Heidegger pernah mengemukakan bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang lebih dinamis dibandingkan dengan peradaban, maka manusia sebagai pelaku kebudayaan itu sendiri akan berkembang jauh lebih dinamis. Sehingga dalam mengikuti alur kehidupan di era modern kali ini, sangat penting mengetahui posisi dan porsi yang hendak kita ambil.
Kita mungkin menyaksikan satu gejala sosial yang mencemaskan sekaligus menggemaskan di tengah derasnya arus informasi hari ini, yaitu krisis otoritas moral. Suara yang semula dihormati karena integritas dan pengetahuannya, kini kian tergantikan oleh mereka yang viral. Ukuran kewibawaan bukan lagi substansi, tapi seberapa sering dikutip, disukai, dan dibagikan.

Dalam tradisi berpikir klasik, otoritas moral tidak bisa dilepaskan dari kualitas pribadi seseorang yang meliputi tiga hal: kematangan berpikir, konsistensi bertindak, dan komitmen pada nilai-nilai yang lebih tinggi. Filsuf Immanuel Kant menegaskan bahwa moralitas sejati lahir dari otonomi rasional manusia, bukan karena tekanan eksternal. Seseorang layak dipercaya karena ia hidup sesuai prinsip etis, bukan karena titel atau jubah yang ia kenakan.
Namun, masuknya kita ke era digital mengubah lanskap otoritas secara drastis. Teori “masyarakat informasi” yang dikemukakan oleh Manuel Castells menjelaskan bagaimana kekuasaan kini berpindah dari tangan lembaga formal ke jaringan. Siapa pun bisa menjadi sumber informasi—dan secara bersamaan, siapa pun bisa menggugat informasi lain, tanpa bekal etika maupun pengetahuan yang memadai.
Akibatnya, publik tidak lagi disuguhkan kebenaran yang kokoh, melainkan kebenaran yang dikurasi oleh algoritma. Popularitas menjadi lebih menentukan daripada kredibilitas. Di media sosial, kita bisa dengan mudah menemukan figur yang mendadak menjadi influencer moral karena kepiawaian merangkai opini, meski tanpa landasan teori, pengalaman, atau tanggung jawab sosial.
Gejala ini tidak berhenti pada ranah opini publik. Dalam dunia politik, agama, bahkan akademik, kita melihat figur-figur publik yang kehilangan wibawa bukan karena kekurangan gelar, tapi karena kehilangan kompas moral. Mereka mungkin tetap mengutip ayat atau teori, tetapi keputusan dan sikap mereka sering kali tunduk pada kepentingan jangka pendek. Seperti kata Zygmunt Bauman, kita hidup dalam modernitas cair, di mana fondasi moral tak lagi kokoh, melainkan mudah larut oleh arus zaman.
Mengapa ini penting? Karena krisis otoritas moral bukan sekadar soal siapa yang kita dengar, tapi juga siapa yang kita jadikan panutan. Ketika masyarakat lebih menghargai suara yang ramai ketimbang suara yang jernih, maka kebisingan akan selalu menang dari kebijaksanaan. Ini berbahaya, karena kebijakan yang diambil atas dasar popularitas hampir selalu mengabaikan kedalaman dan konsekuensi jangka panjang.
Lalu, apa yang bisa dilakukan? Pertama, publik perlu belajar untuk bersikap lebih kritis dalam menyerap informasi. Kredibilitas harus kembali menjadi tolok ukur utama, bukan jumlah pengikut atau gaya bicara yang memikat.
Kedua, para intelektual dan pemegang otoritas moral harus berani hadir ke ruang publik dengan bahasa yang komunikatif, tanpa kehilangan kedalaman. Terakhir dan yang paling sulit, kita sebagai individu harus menata ulang orientasi kita terhadap kebenaran: apakah kita mencarinya untuk benar-benar mengerti, atau hanya untuk merasa benar?
Dalam dunia yang terus bergerak cepat ini, kebijaksanaan tidak lagi bersembunyi di balik gelar atau institusi. Ia ada pada mereka yang berani diam di tengah kebisingan, berpikir jernih di tengah histeria, dan tetap memegang nilai meski tak lagi dianggap penting.
Tulisan sangat berbobot. Penting untuk lebih ditindaklanjuti oleh pihak yang terlibat… Tulisan ini juga menjadi koreksi bagi kita untuk tetap menjadi pribadi yang mementingkan kredibilitas daripada popularitas….keren tulisannya mas Zen