Ketika Tuhan Menyuruh Berhenti

Kerja keras tanpa jeda bukanlah kebajikan, melainkan kutukan zaman kapitalisme.

Paul Lafargue pernah menulis: “Hak untuk malas adalah hak untuk menjadi manusia seutuhnya.”

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Ia bukan sedang menyeru untuk malas, tapi untuk kembali waras — sebab manusia yang terus bekerja tanpa berhenti, tanpa berdoa, tanpa berzikir, pada hakikatnya telah menjadi mesin dengan tubuh biologis.

Peradaban modern memuja kerja tanpa henti. Setiap detik dihitung, setiap jam harus produktif. Manusia berlomba mengejar waktu, padahal waktu diciptakan bukan untuk dikejar, tapi untuk diisi dengan makna. Dalam tekanan ekonomi dan ambisi, banyak orang lupa bahwa Tuhan tidak menciptakan manusia untuk bekerja siang dan malam tanpa ruh ibadah.

Al-Qur’an mengingatkan:

> “وَجَعَلْنَا نَوْمَكُمْ سُبَاتًا، وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ لِبَاسًا، وَجَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًا”

Artinya: “Dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat, malam sebagai pakaian, dan siang untuk mencari penghidupan.” (QS. An-Naba’: 9–11)

Ayat ini menegaskan ritme ilahi: kerja dan istirahat adalah pasangan yang tak boleh dipisahkan. Siang untuk bergerak, malam untuk kembali ke diri dan kepada Allah. Tapi kapitalisme modern menghapus batas itu — membuat malam tetap terang, siang tetap sibuk, dan jiwa kehilangan kesempatan untuk diam.

Dalam Injil, Yesus juga berkata: “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.” (Matius 11:28)

Kalimat itu bukan sekadar undangan spiritual, melainkan kritik sosial. Ia berbicara kepada manusia yang telah kehilangan “sabat”, hari istirahat suci yang dulu dijaga oleh para nabi.

Dalam Taurat, sabat adalah hukum Tuhan yang eksplisit: “Enam hari lamanya, engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat bagi Tuhan, Allahmu; maka jangan melakukan pekerjaan apapun.” (Keluaran 20:9–10)

Jadi bahkan dalam wahyu-wahyu kuno, Tuhan sudah menetapkan bahwa kerja tanpa henti adalah bentuk kekufuran terhadap waktu. Istirahat adalah ibadah. Diam adalah bentuk zikir.

Lalu datanglah Islam dengan penataan yang lebih halus dan lebih manusiawi. Islam tidak menunggu hari ketujuh untuk beristirahat. Ia memberi waktu jeda setiap hari: lima kali sehari. Shalat bukan hanya ritual, tapi sistem ritmis yang menjaga keseimbangan antara dunia dan ruh.

Bayangkan, di tengah kesibukan kerja, Islam memerintahkan berhenti. Dari subuh yang menandai kesadaran, zuhur yang menahan keserakahan, ashar yang mengingat kefanaan, maghrib yang menyimbolkan syukur, hingga isya yang menutup hari dengan ketenangan. Semua itu adalah bentuk sabat kecil yang tersebar dalam 24 jam kehidupan.

Wirid pun hadir sebagai napas tambahan bagi jiwa yang lelah oleh dunia. Bukan sekadar lafaz yang diulang, tapi metode untuk mengembalikan kesadaran kepada “Asal”. Ketika lidah berzikir, pikiran berhenti berlari, hati pulang ke pusatnya.

Karena manusia yang tidak pernah diam, tidak pernah hening, akan kehilangan jiwanya — seperti sumur yang terus ditimba tanpa sempat diisi ulang airnya.

Kerja keras adalah ibadah, ya. Tapi kerja keras tanpa sujud, tanpa dzikir, hanya akan membuat kita jadi budak produksi.

Bahkan Al-Qur’an menegaskan:

> “فَإِذَا فَرَغْتَ فَانصَبْ، وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَارْغَبْ”

Artinya: “Maka apabila engkau telah selesai dari suatu urusan, tetaplah bekerja keras (dalam ibadah), dan hanya kepada Tuhanmu berharaplah.” (QS. Al-Insyirah: 7–8)

Perhatikan bagaimana kata ‘fanṣab’ dalam ayat ini bermakna “berdiri” — seakan Tuhan ingin mengatakan: selesai urusan dunia, berdirilah untuk urusan akhirat. Selesai kerja, salatlah. Selesai lelah, zikirkanlah nama-Ku. Karena keseimbangan itu bukan sekadar disiplin, melainkan penyelamatan.

Manusia modern sering beranggapan bahwa waktu adalah uang, padahal waktu adalah nafas Tuhan yang dihembuskan ke dalam kehidupan.

Ketika waktu hanya diukur dengan produktivitas, maka doa kehilangan makna, dan manusia kehilangan kemanusiaannya. Itulah mengapa Islam menempatkan salat di tengah aktivitas — bukan di ujung hari. Ia bukan selingan, tapi poros kehidupan.

Salat dan wirid adalah revolusi paling tenang melawan kapitalisme yang gaduh. Ia menegakkan kemanusiaan dengan cara paling sederhana: dengan berhenti. Berhenti dari rutinitas, berhenti dari keserakahan, berhenti dari ilusi bahwa kita harus selalu bergerak agar berharga.

Maka jangan heran jika orang-orang yang rajin salat dan berwirid tampak tenang meski miskin. Mereka bukan malas. Mereka sedang menjaga hak tertua manusia: hak untuk bernapas, hak untuk berpikir, hak untuk kembali kepada Tuhan. Karena dalam dunia yang berlari terlalu cepat, hanya mereka yang mampu berhenti yang benar-benar sedang berjalan.

Dan barangkali, dalam keheningan salat itulah, manusia baru benar-benar produktif — sebab ia kembali menjadi ciptaan, bukan sekadar pekerja.

Lalu sekarang mari kita bertanya pada diri sendiri: Jika Tuhan sendiri memberi perintah untuk berhenti, untuk berdoa, untuk berzikir, lalu siapa sebenarnya yang memerintahkan kita untuk terus bekerja tanpa henti?

Multi-Page

Tinggalkan Balasan