Seandainya santri sekarang diberi pilihan oleh orangtuanya lantaran keadaan ekonomi yang mengimpit atau mulai menurun; pilihan yang disuguhkan ada dua: melanjutkan mondok dengan biaya sendiri atau pulang saja membantu orang tua. Manakah yang akan dipilih?
Barangkali kisah berikut bisa jadi bahan pertimbangan.
Kiai Masbuhin adalah pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Mambaush Sholihin di Gresik, Jawa Timur. Kota yang memiliki dua julukan; kota santri dan kota industri. Sebutan itu merujuk pada banyaknya pesantren sekaligus pabrik di kota tersebut.
Kiai Masbuhin dilahirkan di kota itu, yang letaknya di sebelah timur kota Lamongan dan sebelah barat kota pahlawan, Surabaya. Letak persis pesantren ada di Desa Suci. Akrab dikenal dengan sebutan Pondok Suci pula.
Dahulu, sebelum nama Mambaush Sholihin dicetuskan, awalnya bernama Pondok at-Thohiriyah, sesuai nama desa. Usulan nama Mambaush Sholihin sendiri datang dari seorang wali agung, Syaikh Usman al-Ishaqi, ayah kandung KH Asrori al-Ishaqi, pendiri al-Khidmah yang terkenal itu. Sesuai nama yang diusulkan, Mambaush Sholihin, artinya sumbernya orang-orang saleh, para santri pun diharapkan menjadi orang saleh.
Kota Gresik juga memiliki makam-makam wali, di antaranya Sunan Giri, Maulana Malik Ibrahim, Habib Abu Bakar Assegaf (seorang wali qutub pada zamannya). Kiai Masbuhin sendiri turunan kedua belas dari Sunan Giri. Sampai sekarang masih mengasuh pesantren yang didirikannya, Mambaush Sholihin.
Sudah umum, setiap pesantren memiliki kegiatan rutin, baik berjangka waktu tahunan atau bulanan, baik untuk yang masih nyantri atau sudah alumni. Waktu itu, dan ingatan saya masih kuat tentang kisah yang disampaikan pengasuh pada acara rutin tahunan, tepatnya malam hari raya. Acara tersebut dikenal dengan sebutan sungkeman; bersalam-salaman dengan seluruh keluarga ndalem. Acara ini dibuka untuk seluruh santri, baik yang alumni maupun yang masih mondok.
Bersalam-salaman adalah acara terakhir. Di tengah-tengah acaranya, Kiai akan memberi sedikit tausiyah, nasihat. Tengah-tengah acara, Kiai menyampaikan pengalamannya waktu jadi santri di Pondok Pesantren Langitan. Ada yang mencengangkan dari kisah itu; Kiai mengisahkannya dengan tersedu, air matanya berleleran. Ada sesuatu yang tiba-tiba menyesak di dada, mungkin. Kalau saya lihat melalui kaca mata sekarang, kisah itu memang mengesankan. Ada bekas yang tak bisa dihapus, dan itu pelajaran hidup yang sangat berharga bagi Kiai, pun juga bagi santri zaman now.
Kiai menceritakan: “Sewaktu saya mondok di Pesantren Langitan, ada kabar dari bapak supaya pulang sebentar. Saya pun akhirnya pulang. Sesampai di rumah, bapak bilang; nek awakmu siap golek biaya dewe gawe mondok, yo balik o nang pondok, bapak wes gak sanggup biayai, tapi nek gak sanggup yowes muleh ae, nang omah wae ngajar ngaji nok langgar (kalau kamu siap mencari biaya sendiri menjadi santri, kamu boleh kembali ke pondok, ayah sudah tidak mampu lagi membiayai. Tapi kalau tidak siap dan tidak mampu cari biaya sendiri, pulang saja ke rumah mengajar anak-anak di musala).
Aku hanya jawab, “Insya Allah kulo nyuprih biaya piyambak, kulo nyuwun restu saking panjenengan (Aku hanya menjawab: insya Allah saya siap mencari biaya sendiri. Saya hanya minta doa restu).
Bapak terus ngomong: yowes nek ngunu budalo, iki ono jam tangan gawe sangu, bapak mung duwe iki (Ayah kemudian bilang; kalau begitu silakan lanjut mondok, ini ada jam tangan. Bapak cuma punya ini). Kiai melanjutkan: itu terakhir kali saya mendapat uang saku dari bapak.”
Hanya ada getar di tubuh waktu mendengarkan kisah Kiai tersebut. Kiai memang terkenal kedisiplinannya. Selain mengajar santri dengan kitab-kitab kecil sampai besar, Kiai juga mengajarkan dengan perilaku. Artinya, kiai memang benar-benar melakukan itu, dan sudah menjadi semacam kebiasaan.
Contoh sederhananya dan mudah sekali diamati adalah tentang ketawadhuannya, andap asor bahasa Jawanya. Rendah hati. Kiai sering menyampaikan di momen-momen tertentu, baik ketika mengaji bersama santri atau waktu memberi tausiyah, nasihat pada acara besar tertentu, seperti maulid, pertemuan wali santri, dan tadi, sungkeman. Dan ketika ada habaib (dzuriyah rasul: keturuan Kanjeng Nabi Muhammad saw) atau putra dari salah satu gurunya, Kiai tidak akan segan mencium tangannya, meski usianya terbilang lebih muda dari Kiai.