Dibesarkan di lingkungan pesantren, Ahmad Rifai tumbuh menjadi ulama besar yang menggelorakan perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Gerakan Rifaiyah dan puluhan kitab klasik adalah warisan tokoh yang pada 2004 telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional ini. Juga berdakwah dengan puisi.
Dilahirkan pada 9 Muharam 1200 H atau 1786 di Desa Tempuran, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, KH Ahmad Rifai adalah putra bungsu dari pasangan KH Muhammad Marhum Bin Abi Sujak-Siti Rahmah. Kiai Sujak adalah seorang Penghulu Landerad di Kendal. Sayangnya, Rifai tak bisa tumbuh dalam asuhan ayahnya dalam waktu lama. Saat Rifai berusia 6 tahun, sang ayah berpulang.
Setelah ayahnya meninggal, Rifai diasuh oleh salah satu kakaknya, Rajiyah, istri dari Kiai Asyari, pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Kaliwungu, Kendal. Saat berada dalam asuhan kakaknya itulah, Rifai mulai belajar agama dari kakak iparnya, Kiai Asyari. Kiai Asyari merupakan ulama berpengaruh yang masih keturunan Keraton Yogyakarta. Di pesantrennya, Kiai Asyari mengajarkan kitab-kitab salaf kepada para santrinya yang datang dari berbagai daerah.
Di pesantren inilah Rifau dibesarkan dan memperoleh pendidikan dan pembinaan langsung dari Kiai Asyari, hingga tumbuh dan berkembang menjadi seorang pemuda yang cerdas dan menguasai ilmu-ilmu agama. Atas restu Kiai Asyari, Rifai muda sudah mulai terjun ke medan dakwah. Ia memberikan pengajian di daerah Kendal, Wonosobo, hingga Pekalongan. Ia juga terus menghimpun santri-santri yang mengikuti pengajiannya hingga berkembang menjadi kelompok pengajian yang besar —cikal bakal Gerakan Rifaiah. Dan, Rifai pun mulai dikenal sebagai seorang kiai, Kiai Ahmad Rifai.
Keluar Masuk Bui
Metode dakwah Kiai Rifai yang lugas dan tegas dalam menyampaikan pesan-pesan pembaruan Islam terbilang sangat menarik hingga mampu menggerakkan masyarakat untuk mengikuti pengajiannya. Dalam berdakwah, Kiai Rifai juga menggunakan media tulisan. Di sisi lain, dalam setiap pengajiannya, Kiai Rifai mengkritik dan menyerang kaum penjajah yang mengeksploitasi masyarakat.
Melihat gaya dakwah Kiai Rifai dan pengikutnya yang semakin banyak, pemerintahan Belanda mulai was-was. Belanda menilai dakwah Kiai Rifai berisi hasutan agar rakyat menentang penjajahan Belanda. Belanda pun mulai mengawasi gerak-geriknya. Belum lagi tulisan-tulisannya yang menyuarakan kemerdekaan Tanah Air dari tangan penjajah yang sampai juga ke tangan intel-intel Belanda.
Tak mau ambil risiko, Belanda pun mengambil tindakan hukum. Beberapa kali Kiai Rifau ditangkap dan ditahan. Ia pernah menghuni sel di Kendal. Pernah pula ditahan di Semarang agar jauh basis pendukungnya. Dirasa belum cukup menjauhkan dari para pendukung dan santri kelompok pengajiannya, Kiai Rifau di sebuah dusun terpencil di Desa Kalisasak, Batang. Justru, ketika dalam pengasingan inilah Kiai Rifau mendirikan pondok pesantren di Kalisasak. Justru, ketika dalam pengasingan inilah Kiai Rifai makin membuat melek masyarakat sekitar akan ilmu agama dan semangat perjuangan kemerdekaan.
Bersama Imam Nawawi dan Kiai Kholil
Pada usia 30 tahun, setelah sering keluar masuk tahanan Belanda, Kiai Rifai memutuskan untuk pergi ke tanah suci Mekkah. Selain untuk berhaji, juga untuk memperdalam ilmu agama. Berada sekitar 8 tahun di Kota Mekkah, Kiai Rifai berguru kepada beberapa syekh terkemuka, seperti Syekh Ahmad Ustman, Syekh Is Al -Barawi dan Syekh Abdul Aziz Al Habisyi. Setelah itu, Kiai Rifai bermukim sekitar 12 tahun di Mesir, juga untuk memperdalam ilmu agama.
Sebelum pulang ke Tanah Air, Kiai Rifai sekali lagi kembali ke Mekkah. Di sana, ia bertemu dengan Imam Nawawi dari Banten dan Kiai Kholil dari Bangkalan, Madura. Ketiganya kemudian akrab dan sering terlibat diskusi. Dalam satu pertemuan, mereka mendiskusikan nasib umat di Indonesia yang sedang terbelenggu takhayul, kufarat, dan mistis serta di bawah cengkeraman penjajahan Belanda. Mereka kemudian bersepakat untuk mengadakan pembaharuan dan pemurnian Islam lewat pengajian, diskusi, dialog, dan penerjemahan kitab-kitab bahasa Arab ke bahasa Jawa serta menggelorakan semangat kemerdekaan.
Mereka bertiga kemudian pulang ke Indonesia; Kiai Rifai pulang ke Kalisasak, Kiai Kholil ke Madura, dan Imam Nawawi ke Banten —namun, Imam Nawawi kembali dan kemudian menetap di Mekkah hingga akhir hayat. Saat itu, mereka berbagi tugas. Imam Nawawi mengemban tugas menyusun kitab aqidah, Kiai Rifai menyusun kitab fiqih, Kiai Muhammad Kholil menyusun kitab tasawuf. Pada tahun 1254 H, Kiai Rifai telah selesai menyusun kitab Nasihatul Awam di Kalisalak, Batang..
Sebelum kembali menetap di Kalisasak, Kiai Rifai lebih dulu pulang ke Desa Tempuran, Kendal untuk melepas rindu dengan keluarga. Namun, Tuhan menghendaki lain, istri yang diharapkan bisa memberi semangat dalam perjuangan, telah tiada. Kiai Rifai kemudian menetap di Kalisasak untuk meneruskan perjuangannya: menyebarkan gerakan pembaruan Islam dan menggelorakan semangat kemerdekaan.
Inilah masa-masa paling produktif Kiai Rifai. Semakin intens mengadakan pengajian dan menghimpun pemuda-pemuda untuk dijadikan kader, Kiai Rifai banyak menyusun dan menerjemahkan kitab. Setidaknya, selama di Kalisasak tercatat ada 62 kitab karya Kiai Rifai, baik karangannya sendiri maupun terjemahan dari kitab berbahasa Arab kalangan para ulama terdahulu. Kitab-kitab tersebut ditulis dan diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa pegon. Isinya menyangkut ilmu fiqih, tauhid, dan tasawuf. Yang menarik, sebagian besar kitab-kitab tersebut ditulis dalam bentuk nadzam atau puisi tembang dan natsar (prosa).
Dalam Pengasingan
Gerakan pembaruan Islam Kiai Rifai, Rifaiah, ibarat bola salju. Terus menggelinding dan membesar. Gerakan keagamaan ini sudah nyaris menjadi gerakan kemerdenaan atau perlawanan terhadap kaum penjajah. Belanda pun tak mau mengambil risiko terlampau besar. Hampir seluruh kitab karangan dan terjemahan Kiai Riafai disita Belanda. Dan, melalui proses yang panjang, pada 19 Mei 1859 Belanda akhirnya berhasil mengasingkan Kiai Rifai ke Ambon, Maluku.
Pengasingan ternyata tak menyurutkan semangat untuk berjuang dan berkarya. Diketahui, setelah dua tahun Kiai Rifai berada dalam pengasingan, ia telah mengirim kitab sebanyak empat buah dalam bahasa Melayu dan 60 buah judul Tanbih berbahasa Melayu, juga surat wasiat tertanggal 21 Dzulhijjah 1277 H kepada menantunya, Kyai Maufura bin Nawawi, yang berada di Keranggongan, Batang. Isi surat wasiatnya tegas: agar para muridnya beserta keluarganya jangan sekali-kali taat pada pemerintah Belanda dan orang-orang yang berkolaborasi dengan kaum penjajah.
Dua tahun di Ambon, Bersama Kiai Modjo dan 46 ulama lainnya, Kiai Rifai dipindahkan ke kampung Jawa Tondano, Manado, Sulawesi Utara. Bersama para ulama tersebut, Kiai Rifai mendeklarasikan lahirnya organisasi Rifaiyah secara nasional. Dalam pengasingan itu, Kiai Rifai meninggal dunia pada usia 86 tahun. Namun, tanggal kematiannya pun tak ada yang tahu pasti. Ada yang bilang, Kiai Rifai wafat pada Kamis 25 Rabiul Akhir 1286 H di usia 86 tahun. Sumber lain menyebut ia wafat pada 1292 H di usia 92 tahun. Jenazah kiai dimakamkan di kompleks makam pahlawan di Tindano. Pahlawan nasional dari kaum santri ini pun mewariskan Gerakan Rifaiah dan buku-buku yang cemerlang. Karya yang abadi.—
Salah satu contoh syair karya Kiai Rifai:
Ora tentu kafir iku sabab nyembah berhala
Tinemu Kafir munafik ibadah riya katula
Luwih ala kafir munafik tinimbang nyembah berhala
Kafir munafik neng dasare neraka tanda luwih ala
Mukmin kasab nandur jejagung
Iku luwih becik tinimbang ngawula tumenggung.
Kang partela ngenani dosa luwih agung
Parek-parek kufur wong cilaka digunggung
Terjemahnya:
Belum tentu kafir itu sebab menyembah berhala
Kafir munafik itu yang beribadah dengan riya
Lebih jelek kafir munafik daripada kafirnya orang yang menyembah berhala
Kafir munafik didasar neraka itu tanda lebih hina
Mukmin yang bekerja menanam jagung
Itu lebih baik daripada orang yang mengabdi kepada tumenggung (penguasa)
Yang jelas-jelas telah berdosa besar
Dekat-dekat kekufuran, orang celaka (tumenggung) dielukan.