Kiai Abdulhalim lahir di Majalengka, Jawa Barat. Tak ada catatan tanggal dan tahun kelahirannya. Ia putra dari pasangan Muhammad Iskandar dan Siti Mutmainah, keluarga keturunan ulama Banten yang hijrah ke Majalengka untuk menunaikan tugasnya sebagai Penghulu Kawedanan Jatiwangi. Kiai bernama kecil Ahmad Syatori ini tak begitu lama menikmati kasih sayang ayahnya. Sang ayah harus pulang ke rahmatullah justru ketika ia masih di usia anak-anak, karenanya praktis ia hidup hanya di bawah asuhan sang ibunda.
Kehidupan sosial Jatiwangi yang kala itu sudah plural secara etnis dan agama mengantarkan Syatori menjalin pertemanan akrab dengan anak-anak Tionghoa hingga ia pandai berbicara bahasa China sehari-hari. Ia juga berteman dengan penganut agama non-Islam seperti Kristen, Hindu, dan Budha, di samping anak-anak muslim sendiri tentunya. Ia juga behubungan dekat dengan dan belajar membaca huruf Latin dan bahasa Belanda dari van Houven, seorang anggota zending Protestan yang tinggal di Cideres (central Protestan di Majalengka). Dari pergaulan akrab dengan kawan-kawannya yang majemuk itulah Syatori menimba ilmu dan pengalaman yang kelak ia patrikan sebagai gugus pikir dan kesadaran pluralistik dan multikultural.
Mirip seperti pengalaman Kiai Ikhsan Jampes (Kediri), sebagai contoh, yang menyukai wayang kulit; sejak masa mudanya, Syatori sangat gemar menonton pertunjukan wayang kulit yang waktu itu populer dan sering digelar di Jatiwangi dan sekitarnya. Beberapa tokoh pewayangan yang dilakonkan, demikian tutur beberapa sesepuh di Majalengka, begitu melekat di benak Syatori, seperti Semar sebagai representasi pembela rakyat jelata dan wong cilik yang tertindas, Krisno yang jenius, dan Merkudara yang tegas. Tokoh-tokoh itulah yang selalu diilustrasikan dalam dan menghiasi ceramah, dakwah, dan perbincangan lepasnya di kemudian hari tatkala ia menjadi kiai dan berganti nama menjadi Abdul Halim. Sebagai penggemar wayang kulit, Syatori rupanya juga larut menyenangi judi yang biasa menyertai pertunjukan wayang; ia dikenal sangat menguasai perjudian sitir dan domino dan selalu menang di setiap perjudian yang ia ikuti. Namun, entah mengapa, kebiasaan berjudi kecil-kecilan itu lalu ia tinggalkan, untuk selamanya, ketika menginjak usia remaja.
Sejak usia dini (sekitar 11 tahun), Syatori mulai belajar mengaji berpindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren lain. Tercatat ada lima pesantren yang ia jelajahi selama kurang lebih 10 tahun untuk menimba ilmu, yakni pesantren Kiai Anwar di Kampung Ranji Wetan dan pesantren Kiai Abdullah Sindangjaya (keduanya di Majalengka), pesantren Kiai Sudja’ Bobos Cirebon, pesantren Kiai Ahmad Sobari di Ciwedus Kuningan, dan pesantren Kiai Agus di Kenayangan Pakalongan. Tidak ada catatan ilmu dan kitab apa saja yang ia kaji di lima pesantren yang terpencar di empat kebupaten tersebut.
Tidak puas dengan hasil nyantri itu, dua tahun setelah dinikahkan dengan Siti Murbiah, putri Kiai Muhammad Iyas, seorang Hoofd Penghulu Landraad (sekarang Kepala Kementerian Agama) Majalengka, Syatori di usia 22 tahun meninggalkan Nusantara untuk menimba ilmu di Masjidilharam, Makkah. Sebuah tempat, bagaikan kawah condrodimuka, di mana para ulama kepulauan Nusantara terkenal ditempa keilmuannya dan dibangun semangat intelektualnya. Masjidilharam, sejak abad ke-17 hingga pertengahan abad k-20, telah menjadi pusat transformasi keilmuan Islam dari sufisme yang mempertahankan doktrin-doktrin mistisisme-filosofis dan mendorong para sufi untuk pasif, tidak tertarik memikirkan duniwi ke arah neo-sufisme yang memadukan kedalaman dan kesalehan tasawuf dengan ketaatan aktivisme syariat.
Di Masjidilharam, Syatori berguru langsung kepada Syekh Ahmad Khatib Al Palimbani (dari Palembang) dan Syekh Ahmad Khayyat. Dan bersama teman-teman seniornya, di antara yang paling akrab (mukhalith) adalah Wahab Hasbullah (Jombang) dan Mas Mansur (Surabaya), Syatori mengkaji dan mendalami referensi kitab-kitab karya ulama terdahulu yang kala itu menjadi bacaan wajib bagi santri Masjidilharam, seperti karya-karya Syekh Nawawi Al Bantani (Banten), Syekh Abdus Shomad Al Palimbani (Palembang), Syekh Arsyad Al Banjari (Martapura), Syekh Yusuf Al Makassari (Makassar), di samping karya-karya Mumammad Abduh, Jamaludin Al Afghani, Al Ghozali, dan Ibnu Al Arabi.
Yang menarik adalah ketika Syatori pulang meninggalkan Masjidilharam. Entah apa yang mendorongnya, ia tidak langsung kembali ke Majalengka, tetapi singgah dulu beberapa tahun di Shantiniketan, Bangali Barat, India. Di kota itu, Syatori bertemu dengan Rabindranat Tagore, seorang sastrawan, dramawan, seniman, musikus, filsuf sekaligus praktisi pendidikan model alam bebas terbuka dan menjalin hubungan dekat, bahkan banyak belajar darinya. (Sebelum ke Shantiniketan, Tagore bersama ayahnya pernah melakukan perjalanan panjang ke seluruh India, belajar sejarah dan astronomi hingga akhirnya sampai di Shantiniketan pada 1901, tinggal di Ashram lalu mulai mendirikan sekolah alam terbuka, dengan pepohonan rindang, taman indah, dan perustakaan dengan tujuan pembentukan karakter kemandirian sipil yang berorientasi kebebasan alam raya).
Mendirikan Pondok Santi Asromo
Meninggalkan Shantinketan, Syatori pun, sebelum pulang ke Majalengka, singgah beberapa waktu di Calcuta (tidak ada catatan bertemu dengan siapa di kota ini), sebuah kota yang saat itu sudah disesaki oleh pendukung gerakan Swadeshi, gerakan politik-kultural-ekonomi yang dirintis dan dikembangkan Mahatma Gandhi (popular disebut Gandhisme) dan dideklarasikan di Gujarat pada 1883. Di Calcuta sendiri, pada 2-4 Oktober 1907, muncul gerakan protes komunitas Swadeshi yang masif terhadap kaum ningrat dan kolonial Inggris sehingga terjadi bentrok keras dengan polisi nasional yang menimbulkan banyak korban. Sangat mungkin bahwa Syatori belajar dan menyerap banyak pengalaman, semangat, dan ajaran-ajaran Swadeshi (Gandhisme) selama ia berada di Calcuta.
Pada 1912, Syatori kembali ke Majalengka, disambut bukan saja oleh keluarga tetapi juga oleh teman-teman lamanya yang majemuk, dan di situlah ia memaklumkan perubahan namanya menjadi Abdulhalim. Tak lama sesudah itu, dengan bantuan sejumlah tokoh dan teman-teman lamanya, Abdulhalim mulai merintis gerakan-gerakan keagamaan dan sosial. Dengan mengawinkan ajaran-ajaran neo-sufisme yang diperoleh dari Makkah dan berpangku pada kitab-kitab kuning, ideologi pendidikan kemandirian sipil di alam terbuka, ke-Swadeshian Gandhi, ditambah dengan sosialisasi masa muda yang suka menonton wayang kulit, Abdulhalim meletakkan dasar pijak gerakannya.
Pada 1912 itu pula, Abdulhalim merintis “lembaga pedidikan” dengan memanfaatkan (sebagai modal awal) rumah dan musala yang dibangunkan mertuanya di atas sebidang tanah (kira-kira 300 meter sebelah barat alun-alun Majalengka). Selain mengaji (belajar agama), peserta didik yang berasal dari Majalengka dan sekitarnya itu, juga belajar dan praktik pertanian dan perdagangan (Abdulhalim sendiri rajin berdagang di luar waktu mengajar).
Ketika santri-santri dan pengikutnya dari kalangan petani dan pedagang semakin bertambah banyak, mencapai ratusan orang, Abdulhalim pun lalu membentuk perkumpulan (jam’iyah) yang diberi nama Hayatul Qulub, sebuah perkumpulan yang, menghimpun, mula-mula anak-anak muda, kemudian diikuti oleh petani dan pedagang di Majalengka dan sekitarnya. Dari situlah, Abdulhalim mulai terlibat dalam pergerakan sosial ekonomi dan politik, termasuk dalam kerusuhan (konflik dengan pedagang China) di Cideres pada 1914, yang mendorong kolonial Belanda untuk mencurigai, mengintervensi, bahkan merepresi secara militer apa pun yang dilakukan kiai muda ini. Dan akhirnya, pasca itu, Hayatul Qulub dibubarkan.
Aktivitasnya dalam gerakan massa petani dan pedagang itulah tampaknya yang menarik perhatian HOS Tjokroaminoto untuk menarik Abdulhalim bergabung ke dalam Syarikat Islam (SI) yang ia dirikan dan berpusat di Solo. Tak lama sesudah itu, Abdulhalim pun menjadi aktivis terdepan SI di Majalengka. Dengan kendaraan SI, Abdulhalim pada 1916 terlibat, bahkan menjadi salah serorang pemimpin, gerakan pemogokan buruh pabrik gula milik Belanda di Majalengka dan Cirebon. Pasca itu, atas anjuran HOS Tjokroaminoto dan dukungan dari ulama setempat, pada 1917 Abdulhalim mendirikan Persyarikatan Ulama (PU) yang kemudian menjadi Persyarikatan Umat Islam (PUI) yang hingga sekarang masih eksis, sebagai strategi pemisahan bidang aktivitas; pendidikan, agama, sosial, dan ekonomi disalurkan melaui PU, sementara aktivitas politik disalurkan melalui SI. Jangkauan aktivitas pun terus diperluas tidak hanya di Majalengka dan sekitarnya, tetapi semakin menjauh hingga di Jawa Timur. Abdulhalim tercatat sebagai peserta Tasywirul Afkar (1925), semacam forum diskusi rutin soal-soal agama, ekonomi, politik, dan kebudayaan yang dirintis dan dikembangkan Wahab Chasbullah di Surabaya, dan (untuk sementara) dipimpin oleh Mas Mansur, dua tokoh yang kenal dekat dengan Abdulhalim semasa ngaji di Masjidilharam Makkah. Dalam pertemuan 11 kiai pesantren tahun 1926, menjelang deklarasi pendirian NU, untuk memastikan pendirian organisasi keagamaan yang membela tradisi setempat, nama Abdulhalim tercatat sebagai salah seorang darinya, dan diperkirakan yang dimaksud adalah Abdulhalim Majalengka.
Dengan dukungan terutama dari Mas Arja Brata, seorang keluarga kaya dari Ciomas yang mewakafkan 2 hektare tanahnya di Pasir Ayu (kemudian dipergunakan untuk lokasi pesantrennya) dan Wali Muhamad, seorang berkebangsaan Pakistan, Abdulhalim pun pada 1932 merealisasi cita-citanya, mendirikan sebuah pesantren. Berkat ramuan kontemplatif dari neo-sufisme, pendidikan terbuka kemandirian sipil, swadeshi Gandhisme, dan pengalaman malang melintang sebagai aktivis gerakan, Abdulhalim meresmikan berdirinya pesantren yang ia beri nama: Santi Asromo, sebuah nama yang tak lazim, unik bin aneh bagi pesantren umumnya kala itu (yang biasanya dikaitkan dengan nama tempat, pesantren Tebuireng, misalnya), bahkan sampai sekarang yang semuanya pakai nama Arab. Santi Asromo yang berarti asrama yang damai berdiri tegak di kaki gunung Ceremai, 600 meter di atas permukaan laut (16 km dari kota Majalengka).
Tak lama kemudian, Pesantren Santi Asromo pun berkembang pesat, santri-santri mengalir dan bilik-bilik tempat para santri bermukim lalu dibangun di area tanah wakaf yang dari waktu ke waktu terus bertambah. Dengan dibantu beberapa ustadz (guru) dari Kuningan, Cirebon, dan Majalengka sendiri, Kiai Abdulhalim mengajarkan berbagai ilmu agama (teologi, fikih, dan adab), terutama dari kitab-kitab kuning, dan keterampilan dan praktiknya di bidang pertukangan, pertanian, dan perdagangan. Pendidikan di alam terbuka atau yang dikenal tadabbur melalui alam semesta merupakan prinsip yang dianut dan dipraktikkan di pesantren ini agar sekaligus terbangun kemandirian (independensi) sipil sebagi bagian dari akhlaqulkarimah (tata krama hubungan dengan Allah dan hubungan dengan manusia dan alam semesta) dapat tercipta.
Tampaknya karena naluri gerakan yang terpatri dalam diri Kiai Abdulhalim, maka independensi tersebut lebih diarahkan untuk membangun kesadaran kritis menyikapi dominasi, penghisapan/eksploitasi, penindasan, dan perampasan hak oleh kolonial Belanda dan Jepang. Di sela-sela bahkan inheren di dalam mengajar agama, keterampilan-keterampilan pertanian-perdagangan, Kiai Abdulhalim selalu memasukkan semangat dan ide-ide perlawanan terhadap apa pun yang mengancam eksistensi dan hak-hak sebagai manusia dan warga bangsa.
Buahnya adalah ketika pada 1946-1948, semua santri Santi Asromo – dan para petani-pedagang di sekitarnya – menjadi pejuang-pejuang militan memasuki medan laga perang kemerdekaan, agresi kedua Belanda. Di bawah komando Kiai Abdulhalim sendiri, mereka memasuki pedalaman sampai hutan untuk perang gerilya melawan Belanda, dan tidak sedikit dari mereka yang gugur. Yang lebih mengerikan adalah sebagian dari bilik-bilik asrama santri, termasuk rumah Kiai Abdulhalim, akhir 1947, ludes dibakar oleh Belanda, menjadi luluk-lantak, rata dengan tanah, termasuk perpustakaan pribadi kiai yang berisi ribuan kitab dan buku-buku penting.
Usai penyerahan kembali Republik Indonesia sebagai negara kesatuan pada 1949, Kiai Abdulhalim beserta santri-santrinya yang tersisa menata kembali Pesantren Santi Asromo. Atas bantuan keswadayaan warga masyarakat sekitar, bilik-bilik pondok berikut rumah kiai berdiri kembali dan mulai akhir 1950 pengajian-pengajian dapat diselenggarakan lagi. Di tahun-tahun 1950-1960, di mana kontestasi antarpartai (PNI, PKI, NU, dan Masyumi) berlangsung seru dan perdebatan nyaris tak berujung soal konstitusi negara sehingga lahirlah NASAKOM dan Dekrit Presiden 1959, Kiai Abdulhalim tidak terlibat di dalamnya. Kiai ini hanya tertarik untuk lebih konsentrasi mengembangkan Pesantren Santi Asromo, seperti cata-cita awalnya, sebagai lembaga pendidikan keswadayaan sipil di alam terbuka dengan fondasi neo-sufisme sebagai akar teologis dan ideologisnya.
Tak lama sesudah dibangun kembali, Pesantren Santri Asromo pun disesaki oleh santri-santri yang mondok dan belajar agama, pertanian, dan perdagangan dari berbagai daerah di Jawa Barat, tercatat di atas 900 santri, suatu jumlah yang kala itu sangat banyak, itu belum termasuk santri kalong dari kaum muda sekitar yang belajar ngaji tapi tidak tinggal di pondok. Sehari-hari Kiai Abdulhalim sangat sibuk, nonstop mendidik para santri dan warga sekitar: mengajar ngaji, pertanian, dan perdagangan dengan memanfaatkan berbagai media yang ada. Aktivitas Kiai Abdulhalim itu dilakoninya dengan ikhlas hingga di akhir hayat; ia wafat pada 7 Mei 1962.
Sesudah itu, Pesantren Santi Asromo pun dari tahun ke tahun makin menurun; jumlah santri terus berkurang dan para pendukung terutama dari kalangan petani dan pedagang kehilangan panutan. Tidak ada generasi baik yang segaris keturunan maupun santri-santri senior yang meneruskan; putra-putra Kiai Abdulhalim sendiri memilih beraktivitas di bidang sosial ekonomi dan politik di luar Majalengka. Cita-cita dan ide membangun kemandirian sipil yang berbalut ideologi resisten dan teologi neo-sufisme pun ikut tenggelam ditelan waktu. Ketika saya (secara kebetulan) berkunjung ke Pasir Ayu pada 1988, saya tidak menyaksikan satupun santri ada di sana, yang ada hanya bilik-bilik kosong yang sudah lapuk, beberapa gedung bangunan permanen di sebelahnya dengan papan nama: Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah dengan jumlah siswa yang tak banyak. Rupanya, orientasinya telah berubah; dari membangun independensi teologis ke secarik kertas berupa ijazah. Kini, adakah yang bersedia meneruskan cita ideal Kiai Abdulhalim, tentu, di tempat yang berbeda?