Lebih dari dua hari, adikku paling bungsu terbaring di ranjang pesakitan. Dan ia sering mengigau, memanggil-manggil ibu. Perasaan cemas pun menghampiri. Dari situlah, aku punya firasat, jika ia akan menyusul ibu ke surga.
Aku pun tidak tahu ia sakit apa, tapi kelihatannya, ia sakit karena kurang makan. Tubuhnya kurus kering. Matanya sayu dan perutnya buncit. Kulitnya tampak kering dan bersisik.
***
Aroma sate dan gule kambing menyusup ke hidungku saat aku berjalan melewati sebuah warung sate. Sementara perutku ingin segera dibungkam. Tapi lagi-lagi, aku tidak punya uang untuk membeli sebungkus nasi. Bahkan aku tidak bisa meyerahkan apa pun, jika harus makan tanpa membayar.
Aku melihat beberapa orang duduk melingkar dengan hidangan lengkap. Sate, gule, acar dan beberapa menu yang lain, termasuk minuman segar. Aku membayangkan jika minuman itu membasahi tenggorokanku, pastinya akan nikmat dan itu sangat membahagiakan. Bagi orang yang sedang bercengkrama dengan perut lapar, salah satu penderitaan yang paling mungkin adalah melihat orang-orang begitu lahap menyantap hidangan yang ada di hadapannya. Tentu saja, aku menderita melihatnya. Orang-orang itu juga menghina orang-orang yang sedang kelaparan sepertiku. Jika makanan itu tidak habis kemudian dibuang ke tempat sampah, betapa sakitnya orang-orang miskin yang kelaparan sepertiku.
Aku teringat mendiang ibu yang mengatakan, jika kamu lapar dan tidak ada yang bisa kamu makan, maka berpuasalah.
Maka orang-orang itu perlu berpuasa, pikirku. Ketika puasa, maka, mereka akan lapar, kemudian akan menghormati makanan dan bisa merasakan penderitaan orang-orang miskin yang tidak bisa makan.
Aku duduk di sebuah pagar jalan, menanti orang-orang selesai makan. Suara bising kendaraan terdengar seperti suara ribuan nyamuk. Dengan sabar, dengan perut lapar, aku menunggu mereka selesai makan, karena aku tahu, masih banyak makanan yang belum mereka santap dan bisa dipastikan, jika makanan-makanan itu pasti tak akan habis oleh lambung mereka.