Ketidakadilan terhadap perempuan dalam masyarakat Islam sebenarnya tidak hanya berasal dari ajaran atau berdasar agama, melainkan lebih kepada produk tafsir terhadap teks-teks agama. Pada saat yang sama, sebuah tafsir sangat dipengaruhi oleh faktor budaya, sosial, kecenderungan politik dan faktor psikologis sang penafsir.
Pada akhirnya, tantangan yang harus dihadapi para penafsir adalah bagaimana memahami implikasi dari pernyataan Al-Quran sewaktu diturunkan dan bagaimana menangkap substansi dari setiap ayat-ayat Al-Quran, sehingga umat Islam mampu membuat aplikasi praktis dari ayat-ayat Al-Quran dengan menyesuaikan kondisi dan situasi keadaan mereka, dengan tetap berpegang teguh pada substansi ajarannya.[1]
Kuatnya tradisi tafsir patriarkis atas teks-teks agama menjadikan pandangan-pandangan negatif terhadap perempuan masih terus berlangsung sampai masa kini. Seperti halnya dalam QS ll-Nisa’: 34, “al-Rijaalu qawwamuuna ‘alaa al-Nisaa’”, yang banyak diartikan bahwa laki-laki adalah pemimpin atas perempuan.
Dalam artian, di sini bahwa perempuan harus dikuasai bahkan dianggap sebagai harta milik laki-laki. Dan banyak lagi ayat-ayat Al-Quran dan hadis yang mengimplikasikan hal serupa, misalnya yang mencakup hukum waris, kesaksian, kualitas akal, dan agama antara laki-laki dan perempuan.[2]
Citra perempuan masih dianggap inferior. Dalam agama Islam, status perempuan masih dianggap sebagai alat utama setan untuk menggagalkan rencana Allah bagi umat manusia.[3] Adanya konstruksi seperti ini, status perempuan dianggap lebih rendah dan perempuan dianggap sebagai kaum yang lemah dalam segala bidang. Hal ini yang nantinya berimplikasi pada pembagian peran yang hierarkis.
Dalam relasi antara laki-laki dan perempuan, ada sebuah hadis yang terkesan memarginalkan perempuan, “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan”.
Terhadap hadis seperti ini harus dilakukan pembacaan secara kritis, karena hadis ini tidak dapat dipertahankan dan diperhadapkan dengan bukti-bukti sejarah. Padahal, Islam sendiri mengabadikan kesuksesan kepemimpinan perempuan sebagaimana yang digambarkan oleh Al-Quran melalui kepemimpinan Ratu Balqis, yang direkam Al-Quran dalam surat al-Naml dan al-Anbiyaa’.[4]