Siapa yang tidak mengenal sosok kiai kharismatik satu ini: KH Ahmad Sahal Mahfudh. Dikenal sebagai ulama sekaligus filsuf kontemporer, Kiai Sahal dikenang dengan konsepnya yang cemerlang: fikih sosial. Pernyataannya yang paling kontroversial adalah: menjadi orang miskin itu dosa!
Kiai Sahal Mahfudh dilahirkan di Desa Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah, pada 17 Desember 1937. Kiai Sahal merupakan anak ketiga dari enam bersaudara. Terlahir dengan nama Muhammad Ahmad Sahal bin Mahfudz bin Abd Salam Alhajaini, Kiai Sahal putra dari pasangan dari Kiai Mahfudz bin Abd Salam Alhafidz dan Hj Badi’ah.
Kiai Sahal menikah dengan Hj.Nafisah pada 1968 dan dikarunai seorang putra bernama Abdul Ghofar Rozin. Kiai Sahal wafat pada Jumat 24 Januari 2014.
Kiai Sahal memang lahir dalam lingkungan pesantren. Maka tidak mengherankan jika di kemudian hari menjadi ulama besar yang berpengaruh. Sehingga, pernah menjabat sebagai Rais Aam PBNU pada 1999 menggantikan KH Ilyas Ruhiyat yang wafat. Kemudian, pada 2000-2014 menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia.
Pengabdian Kiai Sahal kepada pesantren, masyarakat, dan ilmu fikih tidak diragukan lagi. Kiai Sahal penganjur untuk selalu tunduk secara mutlak pada ketentuan hukum dalam kitab-kitab fikih ditambah dengan keserasian akhlak yang diajarkan oleh para ulama tradisional. Bahasa pesantrenya tafaqquh atau memperdalam pengetahuan agama dan juga tawarru atau bermoral luhur.
Kiai Sahal juga dikenal sebagai ulama yang sangat gemar membaca buku. Hal ini dibuktikan dengan koleksi bukunya yang dimilikinya mencapai 1.800 buah buku. ang dibaca Kiai Sahal tidak hanya buku di bidang agama, melainkan juga bacaan umum seperti tentang psikologi, filsafat, sosiologi, hingga novel detektif.
Ketika usianya belum genap 40 tahun, Kiai Sahal telah menunjukkan kecerdasannya dalam berbagai forum fikih. Misalnya, Kiai Sahal aktif di berbagai bahtsu masail yang diselenggarakan tiga bulan sekali oleh Syuriah NU Jawa Tengah.
Kiai Sahal mulai memimpin Pondok Pesantren Maslakul Huda pada 1968. Pesantren ini didirikan oleh ayahnya, KH Mahfudz Salam, pada 1910. Sebagai seorang ulama sepuh NU, Kiai Sahal dikenal sebagai pembaharu pemikiran tradisional di kalangan nahdliyin.
Kiai Sahal juga mendorong kemandirian umat dengan cara memajukan kehidupan santri dan juga masyarakat sekitar pesantrennya melalui pengembangan sosial, pendidikan, ekonomi, dan kesehatan. Atas jasa-jasanya tersebut, akhirnya Kiai Sahal dianugerahi gelar Doktor Kehormatan atau Doctor Honoris Causa dalam bidang pengembangan ilmu fikih serta pengembangan pesantren dan masyarakat oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 18 Juni 2003.