Listrik mati sejak siang. Ada perbaikan di gardu pusat PLTA, begitu kata tetanggaku yang ngerumpi di depan rumah sehabis maghrib tadi. Suasana lengang pun menyergap kampungku. Tak ada suara dangdut yang menghentak. Tak ada sahut-sahutan suara adzan atau puji-pujian dari corong-corong musala. Apalagi ketika petang telah datang begini. Tak ada kendaraan berseliweran sama sekali. Jangkrik pun sepertinya enggan bernyanyi.
Namun bukan berarti padamnya lampu lantas menghentikan segalanya. Dengan penerangan api unggun, aku menguliti singkong bersama istri di samping rumah. Hawa dingin yang datang di musim kemarau membuatku tak ingin berjauhan dengan api. Bau singkong bakar setengah gosong juga ikut menghangatkan suasana.
Dua anakku telah terlelap di atas kasur semenjak usai jamaah salat isya di ruang tengah tadi. Dan istriku yang belum bisa tidur mengajakku lembur nggaplek, menguliti singkong untuk dijadikan nasi tiwul, atau dijual dalam bentuk gaplek.
Tiba-tiba istriku nyeletuk ketika aku sedang membongkar bara api untuk mengambil singkong bakar.
“Listrik nyala, Mas,” katanya sambil menatap ke ujung jalan. Ada sorot cahaya di sana.
“Itu lampu sepeda Mbah Setu,” timpalku. Aku tengah mengupas kulit singkong bakar yang berhias gosong di sana-sini.
“Mbah Setu? Siapa itu?”
“Yang biasanya bersepeda lewat depan rumah, pagi dan sore itu.” Tanganku meraih segelas kopi yang diseduhnya beberapa saat lalu.
“Oh, itu.”
“Iya,” jawabku sambil mengunyah singkong bakar.
“Mas mau kerja apa makan sih? Mulutnya nggak berhenti dari tadi.”
Kutanggapi sindiran istriku itu dengan deraian tawa.
“Sudah setua itu, bukannya mendekat pada Tuhan, malam-malam begini malah baru pulang. Berangkat pagi pulangnya sore, setiap hari. Seperti tak akan mati saja. Dari mana sih sebenarnya orang tua itu?” Mulut nyinyirnya mulai berulah.
“Tidak tahu,” sahutku.
“Pas musim hujan kemarin dia berteduh di sebelah rumah Kang Karjo. Terdengar adzan isya harusnya ia ke musala, salat sambil menunggu hujan reda, kan enak. Eh, malah tidur di emperan, padahal jarak musala kan dekat dari situ. Hmm. Rumahnya mana sih orang itu Mas?”
Mbah Setu adalah nonfiksi. Ragam manusia dengan keunikannya. Suatu hari, aku bertanya, “Mbah kenapa ko solatnya di bawah pohon? Memangnya Mbah nyembah pohon?”. Mbah Setu menjawab singkat, “Aku tidak menyembah pohon, tapi menyembah yang membuat pohon”. Aku terdiam. Skak!
Wah, sepertinya perlua dikuak sosok mbah setu dg sudut cerita yg berbeda😊😊😀