Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baru saja mengesahkan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) menjadi UU, menggantikan KUHAP yang lama. Sebab, setelah hampir empat dekade diberlakukan, KUHAP tersebut ini dianggap tidak lagi memadai untuk menjawab tantangan hukum modern, terutama dalam konteks perkembangan teknologi, sistem penegakan hukum, dan kebutuhan perlindungan hak asasi manusia. Kehadiran UU KUHAP yang baru ini bukan sekadar penyempurnaan teknis, tetapi pembaruan filosofis dan prosedural agar peradilan pidana berjalan lebih adil, transparan, dan akuntabel.
Membaca ulang KUHAP baru melalui pendekatan fikih bukanlah pendekatan ahistoris. Sebaliknya, tradisi hukum Islam telah hidup dalam peradaban Nusantara jauh sebelum Indonesia merdeka. Bahkan, sebagian nilai hukum nasional saat ini—mulai dari prinsip keadilan, kehati-hatian hakim, hingga perlindungan terhadap martabat manusia—berakar dari fikih qadha dan jinayat. Di tengah arus globalisasi hukum dan tuntutan modernisasi, diskusi perbandingan mazhab menjadi jembatan penting untuk menakar relevansi hukum Islam dengan hukum positif kontemporer.

Salah satu prinsip fundamental yang hendak ditegaskan dalam KUHAP ini adalah asas presumption of innocence atau praduga tak bersalah. Prinsip ini menegaskan bahwa tersangka tetap harus diperlakukan sebagai orang yang tidak bersalah sampai ada pembuktian sah di pengadilan. Prinsip tersebut selaras dengan standar Hak Asasi Manusia (HAM) internasional dan menjadi koreksi terhadap praktik penyidikan yang selama ini kerap menimbulkan pelanggaran hak tersangka melalui penyalahgunaan kewenangan aparat.
Menariknya, prinsip ini bukan sesuatu yang asing dalam tradisi fikih. Ulama dari berbagai mazhab menegaskan bahwa manusia pada dasarnya memiliki status kemuliaan dan perlindungan (‘ismah) yang tidak boleh dilanggar tanpa bukti yang jelas.
Konsep Ad-Dhimmah Al-Ashliyyah dalam fikih menyatakan: “Al-Ashlu bara’atu dzimmah,” yakni hukum asal seseorang adalah bebas dari tuduhan. Imam Abu Hanifah bahkan lebih tegas: “Jika ada seratus keraguan terhadap hudud, gugurkanlah.”
Pandangan tersebut menjadi gambaran betapa fikih sangat berhati-hati dalam menjatuhkan hukuman karena kesalahan dalam menjatuhkan hukuman lebih berbahaya daripada membebaskan orang bersalah.
