Kisah Kiai Masbuhin dan Jam Tangan

364 views

Seandainya santri sekarang diberi pilihan oleh orangtuanya lantaran keadaan ekonomi yang mengimpit atau mulai menurun; pilihan yang disuguhkan ada dua: melanjutkan mondok dengan biaya sendiri atau pulang saja membantu orang tua. Manakah yang akan dipilih?

Barangkali kisah berikut bisa jadi bahan pertimbangan.

Advertisements

Kiai Masbuhin adalah pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Mambaush Sholihin di Gresik, Jawa Timur. Kota yang memiliki dua julukan; kota santri dan kota industri. Sebutan itu merujuk pada banyaknya pesantren sekaligus pabrik di kota tersebut.

Kiai Masbuhin dilahirkan di kota itu, yang letaknya di sebelah timur kota Lamongan dan sebelah barat kota pahlawan, Surabaya. Letak persis pesantren ada di Desa Suci. Akrab dikenal dengan sebutan Pondok Suci pula.

Dahulu, sebelum nama Mambaush Sholihin dicetuskan, awalnya bernama Pondok at-Thohiriyah, sesuai nama desa. Usulan nama Mambaush Sholihin sendiri datang dari seorang wali agung, Syaikh Usman al-Ishaqi, ayah kandung KH Asrori al-Ishaqi, pendiri al-Khidmah yang terkenal itu. Sesuai nama yang diusulkan, Mambaush Sholihin, artinya sumbernya orang-orang saleh, para santri pun diharapkan menjadi orang saleh.

Kota Gresik juga memiliki makam-makam wali, di antaranya Sunan Giri, Maulana Malik Ibrahim, Habib Abu Bakar Assegaf (seorang wali qutub pada zamannya). Kiai Masbuhin sendiri turunan kedua belas dari Sunan Giri. Sampai sekarang masih mengasuh pesantren yang didirikannya, Mambaush Sholihin.

Sudah umum, setiap pesantren memiliki kegiatan rutin, baik berjangka waktu tahunan atau bulanan, baik untuk yang masih nyantri atau sudah alumni. Waktu itu, dan ingatan saya masih kuat tentang kisah yang disampaikan pengasuh pada acara rutin tahunan, tepatnya malam hari raya. Acara tersebut dikenal dengan sebutan sungkeman; bersalam-salaman dengan seluruh keluarga ndalem. Acara ini dibuka untuk seluruh santri, baik yang alumni maupun yang masih mondok.

Bersalam-salaman adalah acara terakhir. Di tengah-tengah acaranya, Kiai akan memberi sedikit tausiyah, nasihat. Tengah-tengah acara, Kiai menyampaikan pengalamannya waktu jadi santri di Pondok Pesantren Langitan. Ada yang mencengangkan dari kisah itu; Kiai mengisahkannya dengan tersedu, air matanya berleleran. Ada sesuatu yang tiba-tiba menyesak di dada, mungkin. Kalau saya lihat melalui kaca mata sekarang, kisah itu memang mengesankan. Ada bekas yang tak bisa dihapus, dan itu pelajaran hidup yang sangat berharga bagi Kiai, pun juga bagi santri zaman now.

Halaman: 1 2 Show All

Tinggalkan Balasan