KH Asyhari Marzuqi: Dari Pesantren Tradisional ke Panggung Intelektual

670 views

Selain dikenal sebagai kota pelajar, Yogyakarta juga memiliki banyak pondok pesantren. Salah satunya adalah Pondok Pesantren Nurul Ummah yang terletak di daerah Kotagede. Pendirinya adalah KH Asyhari Marzuqi, yang merupakan santri dari KH M Moenawir Krapyak, kiai dari pesantren legendaris yang melahirkan banyak ulama terkemuka di Nusantara.

KH Asyhari Marzuqi lahir dari pasangan KH Ahmad Marzuqi Romli (kiai berpengaruh di Giriloyo) dan Nyai Danisah (putri bungsu dari Mbah Harjo Sentono Giriloyo). Giriloyo merupakan dusun yang terletak di kaki perbukitan Imogiri. Masyarakat sekitar lebih mengenalnya dengan nama Pajimatan, suatu bukit di daerah kawasan selatan Yogyakarta. Daerah ini terkenal karena di sanalah raja-raja Mataran Islam dimakamkan.

Advertisements

KH Asyhari Marzuqi dilahirkan di Dusun Giriloyo, Wukirsari, Imogiri, Bantul, Yogyakarta. Catatan kelahirannya tidak diketahui secara pasti. Namun, ayahnya, KH Ahmad Marzuqi, berujar kepada Asyhari kecil bahwa ia lahir pada masa Jepang memasuki Yogyakarta, sekitar awal tahun 1940-an.

Asyhari kecil mendapatkan pendidikan langsung dari kedua orang tuanya. Sejak kecil sudah akrab dengan pendidikan keagamaan, sebab kakek dan ayahnya adalah pengasuh pondok pesantren di desanya.

Masa kecilnya dihabiskan di Imogiri bersamaan dengan masa pendudukan Belanda di Indonesia. Ketika usia 7 tahun, yakni sekitar 1947, Asyhari masuk Sekolah Rakyat di Singosaren. Kemudian, ketika sudah kelas 2, pindah ke Imogiri pada 1948. Tahun 1948-1950 sempat kembali lagi ke Singosaren karena suasana yang sangat mencekam. Sebab, saat itu bersamaan dengan pendudukan kembali Belanda di Indonesia. Ketika suasana mereda, sekolah dipindahkan lagi ke Imogiri hingga tamat dari Sekolah Rakyat di kampungnya pada 1955.

Setelah tamat Sekolah Rakyat, Asyhari muda kemudian dipondokkan oleh ayahnya ke Pesantren Krapyak. Ia sempat bingung menentukan pilihan antara penguasaan kitab kuning dan hafalan Al-Quran. Tetapi, keputusan kemudian diambil setelah mendengarkan dawuh dari KH Ali Ma’shum. Demikian kira-kira wejangan KH Ali Ma’shum:

Nek kowe nguasai kitab lan tafsir, mongko Al-Qurane arep melu. Tapi, nek ngapalna Al-Quran, durung tentu kitab lan tafsire mbok kuasai” (Jika kamu menguasai kitab dan tafsir, maka Al-Quran akan serta merta ikut. Tapi, jika hanya menghafalkan Al-Quran, belum tentu kitab dan tafsirnya kamu mampu menguasainya).

Asyhari muda dikenal sebagai santri yang pendiam dan tidak banyak tingkah. Di Krapyak, ia lebih intens dan mendalami kitab kuning. Melalui tes dari KH Ali Ma’shum, ia menempuh pendidikan tingkat ibtidaiyah hanya dalam waktu 2 tahun, yang seharusnya ditempuh 4 tahun. Begitu juga dengan tingkat tsanawiyah dan aliyah, mampu ditempuhnya hanya dalam waktu masing masing 2 tahun saja atas rekomendasi KH Ali Ma’shum.

Asyhari Marzuqi menyelesaikan pendidikan tsanawiyah tahun 1957, dan selesai madrasah aliyah tahun 1961. Ketika masuk tingkat aliyah, Asyhari muda diminta untuk mengajar adik-adik kelasnya. Bahkan dipercaya sebagai kepala madrasah diniyah pertama ketika pesantren mendirikan Madrasah Diniyah sekitar tahun 1957.

Tahun 1965, Asyhari menjadi mahasiswa jurusan Tafsir Hadis di Fakultas Syariah di IAIN Sunan Kalijaga. Bagi kalangan pesantren kala itu, masuk ke perguruan tinggi seperti IAIN adalah sebuah langkah berani, sebab masih banyak sementara ulama yang mengharamkan santri belajar di sekolahan yang non-pesantren.

Langkah berani ini tidak lepas dari peran KH Ali Ma’shum yang memacu santrinya untuk masuk ke perguruan tinggi. Ketika itu, KH Ali Ma’shum sendiri adalah dosen di IAIN Sunan Kalijaga. Tahun 1968, ketika memasuki semester tujuh, Profesor Hasbi Ash Shiddiqi mengangkatnya menjadi asisten dosen untuk mengajar mahasiswa pada mata kuliah Bahasa Arab serta Nahu dan Saraf. Dua tahun kemudian, Asyhari berangkat ke Baghdad untuk melanjutkan pendidikan S2 dan kembali ke tanah air pada November 1985.

Pesantren Nurul Ummah

Jika dahulu kebanyakan pesantren didirikan di perkampungan yang tradisional, maka bagi Kiai Asyhari Marzuqi justru sebaliknya. Persebaran dakwah dengan pengembangan pesantren juga harus ada di tempat-tempat strategis sehingga tidak ketinggalan perkembangan informasi. Berdasarkan pemikiran tersebut, Kiai Asyhari pun mencari lokasi yang dekat dengan kota untuk mendirikan pesantren, tepatnya di Prenggan, Kotagede, Yogyakarta.

Pada 1986, Pondok Pesantren Nurul Ummah berdiri. Peletakan batu pertamanya dilakukan pada 9 Februari 1986 oleh KH Asyhari Marzuqi, KH Nawawi Ngrukem, dan dihadiri oleh keluarga Krapyak. Tantangan awal usai berdirinya pondok pesantren adalah bagaimana bergaul dan menghadapi masyarakat sekitar. Sebab, jamaknya masyarakat Kotagede yang secara kultur dan organisasi lebih condong ke Muhammadiyah.

Pemberian nama Nurul Ummah merupakan hasil musyawarah. Nama Nurul Ummah yang berarti Cahaya Umat ini dipilih sebagai harapan Pondok Pesantren Nurul Ummah bisa menjadi lembaga pendidikan Islam sebagai tempat mendalami ilmu agama (tafaqquh fiddin), dan mampu memberikan sinar pencerahan yang menerangi dan mengarahkan umat dalam menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat (sa’adah fi darayn).

Perjuangan di NU

Sepulang dari Baghdad, Kiai Asyhari juga menempuh jalur struktural untuk mengabdikan diri dalam melestarikan paham Alussunnah wal Jamaah. Beliau mengawali kiprahnya dengan mengasuh rubrik “Kaifa La’alla” di Majalah Bangkit pada 1988. Selain itu, Kiai Asyhari juga melibatkan diri di RMI (Rabithah Ma’ahadil Islamiyyah, jaringan pesantren seluruh Nusantara). Beliau diangkat menjadi Ketua RMI selama satu periode 1988-1992.

Usai menjabat sebagai Ketua RMI, nama serta gaya kepemimpinannya pun semakin dikenal di kalangan nahdliyin. Tidak heran jika kemudian Kiai Asyhari dipilih menjadi Rois Syuriah untuk periode 1992-1997 pada Konferensi Pengurus Wilayah NU DIY ke-9 di Kaliurang pada 9-10 Januari 1993. Kiai Asyhari menjabat Rois Syuriah selama tiga periode, tetapi di tengah mengemban amanat ini beliau wafat sebelum masa khidmatnya berakhir.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan