Sarapan pagi seharusnya terasa nikmat karena perut telah berpulas selama kurang lebih lima-enam jam. Tapi tidak begitu bagi Sulkan.
“Sarapan pagi itu harus enjoy! Jangan kau mulai lagi dengan sambatanmu,” kata Sulkan kepada istrinya, sambil mengambil nasi dengan entongnya.
“Mas, aku juga tidak ingin mengusik kedamaian sarapan ini. Tapi, menu rutin tempe penyet sambal ini tidak bisa menipu,” istrinya menjawab dengan lemas.
“Mulai lagi… butiran nasi di tenggorokanku jadi terhalang!”
Sambil menyodorkan segelas air putih, sang istri menghela napas, “Maaf mas, aku bukan mau menuntutmu. Kodrati istri, suwargo katut neroko yo manut, tidak aku mungkiri hal itu! Tapi…,” belum selesai merangkai dialog, Sulkan mencegatnya.
“Ahh, aku sudah tahu ke mana arah pembicaraanmu! Sambal ini terasa semakin pedas. Jika bukan menuntut, apa lagi?” suara Sulkan terdengar meninggi.
Istri Sulkan mencoba menahan, “Sekali lagi aku minta maaf mas. Nrima ing pandum sudah menjadi prinsipku. Tapi, seringkali idealis jika bertemu dengan realistis mengubahnya menjadi matrealis.”
“Cukup! Jika memang profesi dan kondisi ini mengubah akad dan ikatan kita, aku siap konsekuensinya!”
Sang istri terkejut dengan kalimat yang baru masuk di telinganya. “Mas! Sudah keplintir rupanya lidahmu! Cerna baik-baik perkataanku. Aku tidak melarangmu menjadi penulis. Tapi, ingat mas, kenyataan yang masuk di rekening. Itu fakta! Itu realitas!”
Sulkan berhenti menyendok nasi yang telah dicampurinya dengan penyet tempe. Matanya terbelalak, sarapan pagi yang seharusnya damai tidak sesuai dengan hasrat hatinya.
“Aku pergi dulu!”
“Ke mana mas? Habiskan dulu sarapannya.”
“Cari inspirasi! Kenyang aku dengan tuntutanmu!”
“Aku tidak menuntut, mas. Tapi….”
“Ahh, sudahlah!”
Sulkan pergi. Keluar rumah. Entah ke mana. Terkadang menyusuri jalan di gang-gang sempit sekitar tempat tinggalnya; menyusuri pinggiran jalan raya; pergi ke pasar; berlama-lama cangkruk di warung kopi hingga pagi; menikmati keindahan taman; menghabiskan waktu di perpustakaan kota; bahkan pergi ke daerah pinggiran yang masih terdapat pemandangan hijau. Untuk observasi, mencari inspirasi, menguak beberapa literasi biotik-abiotik untuk menghasilkan sebuah tulisan. Entah itu esai, opini, puisi, cerpen, novel, narasi berita, apa saja. Lalu dikirimkan ke sebuah media. Dari sana Sulkan mendapatkan honor.
Penulis freelance, penulis lepas, memang sudah ditekuninya semenjak kuliah hingga kini berumah tangga. Jika beruntung, tulisannya akan dimuat, diposting, atau diterbitkan. Tulisan Sulkan sebenarnya sangat layak, buktinya sering dimuat di beberapa media. Novelnya juga pernah diterbitkan, meskipun sekali. Meskipun juga, ia sebagai penulis harus memasarkannya sendiri kepada pemesan karena yang menerbitkan adalah penerbit indie.
Sulkan sebagai penulis sangat berdedikasi. Ia muak dengan ragam tulisan yang bersifat komersil. Dianggapnya tidak berbobot, berbelit-belit dengan inti sebenarnya hanya sedikit saja. Menulis adalah profesi. Yang ditulisnya adalah bentuk tanggung jawab sekaligus amanah. Dan, Sulkan memegang teguh prinsipnya.
“Masih menulis, Sul?” tanya sahabatnya yang sesama penulis lepas.
“Masih!” jawab Sulkan singkat.
“Sudah dimuat?”
“Beberapa.”
“Tentang apa?”
“Politik, sosial, budaya. Apa lagi….”
“Tentang cinta-romansa, tren anak muda, isu radikal agama, trending twiter?”
“Picisan! Picisan semua! Buat apa aku menulis jika tidak berbekas moral kepada pembacanya.” Sulkan mengungkapkan ketidakpuasannya.
“Loh, bukankah itu semua yang ingin dibaca audiens?”
“Iya. Tapi, antara kebenaran dan kepalsuan beda tipis. Kepalsuan yang jamaah akan dianggap kebenaran. Minoritas akan kalah!”
Sambil menyeruput kopinya yang sudah dingin, Mahardika, teman ngopi Sulkan, tergelak.
“Ha-ha-ha… masih saja idealis! Kawan, zaman sudah berubah, begitu juga ragam tulisan. Kita sebagai penulis juga harus pintar-pintar menatap pangsa pasar, Sul….”
“A-ma-te-ur! Aku kira kamu sudah menjadi penulis kawakan. Yang tidak mementingkan postingan karena semua sudah pernah ditulis dan ditulis lebih baik daripada kamu. Cinta, tragedi, petualangan sudah terwakili oleh Shakespeare, Tolstoy, Pramoedya, Cak Nun, Taufik Ismail… kecuali kamu memunyai sesuatu yang benar-benar baru untuk dikatakan. Jika begitu, pelajari akuntansi!”
Mahardika dengan gusar membentak, “Konyol! Bukankah setiap emosi tidak pernah persis sama. Tidak ada yang melihat cinta dan benci sama persis seperti kau melihatnya.”
“Tetap tidak baru! Halusinasi! Argumen yang kamu kemukakan ketika terkena virus blockwriting… Amatir pasti akan membela diri.”
“Whatever, Sul. Penulis yang menyandarkan diri dari menulis adalah nekad! Catat baik-baik omonganku!”
“Raleris!!”
Sulkan menyudahi obrolannya seraya meninggalkan warung kopi. Badannya lelah, apalagi otaknya. Ia ingin pergi menemui orang tuanya. Mungkin dari sana ia akan mendapatkan ketenangan batin. Setidaknya, menghindari keramaian.
Sulkan menemui ayahnya di ruang tamu. Seorang ayah yang dianggap selalu bijak oleh Sulkan. Akan berbeda jika ia meminta pendapat kepada ibunya. Yang terjadi sudah bisa ditebak. Si pengeluh mengeluh kepada seseorang, yang dikeluhi juga akan mengeluh. Ibu Sulkan akan berbalik mengeluh.
“Pak! Apakah aku salah dalam memilih profesi sebagai penulis?” Sulkan mengawali.
“Ini tentang apa, nak? Jika tentang profesi, pasti hubungannya dengan materi. Materi pasti akan berkorelasi dengan rumah tangga. Betul begitu?”
Tanggap! Rupanya sang ayah merasakan kegundahan Sulkan. Peka, karena pengalaman yang tentu saja telah berayun bersama umurnya.
“Benar, Ayah! Menjadi penulis sangatlah sulit. Logis dan logistik sahabatku pernah menasihatiku. Setia berpikir logis, namun logistik juga harus terpenuhi.”
“Dan nasihat itu kamu abaikan?” ayah Sulkan mencoba menebak.
“Mengeluh dan berharap menjadi beda tipis,” sang ayah melanjutkan. “Mengeluh yang menjadikan manusia tidak bersyukur, itu yang dilarang. Mengeluh bisa menjadi doa. Maka sisipkan pengharapan dengan bersandar kepada-Nya.”
Sulkan mendengar saksama. Ia teringat istri setianya. Yang selalu sabar dan menerima seberapa pun yang disodorkan. Sedikit banyak tetap tersenyum kecil. Sulkan memandang jam dinding yang terpaku pada tembok tua rumah yang ia tempati dulu. Waktu, iya waktu. Sulkan menangis. Betapa waktu ia habiskan untuk sekadar mencari ide buat ditulis. Istrinya mengeluh? Bukan, mengingatkan lebih tepatnya. Kebersamaan tidak butuh lamanya waktu, tapi kualitas ketika bersama. Sulkan terguguk, ayahnya mengusap punggungnya untuk memberikan sedikit kehangatan.
Peristiwa beberapa bulan ke depan membuat Sulkan berbeda. Realitas yang tampak membuatnya sedikit mengubah prinsip idealismenya. Bahwa, penulis yang melewati tahapan membaca, berpikir, dan berkreasi lewat tulisan membutuhkan waktu. Di sela ia tetap menjadi penulis, Sulkan membantu istrinya berjualan online tanaman hias yang memang lagi tren di masa sekarang. Istrinya merasa bahagia. Apalagi, pandemi ini membuatnya ia positif. Positif hamil karena kualitas waktu kebersamaannya dengan Sulkan.
Nasib baik. Seorang editor dari salah satu media yang sering ia kirimi naskah menghubunginya. Ia diminta untuk membantu menyortir, mengedit, dan merekomendasi beberapa karya yang dikirimkan. Menginformasi balik untuk mendapatkan persetujuan agar dimuat. Ya, Sulkan kini selain penulis juga menjadi editor freelance, tentu saja dengan vakasi yang lumayan.
Mulanya, sang istri takut jika Sulkan akan kembali dengan sifatnya dulu. Namun, karena diyakinkan dengan sangat, akhirnya pekerjaan editor freelance diterima Sulkan.
Sepekan, dua pekan, sebulan, dan beberapa bulan kemudian Sulkan mulai berubah seiring usia kandungan istrinya yang juga semakin dekat menuju kelahiran.
“Mas,” kata sang istri sambil mengelus perutnya.
Sulkan tidak menanggapi. Ia sibuk dengan laptop di petak sempit yang dibuat menjadi ruang kerjanya. Memang, kini Sulkan jarang keluar untuk observasi. Ia menghabiskan waktu untuk berlama-lama menatap laptop menyeleksi karya yang dikirimkan untuk mendapatkan rekomendasinya.
“Mas,” panggil istrinya sekali lagi.
“Eee… Ada apa?”
“Sore nanti bisa antar aku periksa ke bidan ya. Waktunya untuk diberi pil tambah darah.”
“Sore nanti? Besok pagi saja gimana?”
“Nggak enak mas, kemarin sudah aku batalkan janji dengan bidannya. Karena mas tidak bisa antarkan. Masa sore nanti aku batalkan lagi. Bisa, ya mas?”
“Aduhh, beli di apotek saja bisa, kan?”
“Bisa mas. Tapi kandungan ini juga perlu diperiksa. Detak jantung, berat badan, dan lain-lainnya mas. Aku takut. Ini kan hamil pertamaku.”
“Aku sekarang editor. Nasib orang yang mengirim ini seolah berada di tanganku. Jika aku rekom, maka ia akan dimuat, karena dimuat ia akan dihonor. Pekerjaanku ini sangat penting. Dan sore ini aku harus mengirimkan lengkap dengan editannya.”
“Mas, aku salah sangka selama ini. Penulis itu penipu paling ulung. Menggunakan keahliannya yang lihai untuk menjual angan-angan, terutama wanita. Aku buktinya!”
Sulkan ganti terperanjat. Bagaimana istrinya menemukan kata-kata itu. Segera ia menutup laptop dan menuntun istrinya ke ruang tamu.
“Ulangi kata-katamu tadi!” hardik Sulkan kepada istrinya.
Sang istri diam saja tidak menyahut.
“Ulangi lagi!!! Perkataanmu merendahkan martabat penulis!”
Istrinya menyahut dengan tatapan mata yang tajam, “Penulis? Memangnya itu profesi, pekerjaan, lokakarya? Menulis dijadikan mata pencaharian utama? Mas, mas, semua orang bisa menjadi penulis. Tidak perlu jurusan sastra, kiai pondok pun bisa menjadi penulis. Dokter hewan, lulusan teknik, buruh pabrik, siapa saja bisa menjadi penulis. Best seller malah…” istrinya dengan begitu lugas berganti menceramahi Sulkan.
“Dasar awam! Meski penulis awalan meniru dan yang sudah berpengalaman mencuri ide, kuakui itu! Tapi tidak sepicik pikiranmu! Mereka tetap berkarya! Kini, tanamanmu urusi saja sendiri, aku tidak punya waktu karena posisi penting pekerjaanku!”
Sang istri tidak ingin melanjutkan debatnya. Ia hanya terisak sambil mengelus perutnya. Kiranya kesabaran itu meski tidak terbatas, tetapi ukuran kenormalan manusia akan menggeliat. Sulkan meninggalkan ruang tamu untuk kembali tenggelam dalam ruang kerjanya.
Menjelang sore, Sulkan pergi ke luar rumah. Rupanya ia jenuh juga menyeleksi dan mengedit beberapa karya. Ia sudah lama tidak menulis. Maka, ia putuskan untuk kembali menyusuri gang-gang sempit sekitar rumah kontrakannya. Hampir tengah malam ia baru pulang kembali ke rumah.
Dipanggil istrinya tidak ada sahutan. Ia lelah, ingin dibuatkan kopi panas untuk melepaskan penatnya. Dicari istri di kamarnya, tidak ada. Begitu juga di dapur, kamar mandi, dan ruang belakang. Sulkan mulai khawatir, teringat kandungan dan bakal buah hati yang akan segera ditimangnya.
Sulkan ke petak ruangan kerjanya. Ia menemukan beberapa formulir dan berkas dengan stempel Kementerian Agama. Sepucuk kertas ia pungut, diamati perlahan. Bergetar tangan dan hatinya membaca sebaris tulisan singkat dari sang istri, “Mas, besok aku tunggu di KUA!”