—Catatan pengantar Semaan Puisi dan Haul Sastrawan 2025.
Bismillah. Saudara-saudara sekalian!

Para penyair, budayawan, mahasiswa, dan yang paling penting, para manusia yang mencoba melarikan diri dari media sosial!

Saya, Angin Kamajaya, saat itu, dua tahun lalu sedang terlunta, diajak mengobrol oleh para aktivis kedai kopi yang berkumpul di Adakopi Original. Ada Mahwi Air Tawar, Beni Satria, Eka Gilang, Triwiyono Susilo, dan satu mahasiswi bernama Elis Susilawati, murid Rosida Erowati, yang sedang magang editing kepada Mahwi Air Tawar. Menyusul kemudian Andy Lesmana dari Malam Puisi Tangerang, Alfiansyah, dan Syibran.
Inti obrolan itu kira-kira begini: dulu, para wartawan dan sastrawan lari dari kebusukan politik dan ancaman Orde Baru. Sekarang? Rupanya generasi kami dan generasi baru ingin lari dari benda kotak bernama gadget dan penyakit ‘gila jempol’ di media sosial.
Lucu, ya.
Coba bayangkan. Sekelompok anak muda, dipimpin oleh seorang penyair bernama Mahwi Air Tawar—yang katanya anak NU Madura, jadi jelas hobinya Tahlil—duduk setiap malam Jumat di kedai kopi. Apa yang kami lakukan? Kami mencoba melarikan diri dari kebisingan duniawi, dari penjajahan gadget dan media sosial. Kami membuat acara yang kami namai Semaan Puisi.
Jurus Melarikan Diri yang Aneh
Semaan Puisi ini, Saudara-saudara, adalah gerakan pemberontakan batin yang disamarkan sebagai acara kumpul-kumpul di kedai kopi.
Tujuannya sederhana: melatih diri dan melarikan diri dari kebisingan duniawi—terutama dari penjajahan gadget dan media sosial yang sudah menyandera hari-hari kita.
Cara melarikan diri kami ini mungkin akan membuat para arwah sastrawan tergelitik. Kalau mau lari dari gadget, kenapa tidak memancing ikan saja? Kenapa tidak berenang?
Tapi kami memilih cara yang paling sulit, dengan membuat struktur Semaan Puisi itu begini: Baca Tahlil (Jelas, ini tradisionalis sejati); Baca Biografi Penyair. (Ini gali kubur masa lalu); Nikmati Puisi (Ini meditasi yang elegan). Ngobrol sampai jenuh, sambil menjauhkan gadget (Ini baru revolusioner sejati!).
Lha, coba dipikir. Melarikan diri dari kekinian media sosial, kok, malah masuk ke dalam kekunoan dengan membaca biografi orang mati? Ini bukan sekadar lari. Ini namanya perjalanan batin yang disamarkan sebagai kegiatan kumpul-kumpul.
Kami, Semaan Puisi, adalah sekelompok manusia yang—jujur saja—jenuh pada kebisingan. Kami jenuh pada teriakan media sosial yang hanya menghasilkan drama dan kepalsuan.
Maka, kami putuskan untuk melarikan diri. Kami melarikan diri bukan dengan naik gunung atau masuk goa, tetapi dengan cara yang paling nyentrik dan keras: Membaca Puisi sampai Jenuh!
Dengan kami menjauhkan diri dan coba mematikan gadget, setidaknya, ternyata kami bisa mengurangi emisi panas dan limbah. Ketika kami kembali ke puisi di kertas, kami kembali pada cara berpikir yang tenang, reflektif, dan tidak boros energi; hanya butuh kopi. Kertas itu bisa didaur ulang, akal sehat itu tidak bisa! Ini adalah cara paling realistis untuk menjadi bagian dari go green: dengan mematikan kebisingan digital!
Tapi, coba kita pikir lebih jauh! Apa hasil dari ‘gila jempol’ di gadget itu? Panas! Radiasi! Limbah elektronik! Maka, Semaan Puisi yang awalnya adalah gerakan pemberontakan batin, ternyata setidaknya bisa juga menjadi gerakan realistis untuk lingkungan!
Kami sudah jelaskan, kami adalah gerakan pemberontakan batin yang melarikan diri dari penjajahan gadget dan media sosial. Kami melatih diri untuk berpikir dalam melalui Studi Biografi dan Puisi.
Kami sadar, Saudara-saudara. Kami sadar bahwa kita tidak bisa menjadi manusia Indonesia yang hidup—yang berpikir dengan kepala sendiri—kalau kita terputus dari kisah hidup orang terdahulu. Para tuan-tuan akademik, si Wellek dan Warren, bilang kalau biografi itu penting untuk memahami latar belakang sosial dan psikologis seorang penulis, dan bagaimana itu memengaruhi karya sastranya. Itu kalau bahasa akademiknya.
Kalau bahasa jalanannya, kita butuh cerita orang sukses agar kita tidak merasa paling sengsara di dunia. Biografi itu seperti jembatan yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini dan masa depan.
Konsistensi dan Bukti Konkret
Kami telah membuktikan bahwa mengobrol di kedai kopi itu lebih penting daripada berkomentar (komen) di media sosial. Awalnya, kami cuma berjanji untuk konsisten sampai 12 episode, semacam uji coba ketahanan diri. Saya kira, sama seperti janji-janji politik, ini akan menguap di episode ketiga. Ternyata tidak. Kami berhasil konsisten sampai 100 episode.
Semaan Puisi ini bukan sekadar ajang baca-baca puisi. Ini adalah proses melatih diri yang menghasilkan konsistensi. Bayangkan! Kami sudah mencapai 100 episode! Itu artinya, ada 100 malam Jumat yang kami korbankan untuk mencari makna, sambil menjauhkan benda laknat itu dari badan.
Bayangkan, Saudara-saudara! Kami sudah mencapai 100 episode! 92 di antaranya adalah ‘gali kubur’ membaca nasib orang mati—membaca biografi dan karya para sastrawan yang sudah almarhum dan almarhumah, dan 8 sisanya menyentil yang masih hidup dan sehat. Kami ber-tahlil literasi! Itu semua demi satu tujuan: melatih diri untuk berpikir dalam, bukan mengklik cepat.
Kami percaya, seperti kata para tuan-tuan akademis, bahwa biografi itu adalah kunci. Dengan membaca kisah hidup orang mati, kami bisa mendapatkan wawasan mendalam tentang sejarah, budaya, dan nilai-nilai. Kami mencari jembatan yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini.
Kami telah membuktikannya selama 100 episode! Kami menjauhkan gadget dari badan, lalu kami fokus pada proses dengan membaca puisi dan studi biografi. Ini bukan main-main. 100 episode itu adalah bukti konsistensi, bukti istikamah, bahwa lari dari gadget bisa menghasilkan sesuatu yang konkret, sesuatu yang disebut: Karya dan Kesadaran. Kami bukan sekadar komunitas, kami adalah Pemberontakan Batin melawan penjajahan digital.
Ini bukti, Saudara-saudara! Bukti bahwa proses melatih diri itu bisa menghasilkan karya konkret. Bahwa lari dari media sosial itu, kalau dilakukan dengan istikamah, malah bisa menemukan jalan kreatif masing-masing.
Kami, saya khususnya yang menuliskan biografi setiap episode, sudah membukukan hasil “gali kubur” biografi itu menjadi buku berjudul Jejak dan Karya 13 Sastrawan Dunia di tahun pertama. Teman-teman yang lain, juga menjadi produktif dan kualitasnya meningkat. Beni Satria misalnya, puisinya menembus media besar Indonesia dan membukukan puisi-puisinya.
Kami ini mungkin sebenarnya sedang melakukan semacam Gerakan Literasi Anti-Gadget. Tujuan kami memang bukan hanya untuk menerbitkan buku, tapi yang paling penting, tumbuh dan berkembang, sekalipun tidak pesat.
Ah, sudah. Begitulah.
Haul Sastrawan 2025: Gali Kubur Mencari Jembatan
Apakah Saudara tahu kenapa kami sering-sering membaca biografi? Sebab, biografi itu adalah kunci!
Dulu, para penulis itu sibuk mencari identitas di tengah badai ideologi. Sekarang, sebagian kita malah sibuk mencari jati diri di tengah badai viral. Studi biografi adalah jembatan yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini. Kita butuh tahu siapa Sutan Takdir Alisjahbana, siapa Sanusi Pane, siapa Ajip Rosidi, siapa H.B. Jassin, dan kenapa Hamzah Fansuri menulis seperti itu.
Biografi itu bukan sekadar catatan hidup, tapi warisan yang memberi inspirasi dan pemahaman.
Maka dari itu, kami kali ini melangsungkan Haul Sastrawan 2025, untuk mengenang kembali perjalanan 12 Sastrawan Agung yang biografinya pernah kami pelajari. Semoga kita tersadarkan, bahwa masalah kita itu tidak ada apa-apanya dibandingkan pergulatan batin mereka menghadapi zaman.
Kami tahu, kita semua hari ini terombang-ambing. Kita tidak tahu harus ikut siapa. Kita lupa asal-usul dan riwayat kita.
Kami membaca biografi karena kami sadar, kami tidak akan bisa memahami puisi tanpa memahami penyairnya. Biografi adalah kunci yang membuka gembok pemahaman. Itu adalah jembatan yang menghubungkan kegelisahan hari ini dengan jawaban yang ditemukan di masa lalu. Kami melatih diri untuk berpikir mendalam, bukan sekadar mengklik cepat.
Haul Sastrawan yang kami gelar ini, Saudara-saudara, bukanlah acara duka cita biasa. Ini adalah Tahlil Akbar untuk para Pendekar Pena yang telah menjaga akal sehat negeri ini.
Kami hauli 12 nama besar, dari Amir Hamzah yang mistik, Sanusi Pane yang filosofis, Chairil Anwar yang ugal-ugalan, Sutan Takdir yang modernis, sampai Rendra yang nyentrik dan teatrikal. Kami melakukan ini untuk mempertahankan warisan budaya, agar kita tidak lupa pada orang-orang yang telah mempertaruhkan nyawa dan pena demi kemerdekaan jiwa bangsa ini.
Asrul Sani adalah Kunci
Nah, sekarang kita masuk ke acara intinya: Haul 12 Pendekar Pena.
Kita hauli mereka semua—Hamzah Fansuri, Chairil Anwar, Rendra, Amir Hamzah, Sitor Situmorang, Sapardi Djoko Damono, Ajip Rosidi, Sutan Takdir Alisjahbana, H.B Jassin, Sanusi Pane, Rivai Apin, dan Asrul Sani. Tapi izinkan saya mengatakan satu hal: di antara 12 nama besar itu, Asrul Sani adalah Kunci Utama untuk memahami warisan kita hari ini.
Kenapa Asrul Sani, si Pendekar Kamera dan Pena?
Sebab, beliau adalah Sang Keseimbangan! Beliau adalah kunci untuk menemukan keseimbangan di tengah segala ekstrem.
Dulu, beliau berjuang menemukan ruh iman di tengah politik dan film (layar perak).
Hari ini, kami butuh kunci beliau untuk menemukan ruh keseimbangan di tengah lautan konten boros energi di layar digital.
Di zaman di mana ideologi seperti gembok baja, Asrul Sani adalah kunci yang berhasil membuka paksa semua gembok itu.
Di tengah pertarungan ideologi yang dulu bikin kuping pekak—antara Barat dan Timur, antara Politik dan Iman, antara Sekuler dan Dogmatis—Asrul Sani datang bukan untuk memilih salah satu.
Dia datang membawa Kunci Keseimbangan.
Dia bilang, kita ini ahli waris kebudayaan dunia. Ambil semua, jangan takut, tapi tetaplah jadi Indonesia.
Dia bilang, Iman itu bukan penjara, tapi sumber kebebasan dan kreativitas lewat Lesbumi.
Mas Asrul mengajarkan pada kami: moderasi bukan berarti pengecut yang diam di tengah, tetapi seniman sejati yang berani menciptakan sintesis. Dia menunjukkan bahwa agama itu bukan untuk dipisahkan dari seni, tetapi harus menjadi “bentuk batin kesatuan kebudayaan”. Bahwa kebudayaan yang sejati adalah keseimbangan antara Tuhan dan Manusia.
Asrul Sani mengajarkan, entah itu di kertas puisi atau di layar film: karya harus punya fondasi iman dan tanggung jawab moral.
Sekarang, kita harus bicara soal film.
Asrul Sani ini, Saudara-saudara, bukan cuma jago merangkai kata di kertas, tetapi juga jago merangkai gambar di layar perak. Beliau adalah sineas, yang menerjemahkan batin bangsa ke layar perak! Beliau ini kunci dalam sejarah film kita.
Lalu, apa kaitannya dengan hari ini?
Hari ini, kita semua menikmati hasilnya. Film dan video itu bukan lagi barang mewah dan asing. Kalian bisa menonton di mana saja, kapan saja, di layar gadget yang kami coba larikan itu!
Namun, di situ pula cacatnya!
Dulu, Asrul Sani lewat Lesbumi melawan Lekra yang menjadikan seni sebagai alat politik. Asrul melawan pemikiran bahwa seni itu harus kehilangan ruh iman.
Sekarang? Film, video, dan semua konten di layar digital itu seringkali berubah menjadi alat dangkal: alat untuk viral, alat untuk mencari sensasi, alat untuk menghilangkan akal sehat. Ruh kebudayaan yang dulu diperjuangkan Mas Asrul, kini tenggelam di lautan konten yang memabukkan!
Saudara-saudara, Haul ini bukan sekadar mengenang, tetapi menggunakan kunci yang sudah ditinggalkan para Pendekar Pena. Asrul Sani meninggalkan kunci untuk melawan ekstremisme baru—entah itu radikalisme agama, radikalisme politik, atau bahkan radikalisme media sosial—dengan Keseimbangan Kebudayaan.
Maka, hadirin sekalian!
Kami menyindir, kami berhumor, kami melawan kekakuan. Dan kami mengajak kalian semua untuk menggunakan kunci Asrul Sani!
Gunakan kunci itu untuk:
Membuka gembok di kepala dari segala fanatisme dan ekstremisme digital.
Membuka ruang dialog antara iman dan akal yang sering bertengkar.
Mari kita teruskan semangat para Pendekar Pena ini. Jangan sampai Indonesia kehabisan manusia yang berani berpikir dengan kepala sendiri dan berani menulis dengan hati nurani.
Maka dari itu, saya tegaskan lagi: Asrul Sani adalah Kunci!
Dia adalah kunci untuk menemukan keseimbangan di layar digital kita hari ini.
Dia mengajarkan bahwa karya (film, video, atau tulisan) harus punya fondasi iman dan tanggung jawab moral, bukan sekadar keterkenalan.
Dia mengajarkan bahwa kita harus menemukan simpul dua tali—antara Tuhan dan Manusia—agar karya kita tidak tercerabut dari martabatnya.
Jadi, para pembuat konten, para penikmat film! Jangan jadikan gadget kalian sebagai alat untuk lari dari akal sehat. Jadikan ia sebagai panggung baru untuk menanamkan ruh kebudayaan yang seimbang, yang dulu diperjuangkan oleh Pendekar Kamera dan Pena seperti Asrul Sani!
Mari kita gunakan kunci ini untuk menciptakan karya yang berani, jenius, dan bermoral.
Asrul Sani bukan hanya sastrawan, tetapi juga sineas dan penerjemah sastra dunia. Beliau adalah kunci bagi perkembangan film kita. Warisannya ini penting, sebab hari ini, film dan video bukan lagi barang asing, tetapi sudah ada di gadget kita masing-masing.
Masalah kita hari ini sama dengan masalah Mas Asrul dulu: karya (film/video/konten) sering kehilangan ruh dan menjadi dangkal.
Maka, pesan kami jelas: Gunakan Kunci Asrul Sani! Terapkan Keseimbangan Kebudayaan dalam setiap layar yang kalian tonton dan setiap kata yang kita tulis. Keseimbangan itu ada di sana: keseimbangan antara iman dan kebebasan, antara Tuhan dan Manusia. Itulah cara kita melawan kebisingan zaman ini.
Keseimbangan Antara Kertas dan Layar
Jadi, Saudara-saudara sekalian!
Kami mengajak kalian semua! Jangan hanya meneriakkan go-green di media sosial, tetapi praktikkan! Matikan gadget, ambil kertas puisi, dan mulailah melatih diri.
Gunakan Kunci Asrul Sani untuk menjaga keseimbangan kita:
Keseimbangan antara kebebasan batin dan tanggung jawab spiritual.
Keseimbangan antara teknologi yang efisien dan lingkungan yang sehat.
Kertas itu bisa kuning dan lapuk, tapi roh dan akal sehat yang kalian tanamkan saat membaca puisi itu akan kekal.
Sekian dari kami. Dan sekali lagi: Mari kita matikan gadget kita sekarang juga, demi akal sehat dan lingkungan yang lebih hijau!
Sekian. Mari kita teruskan Haul ini. Dan saya harap, setelah ini, jangan ada lagi konten yang hanya mengejar viewers tanpa visi!
Selamat ber-Haul! Selamat ber-Semaan! Dan yang paling penting: Mari kita matikan gadget kita sekarang juga!
Selamat ber-Haul! Selamat ber-Semaan!
Semoga kita semua kembali ke rumah dengan jiwa yang lebih jernih dan tanpa tergoda untuk scroll media sosial!
Kami berharap, kehadiran Semaan Puisi sebagai tempat melarikan diri dari kebisingan, semoga tidak menciptakan kebisingan baru.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Demikian. Sekian. Terima kasih.
CAG!
Aku Cinta Padamu.
*Artikel ini merupakan bagian dari buku acara Semaan Puisi dan Haul Sastrawan 2025 yang dilaksanakan di Makara Art Center Universitas Indonesia, Selasa (18/10/2025). Berisi enam tulisan yang juga diterbitkan di laman duniasantri.co secara bersambungan. Keenam naskah dalam buku ini adalah “Asrul Sani: Jalan Wasatiah Kebudayaan Indonesia” oleh Jamal D. Rahman; “Surat Semaan Puisi: dari Gelanggang ke Adakopi” oleh Mahwi Air Tawar; “Semaan Puisi: Melarikan dari Media Sosial, Kok Malah Ngurusi Mayat Penyair?” oleh Angin Kamajaya; “Lesbumi dan Revitalisasi Seni Budaya Pesantren” oleh Ngatawi Al-Zastrouw; “Kreator Jalan Ketiga yang Terlupakan: Refleksi Identitas Intelektual Asrul Sani” oleh Andy Lesmana; dan “Yang Mengusik Takdir” oleh Mukhlisin Ashar.
