ia tahu istrinya tak seperti wanita hamil lainnya.