Isu tentang kesetaraan gender masih menjadi topik yang menarik untuk dibahas, utamanya tentang esensi perempuan. Gerakan feminisme yang mengkampanyekan kesetaraan gender membawa perubahan yang cukup besar terhadap pola pikir masyarakat.
Meskipun demikian, nyatanya stereotip masyarakat terhadap perempuan masih saja membatasi gerak dan partisipasi perempuan. Perempuan dianggap tidak memiliki kredibilitas dalam memimpin, belum lagi narasi agama yang banyak disalahgunakan sebagai tembok pembatas ruang gerak perempuan.
Adalah Muhammad al-Ghazali, seorang ulama kontemporer yang mencoba mengkompromikan narasi agama yang memiliki kecenderungan patriarkis menjadi narasi agama yang menunjukkan keberpihakannya terhadap perempuan dan tidak bias gender.
Syekh Muhammad Al-Ghazali atau akrab dikenal dengan Syekh al-Ghazali merupakan ulama kontemporer yang banyak menyumbangkan pemikirannya dalam kajian keilmuan, terutama dalam bidang hadis.
Beliau lahir pada 5 Dzulhijjah 1334 H (22 September 1917 M) di Nakla al-Inab Mesir. Al-Ghazali telah melahirkan banyak karya di berbagai bidang keilmuan. Salah satu karyanya dalam bidang hadis adalah kitab dengan judul Al Sunnah Al-Nabawiyyah Baina Ahli Fiqh Wa Ahl Hadis.
Kitab Al Sunnah Al-Nabawiyyah Baina Ahli Fiqh Wa Ahl Hadis ini merupakan karya al-Ghazali yang kontroversial, karena dalam kitabnya itu al-Ghazali banyak mengkritisi hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih al-Muslim.
Dalam menentukan apakah suatu hadis dapat diterima atau ditolak, Muhammad al-Ghazali menerapkan beberapa pendekatan. Di antaranya adalah hadis tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an. Bahkan, al-Ghazali mengatakan, meskipun suatu hadis terbilang sahih baik dari segi sanadnya maupun matannya, namun apabila terlihat bertentangan dengan Al-Qur’an maka harus ditolak.
Hal ini diterapkan al-Ghazali dalam memahami hadis tentang kepemimpinan wanita yang terdapat dalam kitab Shahih Al-Bukhari.
لن يفلح قوم ولّوا أمرهم امرأة
“Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (kepemimpinan) mereka kepada seorang wanita.” (Hadis Riwayat Al-Bukhari: 4425).
Hadis itu jika dipahami secara tekstual mengindikasikan adanya larangan perempuan untuk menjadi pemimpin. Namun, menurut al-Ghazali, hadits tersebut bertentangan dengan Al-Qur’an tepatnya dalam QS. An-nahl ayat 97, yaitu sebagai berikut:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
“Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
Dalam ayat tersebut ditegaskan bahwa Allah akan memberi pahala kepada laki-laki maupun wanita yang beramal saleh. Dan, menurut al-Ghazali, amal saleh yang dimaksud dalam ayat tersebut tidak terbatas amal yang bersifat domestik, namun juga amal yang bersifat publik. Ini berarti Allah memberi peluang kepada perempuan untuk menjadi pemimpin.
Pendekatan selanjutnya yang digunakan al-Ghazali dalam memahami hadis adalah memperhatikan sosio-historis suatu hadis. Fakta sejarah menunjukkan bahwa hadis tersebut diucapkan Nabi SAW ketika kerajaan Persia diambang kehancuran.
Pada saat itu Nabi SAW mengajak Kisra, Raja Persia, untuk memeluk Islam dengan mengirimkan surat kepadanya. Namun, setelah surat itu sampai di tangannya, Kisra merobek surat tersebut yang berarti menolak ajakan Nabi SAW. Mendengar peristiwa perobekan tersebut, Nabi berkata “Siapa pun yang merobek suratku, maka akan dirobek-robek dirinya dan kerajaannya.” Maka benar saja, setelah beberapa dekade, kerajaan Persia menuju kehancuran.
Kehancuran kerajaan Persia diawali ketika Kisra dibunuh oleh anaknya sendiri, yakni Syairawaihi yang berambisi mengambil alih kekuasaan. Syairawahi tidak hanya membunuh ayahnya, namun juga membunuh saudara-saudaranya karena ketamakannya akan kekuasaan.
Kepemimpinan Syairawaihi tidak berlangsung lama. Setelah enam bulan berkuasa, ia mati karena racun mematikan yang sebelumnya diletakkan Kisra, ayahnya dalam sebuah lemari khusus. Karena tidak ada lagi laki-laki yang menjadi pewaris kerajaan, akhirnya diangkatlah Buwaran yang merupakan anak perempuan dari Syairawaihi sebagai pemimpin kerajaan.
Kabar diangkatnya Buwaran sebagai pemimpin kerajaan Persia sampai ke telinga Nabi, dan hal inilah yang pada akhirnya membuat Nabi SAW mengatakan bahwasanya tidak akan beruntung jika sebuah negara dipimpin oleh seorang perempuan.
Jika dilihat dari kondisi sosial pada masa itu, derajat perempuan dianggap tidak lebih tinggi daripada laki-laki. Pada masa itu perempuan belum dapat dipercaya untuk terlibat dalam sektor publik, lebih-lebih sebagai pemimpin. Hal ini dikarenakan perempuan pada masa itu masih sangat tertutup serta wawasan dan pengetahuannya terbilang kurang dibanding laki-laki.
Kondisi sosial yang demikian membuat wanita tidak memiliki kewibawaan dan kurang dihargai di masyarakat, di samping kurangnya wawasan dan pengetahuan membuat wanita tidak memiliki kompetensi untuk memimpin. Hal inilah yang menjadi alasan Nabi mengatakan bahwa tidak akan beruntung sebuah negara jika dipimpin perempuan. Bagaimana mungkin sebuah negara akan maju jika yang memimpin adalah orang yang tidak memiliki kompetensi serta tidak memiliki kewibawaan. Maka wajar jika Nabi mengatakan demikian.
Melihat kondisi sosial yang sudah berubah, di mana sekarang ini perempuan memiliki kesempatan dan hak yang sama dengan laki-laki salah satunya dalam hal pendidikan serta dari sisi intelektualitas mampu bersaing dengan laki-laki, maka sah-sah saja jika perempuan juga memiliki kesempatan untuk terlibat dalam sektor publik, termasuk menjadi pemimpin negara. Kesimpulannya, seorang pemimpin bukan soal laki-laki ataupun perempuan, melainkan soal kompetensi dan integritas untuk membawa negara ke arah yang lebih baik.