Secara historis, KH Hasyim Asy’ari, atau lebih familiar dengan panggilan Mbah Hasyim, bukan hanya seorang kiai sekaligus pahlawan nasional, melainkan juga seorang santri pembelajar yang sejak belia haus akan ilmu pengetahuan. Pada masa belia, Mbah Hasyim juga aktif belajar layaknya seorang santri seperti pada umumnya.
Hanya, secara genealogis, Mbah Hasyim memang sedikit berbeda. Ada kombinasi trah dalam dirinya, yaitu “darah biru” yang mewakili keturunan ningrat/raja dan “darah putih” yang mewarisi keturunan ulama. Darah biru yang Mbah Hasyim diperoleh dari jalur ibu, sedangkan darah putih diperoleh dari jalur sang ayah. Malah bukan sembarang ulama, Mbah Hasyim merupakan keturunan langsung wali songo dari jalur Sunan Giri (Raden Paku/Ainul Yaqin) dan tersambung hingga Rasulullah SAW.

Kiai sekaligus sastrawan Nahdlatul Ulama (NU) Abdul Karim Hasyim Nafiqah (Akarhanaf) menyebut nasab Mbah Hasyim dari jalur ibu, yaitu Muhammad Hasyim Asy’ari bin Halimah binti Layyinah binti Sichah bin Abdul Jabbar bin Ahmad bin Pangeran Sambo bin Pangeran Banawa bin Jaka Tingkir (Mas Karebet) bin Prabu Brawijaya VI (Lembu Peteng), Raja Majapahit terakhir.
Sementara itu, nasab Mbah Hasyim dari jalur ayah meliputi Muhammad Hasyim Asy’ari bin Asy’ari bin Abdul Wahid bin Abdul Halim (Pangeran Bona/Benawa) bin Abdul Rahman (Jaka Tingkir/Sultan Hadiwijaya) bin Abdullah bin Abdul Aziz bin Abdul Fatah bin Maulana Ishaq bin Raden Ainul Yaqin (Sunan Giri).
Dengan garis nasab tersebut, Mbah Hasyim tumbuh sebagai pribadi yang cerdas dan karismatik. Mbah Hasyim sejak belia memang memiliki DNA pembelajar yang ulet dan cerdas, bahkan sejak dalam kandungan. Mbah Hasyim diketahui telah memiliki tanda-tanda keanehan yang nyata, seakan-akan telah diramalkan kelak ia akan menjadi ulama besar paling berpengaruh di Tanah Air.
Muhamad Rifai dalam bukunya berjudul KH Hasyim Asy’ari, Biografi Singkat (2009) menyebut ada tiga keanehan mencolok ketika Hasyim kecil hendak dilahirkan. Pertama, sewaktu mengandung, sang ibunda suatu kali pernah bermimpi tertimpa bulan purnama yang jatuh tepat di atas perutnya. Kedua, ibundanya mengandung sang buah hati tidak seperti kebanyakan bayi pada umumnya, yaitu 9 bulan 10 hari, melainkan 14 bulan lamanya. Ketiga, bidan dan neneknya belum pernah melihat dan menyaksikan lahirnya seorang bayi seperti Mbah Hasyim, yang memiliki firasat bahwa ia akan menjadi pemimpin besar di masa depan. Sang bidan dan nenek belum pernah melihat wajah bayi yang lahir seperti lahirnya Hasyim kecil.