Dulu sekali, setelah lulus SMP dan mau melanjutkan ke SMA, saya harus mengurus “surat keterangan bersih diri”. Tanpa surat itu, di zaman itu, kita tak bisa ke mana-mana; tak bisa melanjutkan sekolah.
Setelah lolos dari Polsek, untuk melengkapi surat bersih diri itu, saya masih harus ke Koramil. Naas, permohonan saya di Koramil untuk meminta surat bersih diri itu ditolak mentah-mentah. Alasannya: saya anak PKI!
Sesampai di rumah, saya ceritakan peristiwa tak mengenakkan itu kepada orang tua. Ayah saya berang bukan kepalang. Ia tak bisa menerima anaknya dicap sebagai keturunan komunis. Apalagi, saat itu, ia adalah salah seorang perangkat desa —yang sudah pasti telah lolos dari screening Orde Baru. Dari keluarga santri pula. Apalagi, ayah saya juga menjadi bagian dari gerakan “pembersihan PKI” di daerah Banyuwangi pasca geger 1965.
Maka, dengan memendam amarah, ayah saya mendatangi Koramil. Saya dibawa serta. Alamak, sesampai di Koramil, ayah dan anggota Koramil ternyata sudah saling kenal. Akrab. Anggota Koramil yang menolak saya itu mengakui telah terjadi kesalahpahaman. Ia kurang teliti saat mengeja nama ayah saya yang tertera dalam surat pengantar dari desa. Ayah saya “Ngadimin”, diejanya “Ngadimun”, orang yang masuk dalam daftar “terlarang”.
Nyaris saja saya menjadi “korban ejaan” yang bisa berakibat sangat fatal di masa itu: dari santri menjadi PKI. Jelas saya tak sendirian. Di masa itu, cerita-cerita seperti ini sangat sering terjadi, dan bisa berujung pada penentuan hak hidup banyak orang.
Saya teringat peristiwa itu, ketika akhir-akhir ini mendadak orang ramai bergunjing soal komunis. Pergunjingan dibangun sedemikian rupa, hingga diciptakan situasi yang seolah-olah sangat mencekam: negara dalam bahaya. Komunisme bangkit dari kuburnya. Negara sudah dikuasai oleh orang-orang komunis. Kita kemudian diajak menyatukan gerakan untuk giliran “mengganyang” orang-orang komunis yang baru bangkit dari kuburnya ini. Tapi siapa sesungguhnya orang-orang komunis ini?
Masih seperti di zaman ketika saya harus mengurus surat bersih diri itu: orang-orang komunis masih digambarkan sebagai mereka yang ingin merebut kekuasaan negara dengan berbagai cara, termasuk dengan teror, pembunuhan, dan pemberontakan; mereka yang menolak Pancasila dan ingin menggantinya dengan ideologi sosialisme-komunisme; mereka yang anti-Tuhan dan anti-Islam dan karena itu memusuhi Tuhan dan agama; mereka yang menghalalkan segala cara untuk mengegolkan keinginannya.
Tapi, bukankah semua itu bisa dilakukan oleh siapa saja, oleh kelompok kekuatan mana saja? Apakah kita lupa, yang pernah memberontak di negeri ini bukan cuma PKI. Yang pernah melakukan teror dan pembunuhan juga bukan cuma PKI. Yang ingin mengganti Pancasila dengan ideologi lain, dengan sistem pemerintahan yang lain, juga bukan cuma PKI. Yang tidak percaya Tuhan dan agama, lebih-lebih di era ini, juga bukan cuma PKI. Yang menghalalkan segala cara, juga bukan cuma komunis. Bahkan, kapitalis pun, pernah tak luput dari stigma ini: menghalkan segala cara.
Jadi, siapa sesungguhnya komunis itu, di era ini?
Jangan-jangan, komunis itu adalah kita, orang yang diam-diam masih memendam keinginan untuk mengganti Pancasila, mengubah NKRI, sesusai dengan kepercayaan kita.
Jangan-jangan, komunis itulah kita, orang yang suka meneror kelompok lain yang tak sepaham dengan keyakinan kita, atau tak mau bergabung dengan kelompok kita.
Jangan-jangan, komunis itu adalah kita, orang yang mengaku bertuhan dan beragama, tapi selalu menebarkan kebencian dan angkara murka di Bumi ini.
Jangan-jangan, komunis itu adalah kita, orang yang selalu menghalalkan segala cara tapi mengaku taat hukum.
Jangan-jangan, komunis itu adalah kita, orang yang mengaku kekasih Tuhan tapi takut sama hantu.
Jangan-jangan, komunis itu adalah kita, orang yang selalu salah mengeja…