Sosok KH Husein Muhammad dikenal sebagai sedikit dari ulama Indonesia berpikiran modern-progresif. Tak jarang pikiran-pikirannya mengundang kontroversi. Salah satunya karena kegigihannya mendobrak dogma-dogma agama yang diskriminatif. Siapa sesunggugnya KH Husein Muhammad?
Kiai Husein, demikian sapaan akrabnya, berasal dari tradisi pesantren. Dilahirkan di Cirebon, Jawa Barat, pada 9 Mei 1953, sejak kecil Kiai Husein belajar agama kepada kakeknya sendiri, yaitu Kiai Syathori. Kiai Syathori adalah pendiri Pondok Pesantren Dar at Tauhid Arjawinangun, Cirebon.
Meskipun lahir dan dididik di lingkungan keluarga agamis dan berbasis pesantren, Kiai Husein seperti halnya anak-anak di usianya, masih mengenyam pendidikan formal di SD, kemudian melanjutkan di SMPN 1 Arjawinangun.
Setelah lulus Kiai Husein melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur dari tahun 1969 sampai 1973. Di sini Kiai Husein mendalami ilmu-ilmu agama dan kitab-kitab kuning klasik. Kemudian Kiai Husein memperdalam ilmu Al-Quran di Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an (PTIQ) di Jakarta selama lima tahun.
Setelah lulus dari PTIQ, pada tahun 1980, Kiai Husein melanjutkan pendidikannya untuk mendalami telaah tafsir ilmu Al-Quran di Universitas Al-Azhar, Mesir. Di sana, Kiai Husein belajar banyak dengan sejumlah syeikh di Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyah yang dimiliki oleh Universitas Al-Azhar.
Secara formal, di institusi ini KH Husein Muhammad berkenalan dengan pemikiran-pemikiran Islam modern yang dikembangkan oleh Muhammad Abduh, Ali Abdur Raziq, Muhammad Iqbal, dan lainnya. Kiai Husein juga berkenalan dengan pemikiran-pemikiran Barat seperti Sartre, Goethe, dan lainnya.
Setiba di Tanah Air, Kiai Husein memutuskan meneruskan perjuangan kakeknya untuk mengembangkan Pondok Pesantren Dar al-Tauhid. Untuk itu, Kiai Husein terbilang memiliki bekal keilmuan yang cukup dari pengalamannya belajar di Pondok Pesantren Lirboyo, PTIQ Jakarta, sampai di Al-Azhar.
Dengan latar pendidikan seperti itu, di sela kesibukannya mengembangkan pesantren yang diasuhnya, Kiai Husein juga aktif menyuarakan kepentingan masyarakat yang tertindas oleh suatu sistem yang tidak adil. Ia meyakini bahwa tujuan agama adalah memberikan rahmat bagi seluruh alam tanpa ada unsur diskriminasi atas yang lain.
Dalam perkembangannya, sosok KH Husein Muhammad merefleksikan pemikiran keagamaan klasik yang memberikan tafsir baru terhadap wacana keagamaan dan gender. Menurut Nuruzzaman dalam bukunya Kiai Husein Membela Perempuan, yang menarik dari pemikiran KH Husein Muhammad adalah kepekaannya terhadap isu-isu hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi yang selalu ia sandarkan dengan ajaran agama Islam, terutama tradisi keilmuan klasik. Hal ini dibuktikan dengan ungkapannya tentang masih banyaknya masyarakat yang tidak mau menggali secara mendalam khazanah keilmuan Islam. Padahal, dalam kitab-kitab klasik banyak sekali argumentasi, misalnya tentang penghargaan terhadap sesama manusia, penghargaan terhadap perbedaan dan menjunjung tinggi hak-hak orang lain.
Rupanya, prinsip Islam rahmatan lii al-’alamin yang mendorong KH Husein Muhammad terus menelaah dan menggali khazanah Islam serta tafsir agama dan kitab-kitab klasik. Atas aktivitas dan dedikasinya itu, Kiai Husein pernah menerima penghargaan dari pemerintah Amerika Serikat untuk Heroes to End Modern-Day Slavery.
Selain itu, nama KH Husein Muhammad juga tercatat dalam The 500 Most Influental Muslim yang diterbitkan oleh The Royal Islamic Strategic Studies Center pada tahun 2010-2012.
Untuk menebarkan pandangan dan pemikirannya, KH Husein Muhammad aktif menulis beberapa karya yang berkaitan pembelaan perempuan sebagai perjuangannya di tataran wacana. Kiai Husein juga menulis puluhan karya lain tentang wacana-wacana yang sedang ramai didiskusikan, mulai dari HAM, demokrasi, pluralisme, gender, hingga pemikiran tasawuf.
Bisa dikatakan, KH Husein Muhammad adalah seorang kiai feminis yang sangat produktif dalam menciptakan wacana-wacana dalam dunia literasi yang berhubungan dengan isu-isu kekinian.