KH Yazid Karimullah atau lebih populer dipanggil Kiai Yazid adalah sosok kiai yang sangat alim, khususnya dalam bidang ilmu agama dan riwayat ketokohannya banyak dikenang dan dikenal di tengah-tengah masyarakat, baik di tingkat desa maupun tingkat kabupaten. Yazid, panggilan nama kecilnya adalah putra kedua dari pasangan almarhum KH Karimullah bin Idris dan Nyai Hj. Ruhani binti Kiai Syuhada’. Lahir di desa Baletbaru, Sukowono, Jember, pada 25 Januari 1950 M, atau 5 Rabi’ul Akhir 1369 H.
Pada 1959, ketika beliau masih berumur 9 tahun, saat itu baru duduk di kelas II Sekolah Rakyat (SR) Sukorejo Sukowono, oleh orang tuanya dipondokkan kepada kakek beliau sendiri dari garis Nyai Idris di Pesantren Tarbiyatul Athfal yang kemudian berganti nama Mabdaus Surur Potok I Sukowono pimpinan KH Nawawi.
Tidak begitu lama nyantri sekaligus sekolah di Madrasah Tarbiyatul Athfal, akhirnya pada 1960 beliau minta pindah ke Pondok Pesantren Bustanul Ulum Mlokorejo, Puger, Jember, asuhan KH Abdullah Yaqin.
Kiai Yazid berangkat nyantri ke Pesantren Mlokorejo dengan bekal keterbatasan. Beliau menggadaikan sebuah sarung wanita atau sewek (samper) milik tetangga untuk uang saku selama di perjalanan dan biaya hidup di pesantren. Dan salah satu bentuk bakti beliau kepada KH Abdullah Yaqin, beliau selalu menerima dengan senang hati jika diminta untuk memijat sang kiai.
Tujuh bulan berlalu, karena suatu sebab (faktor kesehatan), dan persoalan bahasa, karena di Pondok Mlokorejo mengartikan kitab kuning menggunakan bahasa Indonesia, kemudian pada 1964, beliau nyantri di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Asembagus, Situbondo, asuhan KHR As’ad Syamsul Arifin, sampai tahun 1968.
Kekaguman Kiai Yazid kepada Hadratus Syeikh KHR. As’ad Syamsul Arifin ini bisa dilihat dari sistem pengajaran yang diterapkan di Pondok Pesantren Nurul Qarnain. Sebagian amalan beliau seperti Ratibul Haddad, riyadlah bathiniyah malam Jumat dan termasuk sering mendatangi tanah suci Mekkah adalah amalan yang biasa dilakukan oleh Kiai As’ad.
Di pesantren inilah (Salafiyah Syafi’iyah) kemudian mengalir kisah suka-duka beliau selama di pondok Asembagus Situbondo, karena di pondok inilah beliau tinggal lebih lama dibanding dengan pondok sebelumnya.
Di antara kisahnya, sebagaimana santri pada umumnya, beliau seringkali mengalami telat kiriman (bekal hidup). Beliau yang menerima kenyataan pahit ini, hampir setiap malam makan pepaya dan tongkol rebus yang sengaja dimasak di atas jam 23.00 WIB, demi menghilangkan rasa malu dari teman-temannya. Beliau juga pernah makan sisa makanan temannya yang masih lengket di panci alias kerak nasi.
Sering pula saat siang hari beliau makan ampas kelapa yang dibuat gula (blibbik). Ini beliau lakukan selama menunggu datangnya kiriman dari orang tua. Dan hampir setiap beliau masak di depan tungku bersama temannya (H Hasan Basri), menyatakan cita-citanya yang begitu tinggi untuk memiliki pesantren kelak setelah terjun ke masyarakat.
Selama di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, beliau tidak ingin melewatkan waktu dengan sia-sia. Setiap saat beliau muthala’ah, mengaji di makam (asta) pengasuh dan riyadlah bathiniyah. Selain itu, beliau sangat patuh terhadap titah dan berupaya menjadi santri yang berbakti kepada perintah Kiai As’ad. Menjalani program dan kegiatan pesantren sebagaimana yang telah ditetapkan dan menjalani peraturan dengan penuh ketulusan.
Kebiasaan lain Kiai Yazid saat mondok adalah selalu memerangi rasa kantuk. Beliau seringkali memilih tidur dalam posisi duduk di jalan para santri menuju masjid. Kebiasaan ini sering beliau lakukan dengan maksud untuk menghilangkan atau membuang rasa kantuknya. Tentunya para santri yang lewat ada yang melangkahi beliau, dan ini dapat membantu dalam menggapai misinya tersebut.
Termasuk kebiasaan beliau saat nyantri di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, selalu minta maaf kepada Kiai As’ad demi keberkahan ilmu dan mendapat berkah kiai. Di pondok, Kiai Yazid juga sering mengurangi porsi makan. Sebab bilamana makan, terus kekenyangan maka rasa kantuk akan mulai menyergap dan akhirnya malas untuk belajar.
Sungguh terbukti hasil kerja keras beliau dalam berbakti kepada guru. Beliau selalu menyampaikan ketika memberi wejangan hangat kepada para santri, bahwa pesantren yang berdiri begitu megahnya ini (Pondok Pesantren Nurul Qarnain), nama beliau yang menjadi populer ke segala penjuru, para santri yang datang berduyun-duyun serta kesuksesan beliau dalam menata masyarakat, ini semua sebagai buah hasil dari pengabdian beliau selama mencari ilmu, lebih-lebih saat nyantri di Sukorejo.
“Coba bayangkan, apa yang ingin saya andalkan? Selembar ijazah pun saya tidak punya. Keahlian khusus juga tidak punya. Ini semua tidak lain karena barakah Kiai selama saya mondok,” tutur beliau.
Pada 1961, saat Kiai Yazid berumur 11 tahun, cita-cita untuk memiliki pesantren sudah tergambar dalam pikiran beliau. Maka, pada 1966, ketika berumur 16 tahun, saat masih nyantri di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo, barulah beliau melangkah mendirikan pesantren yang saat itu diberi nama Pesantren Karang Sawu. Dinamakan Karang Sawu karena di pekarangan tersebut terdapat pohon sawu.
Awal berdirinya pesantren, yang menjadi santri adalah putra-putri masyarakat di dusun Sumberpodak dan Sumbergayam. Ketika itu santri dibina langsung oleh abahnya (KH Karimullah) yang dibantu Kiai Yazid yang masih berstatus santri Pesantren Sukorejo, akibatnya beliau rela untuk sering pulang.
Dengan motivasi semangat amar ma’ruf nahi munkar, awal berdiri pesantren ini dibangun dari bahan bangunan yang seadanya yaitu berupa bambu (gedek atau tabing), baik bangunan pondok yang didiami para santri, maupun surau, di atas tanah kurang lebih 104 meter persegi. Bangunan surau tersebut memperoleh dana dari hasil penjualan kambing sebanyak satu ekor.
Agar Pesantren Karang Sawu dikenal oleh kalangan masyarakat, beliau menempuh banyak langkah, di antaranya mengadakan kegiatan minimal 2 kali dalam 1 tahun, yaitu setiap tanggal 20 Sya’ban dan 12 Rabi’ul Awal yang diawali dengan kegiatan-kegiatan lomba. Sebagai acara puncak dari kegiatan lomba tersebut beliau mengadakan pengajian yang diisi oleh sebagian besar pengasuh pondok pesantren se-kecamatan Sukowono.
Termasuk langkah yang juga ditempuh untuk semakin dikenal masyarakat, beliau membentuk Jami’atul Qura yang dikemas dengan acara membaca Al-Qur’an dan kasidah-kasidah Islam, juga membentuk Orkes Gambus sebagai pelengkap. Metode ini nyatanya juga membuahkan hasil yang memuaskan. Masyarakat menjadi terpikat. Banyak sekali yang berminat untuk mengundang, baik di daerah Sukowono maupun di daerah lain, seperti Kecamatan Tamanan, Grujugan, dan Kabupaten Bondowoso. Dengan demikian, nama Pondok Pesantren Karang Sawu semakin dikenal oleh masyarakat luas.
Pada 1968, dengan petunjuk Allah, nama Pesantren Karang Sawu diubah dengan nama Pondok Pesantren Darul Ulum. Beberapa waktu kemudian lembaga ini terdaftar di Departemen Agama Pusat dan resmi sebagai lembaga pesantren. Dengan legalitas status tersebut, respons masyarakat terhadap keberadaan pesantren semakin meningkat, yang diwujudkan dengan keikutsertaan masyarakat dalam perjuangan mulia.
Perkembangan selanjutnya, tepatnya pada 28 Juni 1979, Pondok Pesantren Darul Ulum diganti dengan nama Pondok Pesantren Nurul Qarnain hingga sekarang. Dan pada 1982, Pondok Pesantren Nurul Qarnain Desa Baletbaru, Kecamatan Sukowono ini telah terdaftar di Kantor Departemen Agama RI pusat, dengan nomor induk 0844, di bawah naungan Yayasan Pendidikan Islam Nurul Qarnain, Akte Notaris Nomor 13, Notaris Soesanto Adi Poernomo, bertanggal 3 Februari 1982.
Saat itu kondisi Pesantren Nurul Qarnain masih sangat sederhana, Kiai Yazid sudah buat setplan sekaligus gambar untuk lokasi strategis pengembangan pesantren. Beliau gambar dalam satu kertas, padahal saat beliau buat gambar tersebut area pondok masih berupa sawah-sawah. Dan sawah-sawah itu adalah milik orang lain. Masih belum diketahui, apakah tanah tersebut akan dijual oleh pemiliknya atau tidak. Ternyata, gambar yang beliau buat saat itu sesuai dengan kondisi nyata pondok pesantren saat ini.
Berkat ketekunan, konsistensi, dan semangat tinggi beliau, jumlah santri setiap tahunnya semakin bertambah. Di awal 2022 ini, santri Nurul Qarnain kurang lebih 2.000 orang. Di antara mereka berasal dari Kabupaten Jember, Bondowoso, Situbondo, Banyuwangi, Lumajang, Gresik, Pasuruan, Sidoarjo, Madura, bahkan ke luar provinsi, seperti Jawa Barat, Kalimantan, Sumatera, Aceh, Sulawesi, NTT, NTB, Bali, Kepulauan Riau, dan Kuala Lumpur Malaysia. Lembaga yang bernaung di dalamnya sudah terbilang lengkap, yaitu dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga pendidikan tinggi (Ma’had Aly dan STIS).
Gelar khadimul ma’had atau khadimut thalabah sepertinya tidak salah jika disandangkan kepada KH Yazid Karimullah, karena setiap kebutuhan santri, beliau selalu berusaha untuk memenuhi. Sampai urusan sampah pembalut sekalipun ada dalam pikiran beliau. Sudah tidak jarang santri melihat, beliau sering berada di tempat sampah, membersihkan, mengurai dan membakar bagian-bagian yang kering.
Beliau selalu menyampaikan wejangan-wejangan hangat pengobar semangat. Memberikan motivasi kepada santri terutama kepada para pemangku amanat (pengurus pesantren, dewan guru dan asatiz) untuk tidak khianat. Apapun yang dilakukan akan sukses jika telaten, ikhlas, dan penuh semangat. Investasi manusia adalah lebih utama dari pada investasi harta.
Oleh karenanya, konsep yang tertanam dalam jiwa beliau adalah menjadikan pesantren sebagai basis pendidikan moral dan iman. Manusia harus dididik dengan moral yang baik, sebab jika tanpa moral mustahil akan ada kebenaran. Pun juga harus memiliki iman yang kuat hingga menjadi insan yang shalih-shalihah dan selalu al-qa’im bi huquqillah. Beliau pernah menyampaikan tentang kemauannya yang tinggi dan pantang menyerah untuk dapat menelurkan kader-kader yang berilmu dan bertaqwa, agar para santri setelah kembali ke masyarakat bisa hidup bahagia, menguasai kehidupan dunia terlebih pula menguasai kehidupan akhirat.
Memang perlu mendapat acungan jempol bahwa jangkauan wawasan masa depan Kiai Yazid jauh menerawang ke angkasa raya, tangannya menggapai-gapai ingin memadukan bulan dan bintang agar bisa menyinari alam semesta dari kegelapan dan kebodohan, hatinya berontak mencuat keluar dari gubuk-gubuk keterbelakangan dan keterkungkungan, naluri darah mudanya deras mengalir membasahi sawah ladang yang kering kerontang akibat pergeseran nilai-nilai budaya dan peradaban.
Fokus permasalahannya dituangkan dalam satu tekad bulat menempa pribadi santriwan-santriwati yang kelak di kemudian hari mempunyai wawasan berdimensi nasional dengan dibekali ilmu pengetahuan agama dan umum sehingga menjadi pribadi muslim yang siap mengabdi pada agama, nusa dan bangsa.
Itulah hasil karya KH Yazid Karimullah pengemudi Pondok Pesantren Nurul Qarnain. Hal ini tidak berarti mulus jalannya, stabil lajunya, namun kadangkala terbentur kerikil-kerikil tajam. Namun, segala permasalahan yang ada bisa diatasi melalui cara berdoa dan tawakal kepada Allah Swt.