Paman cukup memberi sandi dengan jari jempol yang diacungkan, lalu jempol dilipat berganti dua jari; telunjuk dan tengah. Para sopir tak bertanya lagi; mereka akan melemparkan dua bungkus rokok kepada paman.
Aku beranjak untuk memeriksa barang muatan si sopir, tapi lekas paman menarik lenganku sambil menggelengkan kepala dan mengedipkan mata, lantas mobil yang memuat tembakau itu melesak masuk tanpa pemeriksaan.
Paman kemudian memasukkan sebungkus rokok ke dalam saku bajuku seraya tersenyum, menepuk bahuku, dan mengedipkan mata. Lantas ia jongkok dan mengelus kucing hitam kesayangannya yang setiap hari biasa diajak ikut kerja ke pabrik, karena kata paman di pabrik ini banyak tikusnya.
“Ini kok ada rokok buat saya? Maksudnya bagaimana, Paman?” tanyaku seraya ikut jongkok pelan, dahi terasa berkerut dengan perasaan bingung. Paman masih sibuk mendaratkan telapak tangannya di sepanjang punggung hingga kepala kucingnya. Lalu ia menegakkan jari telunjuknya tepat menyentuh depan bibirnya; isyarat supaya aku diam.
Hari pertama aku bekerja, jelas apa yang dilakukan paman membuatku tak paham. Dua hari setelah aku dinyatakan lulus bekerja sebagai satpam, aku dibekali pelatihan selama tiga hari yang semuanya berkait erat dengan tugas keamanan untuk memeriksa barang sebelum masuk ke pabrik. Saat itu paman malah juga jadi mentor yang mengajari aku dan beberapa satpam lain—yang bertugas di pintu masuk—mengenai cara palilng tepat memeriksa tembakau. Paman juga menekan kami berulang-ulang agar tak segan-segan menolak mobil yang muatannya tidak sesuai dengan yang diinginkan pabrik.
“Pokoknya setiap mobil yang hendak masuk untuk mengirim tembakau, wajib diperiksa dulu muatannya, jika jelek maka wajib ditolak. Paham?” tegas paman saat itu di depan para satpam baru membuat semuanya mengangguk.
Sementara hari ini, hari pertama aku bekerja, yang dilakukan paman malah jauh berbalik arah dengan yang ia sampaikan saat jadi mentor.
“Jangan risau. Ikuti saja apa yang kulakukan jika kamu ingin cepat membangun rumah dan punya mobil.” Suara paman setengah berbisik, di sela suara meong kucing yang berusaha mengesekkan tubuhnya ke lengan paman..
“Apa ini tidak berbahaya, Paman? Ini jelas tidak sama dengan yang disampaikan saat saya ikut pelatihan.”
“Di zaman ini formalitas hanya di wajah saja. Sedang di bagian yang tak terlihat formalitas akan jadi bebas,” tambah paman, sebelum akhirnya ia beranjak mendekati pikap yang baru datang, diikuti kucing hitammnya dari belakang. Kembali paman mengacungkan jempol. Lalu dua jari. Dari dalam mobil terlembar sebuah amplop. Paman menyilakan mobil itu masuk, tanpa diperiksa lagi. Kucingnya mengeong, seperti menemukan tikus.
Aku masih tertegun dalam ketidakpahaman.
***
Di pintu gudang masih senyap, selain geletar pelan angin pagi, langkah kaki beberapa pekerja yang baru datang, juga cericit tikus yang berkejaran. Melintas depan kaki. Memasuki celah gedung. Masih tak terdengar suara mobil. Hari kedua, paman tak lagi menemaniku di pintu ini. Ia pindah ke pintu sebelah untuk mengajari satpam lain.
Sambil menunggu mobil datang, kuperiksa lagi pesan paman yang dikirim melalui WA semalam.
“Jika kau ingin sukses, ikuti saja arahanku.” Begitu bunyi pesannya.
“Pesan saat latihan atau ketika di depan pintu, Paman?”
Sejak tadi malam, paman tidak membalas meski sudah centang biru pertanda sudah dibaca. Dua kali mencoba mengulangi pertanyaan itu. Satu dalam bentuk suara. Tapi tetap semua tanya itu tak ada jawaban. Aku bingung mau mengikuti nasihat paman yang mana—antara nafsu dan kalbu saling seteru.
Pikap pertama tiba-tiba berhenti tepat di depanku. Sontak kumasukkan HP dengan tergesa dan menatap si sopir dengan wajah yang gugup sekaligus masih bingung mau dibagaimanakan.
“Petugas baru, Mas?”
“Iya,” jawabku singkat.
Sopir itu kemudian memanggilku untuk mendekat ke jendela mobilnya. Tangannya yang kasar tiba-tiba menyelipkan sebuah amplop ke dalam saku. Tak ada bahasa apa pun, lantas ia menjalankan mobilnya begitu saja masuk ke dalam pabrik. Aku masih berdiri dalam bingung. Karena penasaran, setelah keadaan sepi, kubuka amplop itu. Aku terkejut melihat dua lembar uang seratus ribuan di dalamnya. Cepat kuselipkan kembali ke saku dengan perasaan antara bingung dan bahagia.
Tak sampai dua jam aku berdiri di depan pintu pabrik, tanpa harus memeriksa satu pun mobil yang masuk, saku dan tasku sudah sesak dengan amplop dan rokok. Pandang kedua mata kerap alih hanya pada dua haluan—ke arah luar pintu untuk menunggu kedatangan mobil atau ke dalam ruang pabrik; ke arah tumpukan tembakau yang sudah diturunkan dari mobil, sambil sesekali dipacu jantung yang berdebar karena khawatir ada tembakau yang tak layak tapi lolos dari pemeriksaan. Kedua mataku terpaku ke arah tumpukan tembakau itu, sesekali melihat tikus-tikus berkeliar, berkejaran, masuk ke celah-celah kecil dengan riangnya.
“Bagaimana, Min? Kamu ikut nasihatku yang mana? Apa saat di pelatihan atau ketika kerja di lapangan?”
Tanpa kusadari, tiba-tiba paman datang, menepuk bahuku dari belakang. Kucing hitamnya tiba-tiba menggesek betisku. Setelah sebentar diam dalam kebingungan, akhirnya kujawab dengan tegas,”Saya ikut nasihat paman di lapangan.”
Paman tersenyum dan mengacungkan jempol. “Itu hasilnya dibagi dua denganku,” bisiknya lirih. Kucingnya mengeong, seperti mencium aroma tikus.
***
Aku benar-benar menikmati trik paman dalam mendapatkan uang. Hanya dalam kurun waktu dua bulan, aku sudah bisa membeli motor dan HP baru. Itu pun hanya sisa dari sebagian yang ditabung dan dibelanjakan.
“Hidup itu bukan hanya untuk mendapatkan pekerjaan, tapi untuk mendapatkan uang. Jadi kau jangan terlalu serius memikirkan tugasmu. Tapi carilah cara dengan serius untuk mendapatkan uang,” ucap paman untuk kesekian kalinya padaku. Selalu diulang-ulang. Kadang dibisikkan. Kadang diucapkan dengan suara lantang.
Aku selalu mengangguk dan tersenyum saat mendengar kata-kata itu. Aku merasa kata-kata itu telah tumbuh dalam diriku, jadi pohon yang kuat dan lebat; menjulurkan banyak buah yang begitu manis.
Saat aku dapat tugas tambahan untuk mengantar makan siang ke para pekerja, paman menyarankanku untuk mengurangi bungkusan lauk kering yang tersedia. Aku pun mengikuti saran paman, mengambil sebungkus kerupuk di masing-masing bungkus makanan, ditumpuk dalam sak lusuh di pojok gudang, di antara dempetan barang pada bagian yang tersembunyi. Kerupuk hasil sikat itu oleh paman dijual ke pedagang asongan dan hasilnya juga dibagi; untuk aku dan paman.
Semakin hari, harta dan tabunganku semakin menumpuk, tapi ada ketidaknyamanan dalam diri yang menumbuhkan rasa waswas—khawatir dipecat, khawatir dihukum, dan khawatir masuk neraka.
“Apa ini bukan korupsi, Paman? Apa tidak dosa? Apa tidak dihukum?”
“Ha-ha-ha….”
Paman hanya tertawa. Tak menjawab apa-apa. Sedang kucing kesayangan paman hanya menjilat-jilat kaki depannya. Lalu menatapku, seperti menanyakan seekor tikus.
***
Entah kenapa setiap kuinjakkan kaki di tempat tugas—di sisi pintu pagar yang dilengkapi sebuah kursi dengan meja kecil bermuatan cangkir—akhir-akhir ini selalu membuat perasaanku seperti tiba menapak lorong samar ke arah neraka, terutama di saat mobil pengangkut tembakau berhenti di depanku dan sopirnya menjulurkan amplop atau rokok, atau ketika mengambil kerupuk dari masing-masing bungkusan.
“Ini sebenarnya bentuk lain dari korupsi. Aku harus berhenti, dan arahan paman harus kutolak dengan cara-cara yang etis,” gumamku
Hari-hari saat aku sadar, nyaris tiap waktu selalu kucari cara terbaik untuk menolak arahan paman sekaligus menyelamatkan paman dari prilaku yang sangat merugikan itu, hanya saja, setiap kali berpikir untuk mencari cara, setiap itu pula otakku buntu—seperti tak ada cara untuk menghentikan aktivitas paman itu mengingat paman sendiri memiliki watak yang keras.
Aku bingung, jika kubiarkan paman begitu, maka aku sama saja mendukung perbuatan paman—menumpuk banyak dosa dan membiarkan banyak orang kena rugi, namun jika kutolak, paman pasti marah atau bahkan malah bisa saja ia balik memfitnahku hingga si bos memberhentikannku dari pabrik.
Setelah beberapa hari tak menemukan cara untuk menyadarkan paman tentang korupsi, akhirnya aku hanya punya inisiatif untuk mengurangi takaran makanan kucing paman sebagaimana aku mengurangi kerupuk para pekerja dari bungkus makanannya. Aku merasa itu cara terbaik untuk menyadarkan paman secara diam-diam. Tentu saja di balik semua itu,—dengan cara yang sangat tak masuk akal—aku minta maaf dulu kepada kucing itu seraya berjanji bahwa apa yang kulakukan semata untuk menyadarkan paman dari perilaku korupsi, sekadar untuk membuat kucing itu kurus dalam kondisi yang tidak membahayakan tubuhnya, dan nanti setelah paman sadar, aku berjanji untuk memberi makan kucing itu dengan yang paling lezat.
Dengan takaran makan yang terus kukurangi, tubuh kucing hitam itu perlahan menyusut, bulu-bulunya rontok sekadar menyisakan sedikit tumpukan tipis yang membuatnya tak lagi indah. Dengkulan tulangnya pun mulai tampak mendorong kulit hingga di beberapa bagian kucing itu terlihat ada benjolan-benjolan. Energinya juga berkurang, terbukti ia kini hanya bisa tiduran di lantai sambil menguap berkali-kali. Yang bisa ia lakukan hanya menggerakkan ekor seperlunya, menatap nelangsa dengan kedua mata yang nampak beku, kadang ia mengeong dengan suara yang serak dan dalam.
Sebenarnya aku tak tega melihat kucing paman jadi seperti itu, tapi hanya itu satu-satunya cara yang bisa kulakuan untuk bisa menyadarkan paman.
“Sebentar lagi, ketika paman sudah sadar, aku akan membalas segala deritamu dengan makanan yang enak dan banyak. Percayalah, aku tak akan membuatmu lebih menderita lagi,” bisikku padanya saat rebah di karung bekas. Binatang itu hanya mengedipkan mata pelan-pelan, seperti memahami dan mangamini siasatku.
Yang kuharap akhirnya terjawab siang itu; paman mulai bertanya perihal keadaan kucing itu dengan nada yang sedih dan kedua mata yang muram.
“Kenapa kucing ini jadi seperti ini?” suaranya gemetar.
“Mungkin karena makanan kucing itu sering dicuri tikus, Paman,” jawabku berbohong.
“Kalau begitu, mestinya kau tambah makanan kucing ini.”
“Percuma makanan ditambah jika tikusnya tetap banyak, Paman.”
“Semestinya tikus-tikus itu disantap oleh kucing ini.”
“Tikusnya sudah terlalu banyak dan terlalu licik, Paman. Itulah sebabnya sebenarnya aku ingin kegiatan di pintu pagar dibereskan saja sebagaimana mestinya dan kegiatan mengurangi kerupuk diakhiri, karena aku tak ingin licik seperti tikus, Paman.”
Dadaku lega saat kalimat itu bisa kulontarkan. Berharap paman mencermatinya secara baik. Sepasang mata paman terpaku menatapku. Tapi ia hanya diam dengan wajah yang seolah bimbang.
***
Kini paman tak pernah lagi mengurus kegiatan sogok di pintu pagar dan tak ingat lagi aktivitas mengurangi makanan para pekerja. Jangankan mengurus, bertanya pun enggan. Aku pun mulai leluasa bekerja dengan jujur; tanpa menerima sogok dan tak mengurangi kerupuk—porsi lauk makanan—para pekerja.
Mulanya aku merasa tak enak karena uang yang kudapatkan jauh melorot dari hari-hari sebelumnya. Itu terjadi karena uang tambahan yang biasa kudapat dari sogok dan pengurangan porsi makan sudah tak ada. Tapi aku merasa bahagia dan damai dengan gaji murni yang memang hakku.
Hari-hari berikutnya aku tak pernah bertemu paman. Beberapa kali kutelpon dia tapi tidak diangkat. Mengirim pesan lewat WA tidak dibalas. Beberapa kali kucari di sekitar pabrik—di tempat biasa ia mangkal dan bertugas—tapi tak pernah kulihat, padahal kucingnya masih ada. Tubuh kucing itu berangsur gemuk kembali, karena aku memberi makanan yang lezat untuknya sebagaimana janjiku dulu.
Suatu pagi aku menyempatkan diri berswafoto dengan kucing paman yang sudah gemuk itu. Gambarnya kukirim ke paman melalui WA dengan satu tanda tanya, “Paman di mana?” Tanpa kuduga, ternyata paman baru membalas kiriman itu.
“Aku memutuskan berhenti dan keluar dari pabrik karena malu pada kucing itu. Kucing itu pasti tahu jika selama ini tingkahku sama seperti tikus.”
Sontak aku terkejut mendengar perkataan paman. Sedang kucing paman mengeong berkali-kali sambil menggesek-gesek lengan seperti mendengar bunyi tikus yang besar.
ilustrasi: lukisan popo iskandar.