Kritik Syeikh Ali Jum’ah Terhadap Manhaj Al-Mutasaddidun

100 views

Ada beragam kritikan Syeikh Ali Jum’ah yang tertuang dalam Kitab al-Mutasaddiduna Manhajuhum Wa Munaqasuhum Ahammu Qadhayahum yang ditujukan kepada kaum mutasaddidun, sebutan untuk ulama berpaham ekstrem.

Kritiknya begitu tajam, dan karena itu kitab ini menarik untuk dikaji. Bahkan, meskipun berisi banyak kritikan tajam, kitab Syeikh Ali Jum’ah ini sering dijadikan pegangan dalam mendalami kajian keagamaan. Sebab, metodologi yang dikembangkan tidak hanya menggunakan dalil nagli (Al-Qur’an dan Hadis) dan aqli (Akal). Narasi yang dibangun dalam kitab ini menggunakan kalimat-kalimat yang mudah dipahami bagi semua kalangan.

Advertisements

Susunan kitab diawali dengan muqadimah. Di situ penerbitnya mengulas karya-karya yang pernah ditulis oleh Syeikh Ali Jum’ah, seperti kitab Al Bayan Lima Yusngilu Adzhan yang terdiri dari seratus fatwa dan kitab Aqidah Ahlussunnah Wal Jamaah.

Dalam muqadimah ini, juga sudah dikenalkan istilah salafiyah. Menurutnya, lafaz salafiyah secara bahasa mengandung makna nisbi yang berhubungan dengan makna-makna yang akan datang atau masa-masa yang telah lalu.

Selanjutnya, di dalam kitab ini dijabarkan secara detail tentang pengertian salafiyah. Perlu diketahui bahwa ada perbedaan antara pengertian salaf, salafiyah, dan salafi. Kata salaf biasanya identik dengan kaum tradisional. Hal ini lumrah dikenal dengan kehidupan pesantren salaf. Sementara salafiyah adalah kehidupan ulama pada masa ketiga dari hijrahnya Nabi sampai abad ke-15 (Kitab Al-Mutasaddidun: 6). Sedangkan, salafi adalah pengikut Abdul Wahhab yang menganjurkan pengikutnya untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis.

Baru pada bagian selanjutnya dijelaskan tentang “wasfulllah bil makan”, menyipatinya Allah dengan tempat. Pada bab ini perlu didalami karena di dalamnya terdapat perdebatan yang sangat menarik antara kaum mutasadidun dan ahlus sunnah wal jamaah. Pada bagian selanjutnya dibahas “Intiqasuh asyairah” ingkaru ittiba’ al-Madzhab fiqhiya wa taqlidiha”.

Menariknya, dari kitab ini kita akan mengenal berbagai amalan-amalan ahlussunnah yang sering menjadi perdebatan hangat antara kaum mutasaddid dan ahlussunah. Seperti, tahrimu tawassul kepada Nabi, mengharamkan membaca selawat di kuburan, mengambil berkat dari bekas-bekas Nabi dan orang-orang saleh, haramnya merayakan Maulid Nabi, serta haram ziarah kubur makam para wali.

Misalnya, di halaman 71 pada  bagian keenam, kita akan mendapatkan sebuah kajian yang sangat menarik untuk didalami, karena menyangkut dengan amaliyah sehari-hari, seperti haramnya bertawasul kepada Nabi. Dalam kitab ini, disebutkan bahwa kaum mutasaddid mengharamkan  bertawasul kepada Nabi, sehingga pelaku tawasul dihukumi haram. Pendapat ekstrem tersebut selalu menuai kritikan tajam dari ulama fikih yang empat (Maliki, Syafi’ie, Hambali, dan Hanafi). Mereka tidak setuju dengan pendapat mutasaddid. Mereka malah menganjurkan untuk tawasul, karena dengannya bisa menyambung dengan arwah para nabi.

Juga perlu menjadi kajian lebih mendalam pada halaman 101 tentang Perayaan Maulid Nabi. Pada tema tersebut kaum mutasaddidun menganggap bahwa perayaan Maulid Nabi termasuk musibah yang sangat besar bagi umat muslim. Sehingga pelakunya dianggap sesat yang nyata. Pendapat yang dilontarkan oleh mutasaddid itu dibantah oleh Syeikh Ali Jum’ah dengan mengutip hadis yang diriwayatkan oleh Umar bin Khattab

عن عمر بن الخطاب رضي الله قال  سئل (أي النبي صلي الله عليه وسلم) عن صوم الاثنين , قال “ذاك يوم ولدت فيه ويوم بعثت “(أو أنزل علي فيه) رواه مسلم في صحيحه

Artinya : Dari Umar Bin Khattab ra. berkata, Nabi pernah ditanya tentang puasa pada hari Senin. Beliau menjawab karena hari Senin di mana saya dilahirkan atau saya diturunkan ke bumi (HR: Muslim ).

Hadis ini menjadi petunjuk bahwa Nabi mensyukuri nikmat atas kelahirannya kepada Allah. Dengan dasar hadis tersebut ulama salaf merayakan Maulid Nabi sejak masa keempat yang di dalamnya diisi dengan kegiatan menghidupkan malam dengan salat tahajud, membaca Al-Qur’an, zikir, membaca dan puji-pujian kepada Nabi. (Kitab Al-Mutasaddiduna: 101).

Penulis merekomendasikan kitab ini untuk menjadi rujukan dan kajian rutin, dan perlu mendapat perhatian penuh terutama di kalangan pesantren. Hal ini diperlukan untuk menepis metodologi kaum salafi atau dikenal dengan Wahabi, dengan metodologi yang dikembangkan dengan kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis.

Kitab al-Mutasaddidun manhajuhum wa munaqasuhum qadhayahum telah diterbitkan pada Bulan Juli Tahun 2011 oleh Majlis A’la dengan tujuan agar lebih bermanfaat bagi masyarakat luas dan menjadi rujukan seluruh umat muslim sedunia. Kitab ini diterbitkan dengan sederhana dan harga yang sangat murah sekitar Rp 40.000. Dari kitab ini kita akan mendapatkan banyak ilmu dan perbendaharaan kata-kata kontemporer.

Syeikh Ali Al-Jum’ah sendiri merupakan sosok ulama yang sangat tawadhu, yang dilahirkan dengan nama Ali dari keluarga sederhana pada 3 Maret 1952 M (7 Jumadil Akhirah 1341) di perkampungan Bani Sueif, Mesir. Ayahnya bernama Jum’ah sehingga terkenal dengan nama Syeikh Ali Jum’ah, nama yang dinisbatkan kepada ayahnya.

Syeikh Ali Al-Jum’ah pernah menjadi Mufti Mesir pada tahun 2003-2013. Syeikh Ali Al-Jum’ah telah melahirkan banyak karya, di antaranya Al-Ijma’ Indal Ushuliyin, Mudzakkiroh hawla al-Manhaj al-Ushuli li Tanawubi al-Mu’amalat al-Maliyah al-Haditsah wa al-Qawaid al-Dhabithah laha, dan Al-Bayan lima yasghulu adzhan yang di dalamnya terdiri dari seratus fatwa untuk menolak penyerupaan orang yang keluar dari manhaj ahlussunnah wal Jamaah .

Data Kitab

Judul Kitab                   : al-Mutasaddiduna Manhajuhum Wa Munaqasuhum Ahammu Qadhayahum
Penulis                         : Syeikh Ali Jum’ah
Penerbit                       : Darul Maqtam Wa Tausyi’
Cetakan                       : V, Desember 2013
Tebal Halaman             : 155 Halaman

Multi-Page

Tinggalkan Balasan