Saat banyak daerah di Indonesia masih bergulat dengan isu intoleransi dan polarisasi sosial, sebuah desa di Sulawesi Tenggara justru menawarkan kisah sebaliknya. Desa Lapoa, hasil program transmigrasi sejak 1976, menjadi contoh nyata bahwa perbedaan agama dan budaya bisa tumbuh menjadi kekuatan sosial, bukan sumber perpecahan.
Berawal dari program transmigrasi yang mendatangkan 500 kepala keluarga asal Sunda, Jawa, dan Bali, Lapoa kini menjelma menjadi ruang hidup inklusif di mana Muslim, Hindu, Budha, dan Kristen Katolik maupun Protestan hidup berdampingan tanpa sekat. Di tengah hamparan sawah dan perkebunan kelapa hibrida, masyarakat Lapoa membuktikan bahwa harmoni sosial bukan warisan, melainkan hasil kerja bersama.

“Dulu kami datang ke sini hanya untuk bertahan hidup. Sekarang kami hidup berdampingan tanpa sekat,” ujar Dedi Iskandar, Kepala Desa Lapoa, anak dari transmigran asal Tasikmalaya yang diwawancarai Tim Ekspedisi Patriot (TEP) 15 Universitas Indonesia (UI) di kediamannya, dalam keterangan yang diterima Humas UI pada Selasa, (28/20/2025).

Kehidupan sosial di Lapoa tumbuh dari nilai gotong royong dan kepemimpinan yang inklusif. Prinsip itu bukan sekadar slogan, tetapi benar-benar hidup dalam keseharian warganya. Darto, tokoh masyarakat asal Cilacap yang datang sebagai transmigran spontan, mengenang masa-masa awal ketika perjuangan dan kebersamaan menjadi satu-satunya modal bertahan.
“Dulu mungkin bisa dibilang kami menderita sekali. Sulit mencari air untuk minum, membuka lahan pun masih manual (belum ada traktor). Meskipun banyak masyarakat yang ikut transmigrasi ini hanya setengahnya mungkin yang menempuh pendidikan sampai SMA, tapi semua ulet dan telaten. Kami gotong royong untuk buka lahan,” kenang Darto.
Ia melanjutkan kisahnya dengan nada bangga. Menurutnya, masyarakat Lapoa beruntung karena sejak awal sudah terdiri dari berbagai latar belakang. Para saudara dari Bali, misalnya, membawa keahlian dalam sistem irigasi yang kemudian mengubah lahan lereng menjadi terasering produktif. Dari situ, semangat kolaborasi lintas budaya tumbuh alami.
“Dulu kami belum kenal uang, semua orang menanam, jadi kami barter hasil kebun dengan ikan atau kebutuhan lain. Tapi masyarakat kompak, semua saling bantu. Kalau ada masalah, semua tokoh agama saya kumpulkan. Itu kuncinya,” ujarnya.
Nilai-nilai sederhana seperti saling menolong dan berbagi pengetahuan teknis itulah yang akhirnya menjadi fondasi kuat harmoni sosial di Lapoa hingga kini — menjadikan desa ini bukan hanya tempat tinggal, tapi juga ruang belajar tentang makna kebersamaan.
Kisah seperti yang diceritakan Darto bukanlah pengecualian, melainkan cerminan semangat yang hidup di seluruh Lapoa. Di desa ini, perbedaan latar belakang justru menjadi kekayaan yang saling melengkapi. Masing-masing kelompok membawa keahlian dan tradisi mereka sendiri — ada yang ahli bertani padi, ada yang menguasai teknik irigasi, ada pula yang menjaga kearifan budaya dalam upacara dan adat.
Salah satu sosok yang kerap disebut warga sebagai simbol keterbukaan adalah Pak Gede, transmigran asal Bali yang kini sudah menetap lebih dari empat dekade. Kehadirannya tidak hanya memperkaya ragam budaya di Lapoa, tetapi juga memperlihatkan bagaimana keyakinan dan perbedaan bisa berjalan berdampingan tanpa saling meniadakan.
“Anak saya ada yang jadi mualaf dan baru pulang umrah. Nggak masalah. Yang penting dia bertanggung jawab dan menjalankan ajaran agamanya dengan baik,” ujarnya dengan senyum tenang.
Bagi Pak Gede, toleransi bukanlah teori yang dipelajari dari buku atau ceramah, melainkan laku hidup sehari-hari. Di Lapoa, perbedaan bukan sumber jarak, melainkan jembatan yang menghubungkan manusia satu sama lain.
Lapoa kini tak hanya dikenal sebagai desa produktif dalam sektor pertanian, tapi juga sebagai model harmoni sosial lintas iman. Pada 2017, pemerintah daerah bahkan menjadikan Lapoa sebagai desa percontohan Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB), sebuah pengakuan atas kuatnya kohesi sosial masyarakatnya.
Di tengah meningkatnya polarisasi identitas di Indonesia — sebagaimana dilaporkan oleh Setara Institute dalam survei 2023 — kisah Lapoa menjadi napas segar yang menunjukkan bahwa keberagaman bisa dikelola, bahkan dirayakan.
Fenomena itulah yang dipotret Tim 15 Ekspedisi Patriot Universitas Indonesia yang sejak September hingga Desember 2025 nanti melakukan penelitian di daerah eks transmigrasi di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Program Ekspedisi Patriot sendiri merupakan kolaborasi antara Universitas Indonesia dan Kementerian Transmigrasi, dengan misi mengembangkan model pemberdayaan masyarakat, memperkuat kohesi sosial, dan menempatkan ilmu pengetahuan sebagai bagian dari solusi sosial.
Bagi Dian Sulistyowati, Ketua Tim 15 Ekspedisi Patriot UI, Lapoa bukan sekadar lokasi riset, tapi cermin kecil dari makna Indonesia itu sendiri. Desa ini menunjukkan bahwa integrasi nasional tak lahir dari kebijakan besar, melainkan dari hal-hal sederhana: berbagi air, membuka pintu, dan saling percaya. Di Lapoa, kebijakan publik menemukan bentuk paling manusiawinya — ketika pembangunan bukan hanya menciptakan kesejahteraan, tapi juga menumbuhkan kemanusiaan.
