Ketika “Singa Gurun” Diadang Pandemi

33 views

Baru-baru ini, viral di jejaring media sosial seorang pria di Situbondo, Jawa Timur, yang menolak penutupan masjid saat Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat di Jawa dan Bali untuk menanggulangi melonjaknya penyebaran Covid-19.

Pria yang viral tersebut adalah Muhammad Khalil, warga Desa Manggaran, Kecamatan Mangaran, Situbondo. Menurut beberapa media, ia berprofesi sebagai pengacara. Aksi penolakan terhadap penutupan masjid itu sebagai respons terhadap Surat Edaran (SE) Sekda Situbondo tertanggal 2 Juli 2021 yang berisi penutupan masjid selama penerapan PPKM Darurat.

Advertisements

Penolakan dilakukan dengan alasan masjid dinilai tak berkontribusi dalam penyebaran Covid-19. Dalam tayangan berdurasi 52 detik itu, tampak seorang pria bersarung dan berkopiah berdiri membacakan pernyataan sikap. Dalam video tersebut terlihat lima orang sedang berdiri di depan masjid. Empat orang laki-laki dan seorang perempuan. Seorang pria yang berada di tengah barisan mengenakan jas, sarung, dan peci hitam terlihat membawa kertas kecil sambil mengepalkan tangan kanannya. Saat pemuda tersebut berbicara, empat orang lainnya kemudian mengikuti. Salah satunya perempuan.

Pria tersebut menyatakan, “Kami umat Islam Kecamatan Mangaran Kabupaten Situbondo menyatakan menolak dan menentang surat Sekda Kabupaten Situbondo tertanggal 2 Juli 2021, khususnya angka 4 yang menyatakan penutupan masjid. Apabila Sekda Kabupaten Situbondo tetap melakukan penutupan masjid, kami nyatakan siap perang.”

Muhammad Khalil itu bukan satu-satunya. Banyak orang yang mempertontonkan sikap demikian, termasuk, salah satunya, ustaz paling popular ini di negeri ini, yang menyebut Tuhan akan marah jika masjid-masjid ditutup hanya karena pandemi. Unggahan ini pun mendapat respon beragam dari warganet. Sebagian besar menyayangkan adanya aksi penolakan tersebut dan berharap masyarakat bisa patuh dengan kebijakan pemerintah.

Singa Gurun Vs Thaun

Dalam hal bagaimana menghadapi wabah atau pandemi, termasuk Covid-19 ini, ada baiknya masyarakat harus belajar dari apa yang terjadi pada 18 Hijriah dan bagaimana Khalifah Umar bin Khatab menyikapinya.

Umar bin Khatab, yang saat itu sebagai khalifah namun lebih suka disebut Amirul Mukminin, mendapat sebuah kabar tentang penyakit yang menjangkiti wilayah Syam. Penyakit ganas ini bernama thaun amwas, yang menyebabkan benjolan di seluruh tubuh. Jika benjolan terus tumbuh nantinya akan pecah, di penderita mengalami pendarahan, dan bisa berakhir pada kematian.

Akibat wabah tersebut tercatat kurang lebih 20 ribu orang meninggal, termasuk di dalamnya adalah Abu Ubaidah, Gubernur Syam yang kakinya terkena luka dan tak sempat diselamatkan akibat wabah penyakit yang mengenai dirinya.

Wabah tersebut terjadi di wilayah Saragh, sebuah daerah di Lembah Tabuk, Syam. Awalnya sang Amirul Mukminin yang juga memperoleh julukan “Singa Padang Pasir” atau “Singa Gurun” karena keberaniannya di atas rata-rata, itu berencana melakukan kunjungan ke Syam. Ketika itu sudah bergabung dengan kekuasaan Islam.

Saat sampai di Saragh, Umar bertemu dengan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah yang ketika itu disebut menjabat Gubernur Syam. Abu Ubaidah memberitahu Umar bahwa wilayah Syam sedang terjadi wabah penyakit. Mendapat kabar tersebut Umar memutuskan berhenti di Saragh.

Dikutip dari Kitab Al Lu’lu wal Marjan karya Muhammad Fuad Abdul Baqi, Umar kemudian berdiskusi dengan tokoh-tokoh senior Muhajirin. Abdullah Ibnu Abbas, seperti diriwayatkan dalam hadis Abdurrahman bin Auf, menceritakan bahwa ketika itu Umar meminta dipanggilkan beberapa tokoh Muhajirin. Sempat terjadi perdebatan antara tokoh senior Muhajirin dengan Umar bin Khattab. Ada yang menyarankan agar Umar tetap melanjutkan perjalanan ke Syam, namun tak sedikit yang meminta Umar kembali ke Madinah. Pertemuan itu pun akhirnya dibubarkan karena tidak menghasilkan mufakat.

Umar kemudian minta Ibnu Abbas untuk memanggil orang-orang Anshar guna mendiskusikan perihal perlu tidaknya Umar pergi ke Syam. Tetapi, sayangnya dalam musyawarah tersebut terjadi perdebatan sengit sehingga tidak menemukan kesepakatan.

Sekali lagi, Umar meminta Ibnu Abbas memanggil sesepuh Quraisy yang dulu hijrah pada peristiwa penaklukkan Makkah. Ibnu Abbas pun memanggil tokoh Quraisy yang ternyata tinggal dua orang saja. Kedua tokoh Quraisy menyarankan agar Umar mengurungkan niat untuk mendatangi Syam yang sedang dilanda wabah penyakit.

Umar akhirnya menyetujui saran mereka untuk kembali ke Madinah. Umar berencana esok pagi kembali ke Madinah bersama rombongan yang berangkat bersamanya. Tetapi, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah tak sepakat dengan keputusan Umar tersebut. Ia berkata, “Apakah engkau ingin lari dari takdir, wahai Amirul Mukminin?”

“Ya, kita akan lari dari takdir Allah menuju takdir Allah yang lainnya,” jawab Umar.

Kemudian datanglah Abdurrahman bin Auf yang menjelaskan kepada Abu Ubaidah, bahwa yang akan dilakukan Umar adalah persis dengan sabda Rasulullah SAW:

“Apabila kalian mendengar ada suatu wabah di suatu daerah, maka janganlah kalian mendatanginya. Sebaliknya, kalau wabah tersebut berjangkit di suatu daerah sedangkan kalian berada di sana, maka janganlah kalian keluar melarikan diri darinya.”

Umar bin Khattab kemudian meminta Abu Ubaidah untuk meninggalkan Syam. Namun Abu Ubaidah menolak dan tetap tinggal di Syam. Dia kemudian terkena wabah yang mengakibatkannya meninggal dunia.

Wabah thaun di Syam baru mereda setelah Amr bin Ash menjabat Gubernur Syam menggantikan Muaz bin Jabal yang juga meninggal karena wabah thaun tersebut. Amr bin Ash yang menjabat Gubernur Syam mencoba menganalisis penyebab munculnya wabah tersebut. Setelah menemukan penyebab penyerbaran wabah, kemudian dilakukan karantina terhadap orang yang terinfeksi thaun. Ia melakukan pembatasan mobilitas antara yang yang sehat dan yang sakit seperti yang disabdakan Rasulullah. Penduduk Syam dengan sukarela patuh terhadap kebijakan Gubernur Syam. Setelah kebijakan tersebut dilaksanakan, perlahan-lahan wabah thaun mulai hilang.

Jika berkaca terhadap kisah Umar dan Amr bin Ash dalam menghadapi wabah, semua pihak seharusnya mematuhi program pemerintah, yaitu dengan melaksanakan protokol kesehatan atau melakukan karantina sehingga seperti wabah di Syam yang bisa teratasi. Sangat disayangkan jika ada orang yang bersikap abai terhadap protokol kesehatan yang dianjurkan pemerintah, bahkan cenderung memprovokasi untuk melakukan pembangkangan dengan membawa-bawa nama Tuhan.

Multi-Page

One Reply to “Ketika “Singa Gurun” Diadang Pandemi”

Tinggalkan Balasan