KIDUNG PUTIH DUNIA SANTRI

58 views

KIDUNG PUTIH DUNIA SANTRI

duniaku; gegas sederhana angin selat
yang mengawinkan musim dengan bunga-bunga
di ranjang dada, di sela alif pertama
yang dieja seusai basmalah,

Advertisements

yang lahir tak semata mahir
—barokah dan mahabbah berpilin
dalam sepancar air bening di ujung pancuranNya
merajam cadas bebatuan dan mata duri
yang mengeras di dalam diri

duniaku; geliat doa bibir-bibir suci
yang bergetar di senyap malam
mengulang-ulang asmaNya di atas sehampar sajadah
dengan putaran butir tasbih
yang diasah pada hati

—semua dalam duniaku, mengerucut elok sungai
ke bentang samudraNya yang luas
dan tak terbatas

BIBIR MATAHARI

hangat memagut leher pohon
desah panjang disunggi angin
jauh ke dalam telingamu
dengan lubang memeram
benang-benang cahaya,

cahaya purba dari lambung perahu Nuh
di ujung tongkat Musa
di jubah putih Isa
di sela ketukan waktu
yang mengikis segala jenis batu,

hangat mengecup tiram kering
dalam kepala anak-anak
yang ditenggelamkan ke laut
butir garam lekat di rambutnya yang merah,

dan semua jadi cerita cahaya
yang bias ke jari keriputmu
usai mengelus dada
merasakan luka asing
yang tak kunjung kering

dan kau menjemurnya
untuk pertama dan selamanya
sebab kau percaya
dalam cahaya ada nyawa.

AKUARIUM

rendam cemasmu dalam perutku
koki dan guppy mengatur arahmu
ke celah batu rupa terumbu
waktu diseret jadi apu,

sirip jurai kilat berayun
membelah bunga karet dengan gelembung
ikankah cemasmu
belajar berenang mencari tenang?
sebab di sini air tak dalam.

BISIK FAJAR

bangunlah banjar pohon dan bambu
daun yang menimang embun
menepikan lukisan bulan
pada lambung jalan,

bangun dan dekaplah bukit itu
seru diam batu-batu
bersujud di altar subuh

sepenggal langgam si sulur kelam
merambat dalam bayang
jatuh menimpa tanah keperakan
bagai wajah pualam
muram dipijak awan,

bangunlah sawah ladang
seru siul anginmu menjamah dingin tubuh
tanaman bertunas kembang
semusim menggubah tembang.

GERIMIS DI LUAR JENDELA

turun melabuhi pagi
sergap belalang di daun kelor
membasahi jalan tua
saat ratusan semut beriringan
mencari wajah matahari,

meresap ke balik daun
merahasiakan jam yang pikun,

sebutir-sebutir menempias ke jendela
seperti hendak berbicara pada dada
tentang kemarau yang disandera cuaca
seperti kekasih yang kehilangan rasa.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan