KH Hasyim Asy’ariy dan Kesetaraan Jender

92 views

KH Hasyim Asy’ariy —selanjutnya ditulis Hadratussyaikh— menjadi tokoh sentral dinamika pergerakan di Indonesia. Pergerakan menegakkan syiar Allah dengan segala risiko perjuangan bahkan konsekuensi pahit sekalipun diterima. Perjuangan menegakkan nilai-nilai Islam melalui jalur pendidikan Pesantren Tebuireng juga melahirkan banyak santri yang kelak menjadi ujung tombak pengusiran penjajah dari Indonesia. Perjuangan mengusir penjajah dengan laskar yang dibentuknya dengan para kiai mampu membawa martabat Indonesia disegani oleh negara lain berkat usaha yang dilakukannya. Perjuangan yang sedemikian beratnya dimulai dari pribadi  Hadratussyaikh yang mendapat cobaan luar biasa, lebih-lebih sisi perkawinan yang selalu diuji dengan diambil sang istri dan anak menghadap Allah.

Di sisi lain, Hadratussyaikh menjadi penentu awal dan tokoh kunci lahirnya Nahdlatul Ulama (NU) maupun lahirnya dinamika keilmuan Indonesia pada masanya. Hadratussyaikh menjadi ulama pakar hadits yang diperoleh dari gurunya ketika mencari ilmu di Hijaz/Makkah melalui Syaikh Mahfud al Tarmusi, ulama asal Termas, Indonesia. Dari Syaikh Mahfud al Tarmusi, Hadratussyaikh memperoleh sanad keilmuan di bidang hadits bahkan kelak menjadi sang maestro hadits Indonesia. Tentunya, kepakaran Hadratussyaikh tidak lepas dari keringat perjuangan dalam mencari ilmu di Makkah.

Advertisements

Tak hanya itu, peran Hadratussyaikh juga terlibat aktif dalam menghadirkan wajah Islam dengan sinergitas adat maupun budaya setempat. Dari tangan Hadratussyaikh, ajaran Islam melalui perantara Walisongo terus diamalkan sampai ke pelosok desa hingga sekarang. Maka tidak heran,  Hadratussyaikh menjadi salah satu ulama Nusantara yang mendunia, terbukti dari banyaknya negara dan ulama mengakuinya bahkan dari kalangan orientalis juga memberikan apresasi positif pada ulama asal Jombang ini.

Adat dan tradisi menjadi wilayah yang mendapatkan prioritas khusus Hadratussyaikh. Tidak salah ketika orang yang mengikuti landscape pemikirannya sangat menghargai eksistensi budaya maupun tradisi di Jawa atau Nusantara. Oleh karenanya, prinsip Al Muhafadatu Ala Qadimi Al Sholeh Wa Akhdu Bi Jadidi Al Ashlah menjadi garda terdepan mengawal tradisi agar tidak keluar dari ajaran Islam. Dari sinilah, Hadratussyaikh ingin mengapresiasi aspek budaya tanpa meninggalkan nilai-nilai Islam terlebih yurisprudensi Islam yang sudah terpatri dalam jiwa raganya.

Grand design pemikiran Hadratussyaikh meliputi banyak bidang keilmuan. Di antaranya eksistensi praksis teologis pada zaman klasik yang mengupas tuntas tentang Asy’ariyah, Maturidah, Mu’tazilah, Khawarij, Jabariyah, atau Syi’ah. Kemudian, Hadratussyaikh memberikan fokus kajian pada aspek sufisme Islam, legal formal fikih mencakup ijtihad, pemikiran politik berlandaskan fiqh siyasiy dan urgensitas taqlid serta etika santri mencari ilmu. Semuanya tercakup dalam buku antologi karyanya yang berjudul Irsyadu Al Saariy yang disunting oleh KH Ishom Hadhiq.

Di sisi lain, Khuluq mengutip dalam buku Fajar Kebangunan Ulama: Biografi KH Hasyim Asy’ariy yang mengurai tentang pentingnya pengaruh Hadratussyaikh dalam pemikiran keagamaan Islam di Nusantara. Pengaruh pemikiran keagamaan Hadratussyaikh tidak dapat diragukan lagi. Akan tetapi, ide-ide beliau yang dikemukakan dalam tulisan pada karyanya kurang berpengaruh dibandingkan dengan yang disampaikan melalui pidato-pidatonya. Pengaruh tulisan hanya terbatas pada muslim tradisional, khususnya masyarakat pesantren pada masa awal publikasinya.

Hal ini dimungkinkan karena dua faktor. Pertama, karya tulis beliau lebih banyak mengupas tentang aspek teologis maupun ilmu agama murni, seperti sufisme dan fikih yang merupakan hal yang biasa digeluti oleh kalangan tradisionalis. Kedua, karya-karya ini ditulis dalam bahasa Arab atau Jawa dengan huruf Arab atau dikenal dengan pegon. Penggunaan bahasa Arab mempunyai pengaruh yang cukup penting untuk menarik minat pembaca dari kalangan masyarakat pesantren yang lebih menghargai bahasa Arab daripada bahasa lain. Sebaliknya, pidato Hadratussyaikh berpengaruh pada masyarakat yang lebih luas termasuk muslim modernis-nasionalis sekular. Hal ini dikarenakan pidato tersebut sering kali dipublikasikan di surat kabar dalam bahasa Melayu (Indonesia) yang menjadi bahasa nasional masyarakat Indonesia (Lingua Franca).

Dalam pada itu, kalau kita amati pengaruh Hadratussyaikh sangat kuat di kalangan pesantren secara langsung karena jargon utamanya adalah melestarikan ajaran Islam melalui kitab kuning. Tetapi, tidak menutup kemungkinan Hadratussyaikh mempunyai cara tersendiri yang sampai saat ini belum ditemukan tentang bagaimana mendidik masyarakat yang tidak mengenyam pendidikan pesantren. Mungkin bisa dengan kumpulan-kumpulan orang dengan polesan adat dibarengi penanaman nilai Islam, sehingga nuansa pemahaman ke-Islaman masyarakat Hindu-Budha sangat kental pada masing masing individu. Pemahaman model gerakan kultural lebih masif diimplementasikan dengan tidak menghilangkan pendekatan struktural melalui ngaji di Pesantren Tebuireng atau pesantren yang berafiliasi dengan Tebuireng.

Dengan kealiman yang dimiliki, Hadratussyaikh memberikan pijakan yang berlandaskan al-Quran dan hadits tentang banyak hal. Salah satu yang sangat esensial adalah bagaimana Hadratussyaikh memberikan gambaran berbeda soal posisi perempuan secara universal yang mengacu pada kalam kalam Kanjeng Nabi.

Perempuan mendapatkan porsi lebih di mata beliau hingga gagasan tentang kesetaraaan jender diinterpretasikan dengan apik lebih-lebih ketika perempuan dikonfrontasikan dengan pendidikan. Pendidikan menjadi penentu bagaimana perempuan ke depannya. Karena, perempuan berhak untuk mengembangkan dirinya melalui pendidikan, sehingga ia dapat bersama-sama dalam mendidik anak-anak. Bahkan, tidak menutup kemungkinan negara dibangun dengan perasan keringat perempuan di balik suksesnya Founding Fathers negeri ini.

Hadratussyaikh, seperti dikutip Mukminin pada buku Hadratusy Syaikh KH Muhammad Hasyim Asy’ariy al Jombangi, memandang perempuan tidak hanya sebagai konco wingking yang tidak mempunyai peran lebih dalam masalah pendidikan. Beliau sangat memperhatikan masalah tersebut, bahkan perempuan mempunyai tempat khusus di mata Hadratussyaikh.

Menurut KH Ishom, Hadratussyaikh menganggap bahwa perempuan sebagaimana disebut oleh Kanjeng Nabi sebagai imad daulah (tiang negara). Konsep tersebut diucapkan ketika berlangsungnya muktamar, bahkan tidak sedikit kiai yang menentang dan tidak sepaham serta menggugat gagasan tersebut. Namun, bakat intelektual serta kealiman Hhadratussyaikh, kemusykilan yang sempat tumbuh bisa dijawab dengan lugas dan tegas dengan data historis dan dalil-dalil yang dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya. Ide tersebut diabadikan dalam karya beliau yang berjudul Ziyadut Ta’liqat.

Di sinilah pendidikan jender secara tidak langsung ditanamkan oleh Hadratussyaikh. Kesetaraan dalam memperoleh pendidikan menjadi argumentasi yang tidak kalah penting tanpa meninggalkan data-data historis yang mendukung. Tentunya, perbedaan pendapat menjadi keniscayaan tak terbantahkan saat itu. Hadratussyaikh mengajari arti kesetaraan dalam perspektif pendidikan dengan tidak memandang laki-laki sebagai pihak superior, sedangkan perempuan sebagai inferior.

Tetapi, amat sangat disayangkan, kesetaraan yang digaungkan oleh Hadratussyaikh semakin memudar dengan minimnya pemahaman sebagian kalangan yang kurang komprehensif. Perempuan di mata pesantren bukan dilihat dari soal memperoleh pendidikan an sich. Tetapi, dari bagaimana tonggak estafet kepemimpinan perempuan bisa dipahami secara proporsional komprehensif.

Ala kulli hal, Hadratussyaikh mengajari kita semua tentang banyak hal. Mulai keislaman, politik kebangsaan, kesetaraan perempuan, dan urgensitas pendidikan sebagai langkah maju mengenyam peradaban, pentingnya fikih sebagai aturan umat muslim melangkah mencari ridho Ilahi dan etika pencari ilmu serta sosialisasi yang dibutuhkan demi ilmu pengetahuan. Semoga, kita semua mampu meneladani ibrah yang melekat pada diri Hadratussyaikh sekaligus pemahaman yang utuh untuk menyongsong masa depan yang lebih cerah dan bermartabat. Wallahu A’lam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan