KH Hasyim Asy’ariy —selanjutnya ditulis Hadratussyaikh— menjadi tokoh sentral dinamika pergerakan di Indonesia. Pergerakan menegakkan syiar Allah dengan segala risiko perjuangan bahkan konsekuensi pahit sekalipun diterima. Perjuangan menegakkan nilai-nilai Islam melalui jalur pendidikan Pesantren Tebuireng juga melahirkan banyak santri yang kelak menjadi ujung tombak pengusiran penjajah dari Indonesia. Perjuangan mengusir penjajah dengan laskar yang dibentuknya dengan para kiai mampu membawa martabat Indonesia disegani oleh negara lain berkat usaha yang dilakukannya. Perjuangan yang sedemikian beratnya dimulai dari pribadi Hadratussyaikh yang mendapat cobaan luar biasa, lebih-lebih sisi perkawinan yang selalu diuji dengan diambil sang istri dan anak menghadap Allah.
Di sisi lain, Hadratussyaikh menjadi penentu awal dan tokoh kunci lahirnya Nahdlatul Ulama (NU) maupun lahirnya dinamika keilmuan Indonesia pada masanya. Hadratussyaikh menjadi ulama pakar hadits yang diperoleh dari gurunya ketika mencari ilmu di Hijaz/Makkah melalui Syaikh Mahfud al Tarmusi, ulama asal Termas, Indonesia. Dari Syaikh Mahfud al Tarmusi, Hadratussyaikh memperoleh sanad keilmuan di bidang hadits bahkan kelak menjadi sang maestro hadits Indonesia. Tentunya, kepakaran Hadratussyaikh tidak lepas dari keringat perjuangan dalam mencari ilmu di Makkah.
Tak hanya itu, peran Hadratussyaikh juga terlibat aktif dalam menghadirkan wajah Islam dengan sinergitas adat maupun budaya setempat. Dari tangan Hadratussyaikh, ajaran Islam melalui perantara Walisongo terus diamalkan sampai ke pelosok desa hingga sekarang. Maka tidak heran, Hadratussyaikh menjadi salah satu ulama Nusantara yang mendunia, terbukti dari banyaknya negara dan ulama mengakuinya bahkan dari kalangan orientalis juga memberikan apresasi positif pada ulama asal Jombang ini.
Adat dan tradisi menjadi wilayah yang mendapatkan prioritas khusus Hadratussyaikh. Tidak salah ketika orang yang mengikuti landscape pemikirannya sangat menghargai eksistensi budaya maupun tradisi di Jawa atau Nusantara. Oleh karenanya, prinsip Al Muhafadatu Ala Qadimi Al Sholeh Wa Akhdu Bi Jadidi Al Ashlah menjadi garda terdepan mengawal tradisi agar tidak keluar dari ajaran Islam. Dari sinilah, Hadratussyaikh ingin mengapresiasi aspek budaya tanpa meninggalkan nilai-nilai Islam terlebih yurisprudensi Islam yang sudah terpatri dalam jiwa raganya.