KUHAP Baru dalam Sorotan Fikih Lintas Mazhab

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baru saja mengesahkan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) menjadi UU, menggantikan KUHAP yang lama. Sebab, setelah hampir empat dekade diberlakukan, KUHAP tersebut ini dianggap tidak lagi memadai untuk menjawab tantangan hukum modern, terutama dalam konteks perkembangan teknologi, sistem penegakan hukum, dan kebutuhan perlindungan hak asasi manusia. Kehadiran UU KUHAP yang baru ini bukan sekadar penyempurnaan teknis, tetapi pembaruan filosofis dan prosedural agar peradilan pidana berjalan lebih adil, transparan, dan akuntabel.

Membaca ulang KUHAP baru melalui pendekatan fikih bukanlah pendekatan ahistoris. Sebaliknya, tradisi hukum Islam telah hidup dalam peradaban Nusantara jauh sebelum Indonesia merdeka. Bahkan, sebagian nilai hukum nasional saat ini—mulai dari prinsip keadilan, kehati-hatian hakim, hingga perlindungan terhadap martabat manusia—berakar dari fikih qadha dan jinayat. Di tengah arus globalisasi hukum dan tuntutan modernisasi, diskusi perbandingan mazhab menjadi jembatan penting untuk menakar relevansi hukum Islam dengan hukum positif kontemporer.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Salah satu prinsip fundamental yang hendak ditegaskan dalam KUHAP ini adalah asas presumption of innocence atau praduga tak bersalah. Prinsip ini menegaskan bahwa tersangka tetap harus diperlakukan sebagai orang yang tidak bersalah sampai ada pembuktian sah di pengadilan. Prinsip tersebut selaras dengan standar Hak Asasi Manusia (HAM) internasional dan menjadi koreksi terhadap praktik penyidikan yang selama ini kerap menimbulkan pelanggaran hak tersangka melalui penyalahgunaan kewenangan aparat.

Menariknya, prinsip ini bukan sesuatu yang asing dalam tradisi fikih. Ulama dari berbagai mazhab menegaskan bahwa manusia pada dasarnya memiliki status kemuliaan dan perlindungan (‘ismah) yang tidak boleh dilanggar tanpa bukti yang jelas.

Konsep Ad-Dhimmah Al-Ashliyyah dalam fikih menyatakan: “Al-Ashlu bara’atu dzimmah,” yakni hukum asal seseorang adalah bebas dari tuduhan. Imam Abu Hanifah bahkan lebih tegas: “Jika ada seratus keraguan terhadap hudud, gugurkanlah.”

Pandangan tersebut menjadi gambaran betapa fikih sangat berhati-hati dalam menjatuhkan hukuman karena kesalahan dalam menjatuhkan hukuman lebih berbahaya daripada membebaskan orang bersalah.

Mazhab Syafi’i juga menekankan perlunya bukti yang sangat kuat sebelum hukuman ditegakkan, karena dalam pandangan mereka, kesalahan hakim dalam menghukum adalah bentuk kezaliman yang tidak hanya menyerang individu, tetapi merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum.

Isu lain yang mengemuka dalam KUHAP yang baru ini adalah pengakuan alat bukti modern, termasuk rekaman CCTV, jejak digital, keterangan ahli, hingga bukti forensik. Perkembangan teknologi memang menuntut hukum bergerak lebih responsif agar tidak tertinggal dari pola kejahatan baru. Di sinilah menarik membandingkan perspektif fikih klasik dengan kenyataan hukum kontemporer.

Dalam fikih, alat bukti tradisional terdiri dari syahadah (kesaksian), iqrar (pengakuan), dan yamin (sumpah). Namun, diskursus mengenai qarinah—bukti indikatif atau tidak langsung—membuka ruang ijtihad baru.

Mazhab Maliki dikenal paling progresif karena memberi ruang luas bagi qarinah sebagai alat bukti, terutama dalam kasus yang berkaitan dengan kemaslahatan publik. Sementara itu, Mazhab Syafi’i lebih berhati-hati, terutama dalam perkara hudud, meskipun mereka tetap mengizinkannya dalam wilayah ta’zir ketika otoritas hakim menilai kebutuhan publik memerlukannya. Sedangkan, ulama kontemporer seperti Wahbah Zuhaili dan Yusuf al-Qaradawi bahkan memasukkan sidik jari, hasil laboratorium DNA, hingga rekaman video sebagai bentuk qarinah modern yang dapat diterima melalui qiyas dan maslahah mursalah.

Pada titik ini, revisi KUHAP dapat dipahami sebagai bagian dari siyasah syar’iyyah, yaitu kebijakan pemerintah dalam mengatur urusan publik demi kemaslahatan umum. Imam al-Ghazali mengatakan bahwa tujuan syariat adalah menjaga lima unsur utama kehidupan manusia: agama, jiwa, akal, harta, dan kehormatan. Selama suatu aturan mendukung perlindungan terhadap lima tujuan tersebut, maka ia sejalan dengan maqashid syariah.

Dengan demikian, penyusunan ulang tata cara penyelidikan, penyidikan, dan pembuktian dalam KUHAP dapat dilihat sebagai upaya memenuhi kebutuhan primer masyarakat agar hukum hadir sebagai pelindung, bukan alat penindasan.

Namun demikian, kritik terhadap KUHAP yang baru disahkan ini juga tetap relevan. Beberapa kalangan menilai bahwa aturan baru masih menyisakan celah penyalahgunaan kewenangan dan belum menjamin sepenuhnya perlindungan hak tersangka. Di sinilah publik dan kalangan akademik harus terus mengawal, karena hukum yang baik bukan hanya maju secara konsep, tetapi benar-benar memberi rasa aman kepada rakyat kecil—mereka yang paling rentan berhadapan dengan hukum.

Akhirnya, kajian fikih dan hukum modern menunjukkan satu pesan penting: keadilan bukan sekadar kemampuan menghukum, melainkan kehati-hatian agar tidak ada yang dihukum tanpa hak.

Umar bin Khattab pernah berkata, “Negara bisa tegak meski dipimpin kafir, tetapi tidak akan berdiri bila dipenuhi kezaliman.” Jika demikian, revisi KUHAP bukan hanya kerja teknis legislasi, tetapi ujian moral apakah hukum akan menjadi pelindung martabat manusia atau sekadar bayang-bayang kekuasaan.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan