Suhu udara di dalam bus panas sekali. Bau keringat para penumpang yang kepanasan menguap memenuhi ruangan kabin yang terasa sempit. Aku pun terus berkipas dengan ujung jilbab. Tak peduli apakah bau keringatku ikut berpartisipasi menambah polusi udara ataukah tidak. Bus terus berlari meninggalkan pusat kota Malang. Pikiranku lantas berselancar, menembus ruang-ruang waktu. Dan tanpa kusadari ternyata ada seseorang yang sedang memperhatikanku. Lelaki itu tengah berdiri di antara tempat duduk dan berdesak-desakan dengan penumpang lainnya. Penumpang bus memang sedang penuh sesak. Aku segera menghentikan kesibukanku berkipas dengan ujung jilbab.
Lelaki bermasker itu pura-pura tak memperhatikanku ketika aku memandangnya. Entah apakah aku yang terlalu gampang rumongso ataukah dia memang benar-benar mengamatiku. Walaupun lelaki itu sudah mengalihkan pandangannya, namun pikiranku masih berkutat pada lelaki yang sedang menggendong tas besar itu. Tingkahnya begitu membuatku risih. Ketika telah mengalihkan pandangannya, aku gantian mengamati dan berusaha untuk mengenalinya. Tapi sekuat apa pun aku memeras otak tetap saja orang itu tak mampu aku kenali.
Hatiku tak berhenti membisikkan salawat untuk menghalau rasa khawatir. Kupejamkan mata untuk mengurai kegelisahan. Dan perlahan-lahan aku merasa tenang ketika ada angin sepoi-sepoi yang menerobos dari jendela membelai wajahku dengan kelembutannya.
“Boleh aku duduk di sini?” ucap lelaki itu tiba-tiba. Seketika jantungku berdegup kencang. Ternyata aku telah tertidur dan tak menyadari waktu telah berlalu beberapa saat lamanya. Beberapa penumpang telah turun. Dan ada beberapa kursi yang kosong. Lelaki itu kemudian duduk di sebelahku ketika aku telah mempersilakannya. Aku tak punya alasan untuk melarang lelaki itu duduk di sebelahku. Aku langsung meningkatkan kewaspadaan. Mataku yang sedang terserang kantuk kupaksa untuk terus terjaga. Akan tetapi udara yang menerobos masuk lewat celah-celah jendela lagi-lagi membuatku terkantuk-kantuk kembali.
Tiba-tiba bus bergerak pelan dan tersendat-sendat di sebuah tanjakan. Perasaanku tidak enak. Detik berikutnya bus tua bermuatan puluhan orang ini berhenti. Para penumpang berteriak histeris karena bus yang tengah berada di tanjakan ini berjalan mundur hingga beberapa meter. Untung saja rem masih berfungsi. Namun aku telanjur kaget. Dadaku telanjur berdebar-debar. Kami semua turun. Seorang lelaki setengah baya nampak bergegas mencari batu untuk mengganjal bus dari belakang. Kulihat sopir dan kernet menatap bingung ke arah bus yang mereka kendarai. Umpatan-umpatan kecil keluar dari mulut-mulut yang tengah dikuasai rasa panik. Aku tak sepenuhnya menyalahkan umpatan mereka. Aku pun tengah merasa sebal. Keinginan buang air kecil juga semakin membuatku merasa pusing.
“Maaf Bu, apa ada masjid di sekitar sini ya?” tanyaku pada seorang perempuan yang membawa tas kecil entah berisi apa.
“Agak jauh Mbak seingat saya. Belum salat dhuhur?” jawabnya dengan raut wajah lelah. Wajahnya dihiasi minyak yang membuat mukanya berkilat-kilat.
“Sudah kok. Mau ke belakang aja kok Bu, hehe,” aku menimpali malu-malu.
“Oh. Di dekat sini ada sumur warga Mbak. Lewat jalan kecil itu,” jelasnya sambil menunjuk ke arah jalan kecil tidak jauh dari kami berhenti.
Kulihat di kanan-kiri jalan setapak itu pepohonan tumbuh dengan rindang. Aku bimbang apakah harus ke sana atau harus menunggu bus selesai diperbaiki. Malangnya sampai beberapa lama sopir dan kernetnya itu masih belum juga bisa mengubah keadaan. Bus yang memang sudah tampak tua itu masih teronggok tak berdaya di pinggir jalan. Entah ada kerusakan apa. Terlihat olehku sang sopir menelepon seseorang untuk minta bantuan. Hatiku makin semrawut karena tanda-tanda bus segera baik kembali masih belum terlihat. Waktu terus berjalan dan kantung kemihku terasa semakin penuh.
“Kayaknya masih lama bus akan selesai diperbaiki Mbak. Itu orang bengkelnya masih ditelepon,” celetuk perempuan tadi.
“O nggih Bu,” jawabku. “Nanti kalau mau jalan sopirnya suruh nunggu saya ya Bu. Saya mau ke sumur dulu, bentar kok,”
“Aku juga mau ke sana Mbak, kebelet pipis,” bisiknya sambil menutup mulut. ”Mari ikuti saya Mbak. Percayalah bus tua itu masih akan lama pingsan di sini,” dia berseloroh. Aku lantas berjalan mengikuti di belakangnya.
Beberapa saat kemudian kami melangkah dengan cepat menuju sumur melalui jalan setapak. Ponon mahoni dan tumbuhan perdu mengelilingi jalan kecil yang tampak sepi. Suara kendaraan lewat terdengar samar-samar dari sini. Perempuan itu berada di depanku berjalan cepat. Aku mencoba menenangkan diri.
“Rumahmu mana Mbak?” tanyanya memecah sunyi.
“Blitar Bu,” aku menjawab singkat tanpa menimpalinya dengan pertanyaan serupa.
“O Blitar, iya-iya. Terus ini tadi kamu dari mana Mbak?”
“Baru pulang dari pondok, Bu,” lagi-lagi aku menjawabnya singkat. Aku merasa capai sekali.
“O anak pondok ya. Kok sudah mau pulang apa karena ada virus Corona itu?” tanyanya lagi.
“Iya Bu. Kiaiku meliburkan pondok lebih awal.”
“Hati-hati Mbak, jalannya licin. Pegang tanganku biar tidak kepleset!” serunya. Jalan setapak yang kami lewati memang becek berlumpur. Aku nurut memegang tangannya.
Tak berapa lama kemudian turun gerimis dan jalan semakin licin. Suasana hatiku bertambah keruh. Namun kemudian aku merasa perjalananku tidak sia-sia ketika melihat di kejauhan ada tempat mandi umum. Langkahku semakin cepat. Dan benar, sumur yang telah dilengkapi dengan bak mandi itu ternyata memang benar-benar ada. Airnya sangat jernih.
“Kamu ke sumur duluan Mbak, bawaannya biar saya jaga,” tukasnya. HP dan arlojiku kutaruh juga di tas itu.
“Iya Bu, makasih banyak, Bu,” ucapku sambil bergegas menuju sumur. Setelah buang air dan berwudhu aku cepat-cepat keluar, takut ketinggalan bus. Kuhirup kesejukan yang disajikan oleh alam sekitar. Tidak jauh dari sumur ada sungai yang mengalir cukup deras. Setelah beberapa kejap aku menikmati pemandangan sekitar aku kembali meneruskan langkah menuju jalan raya.
Detik berikutnya aku ingat sesuatu. Tasku tadi di mana? Di mana perempuan tadi? Aku benar-benar terkejut. Jantungku terasa berlarian. Rasa marah dan takut menyala di ubun-ubun. Dan tubuhku tiba-tiba terasa lemas. Di dalam tas itu ada kitab, laptop, HP, serta arloji bahkan uang juga ada di dalamnya. Ke mana perginya perempuan itu? Aku semakin panik. Setelah kuedarkan pandangan mataku ke segala arah aku akhirnya melihatnya di kejauhan. Dia sudah berada di kejauhan melewati pematang-pematang sawah di seberang sungai.
“Tasmu dibawa perempuan itu?” tiba-tiba ada suara lelaki tidak jauh dariku. Aku semakin terkejut kala melihat ternyata dia adalah lelaki bermasker yang duduk di sampingku tadi. Tubuhku mulai gemetar ketakutan.
“Hei Mbak. Kau dengar suaraku?” tanyanya lagi.
“Apa?”
“Perempuan itu mengambil tasmu?”
Aku mengangguk. Dia lantas menyusuri pematang sawah yang dilalui perempuan itu. “Mau ke mana?” tanyaku tak paham. Apakah mereka bekerja sama?
“Kamu masih ingin tas itu kembali?” dia bertanya sambil berjalan. Aku mengikutinya ragu-ragu.
“Iya!” teriakku. Lelaki itu sudah berada agak jauh di depanku.
“Kamu tunggu di sini saja biar aku ambilkan!” teriaknya. Dia mau mengambilkan tasku? Benarkah pendengaran telingaku? Zaman seperti ini jumlah orang baik semakin sedikit. Kalaupun ada pasti ada maunya. Akhirnya aku melanjutkan jalan kaki mengikuti mereka. Lelaki itu sudah tidak tampak karena langkahnya sangat cepat. Tenagaku pun sudah mulai habis. Dan batinku menangis. Tas berisi barang-barang berharga itu semakin jauh dariku. Terbayang jelas di benakku bagaimana raut sedih kedua orang tuaku akan mendengar musibah ini.
Aku berhenti di sebuah gubuk di tengah sawah. Tangisku pecah di antara gemericik air pancuran sawah dan tetesan gerimis. Tak kukira pulang kampung yang kuharap-harapkan kedatangannya ini ternyata akan begini ceritanya. Semalam aku berpikir tidak disibukkan dengan aktivitas pondok serta kesibukan kuliah akan memberiku kebahagiaan, ternyata di tengah jalan ada musibah begini rupa. Selain itu laptop yang belum lama kubeli itu didapatkan dengan perjuangan penuh keringat ayahku. Hasil panenan singkong serta jagung habis untuk membeli laptop itu. Mengingat semua perjuangan keras ayahku itu tangisku semakin menjadi-jadi.
Aku terus meratapi diri di dalam gubuk hingga beberapa saat lamanya, tak tahu harus berbuat apa. Isakan tangisku baru terhenti ketika ada suara langkah kaki yang mendekat ke gubuk. Degup jantungku kembali berulah. Melalui lubang-lubang dinding bambu aku mengintai siapa yang datang. Ternyata lelaki itu. Ada tasku di gendongan pundaknya. Tubuhku kembali terasa lemas karena menahan rasa takut. Mungkin dia juga mau berbuat jahat padaku.
“Mbak!” panggilnya. Aku semakin ketakutan.
“Mbak! Kamu masih di sini kan?” teriaknya. Dia berjalan mendekat ke gubuk. Aku bersembunyi di bawah amben.
“Mbak nggak usah takut. Aku tidak berniat jahat padamu. Ini tasnya sudah aku kembalikan. Aku taruh di amben ya,” ucapnya pelan.
“Di mana perempuan jahat itu?” aku memberanikan diri bertanya.
“Melihatku hampir bisa menangkapnya dia meletakkan tas itu dan lantas berlari melewati jalan tikus. Aku tidak mengejarnya karena takut dia menjebakku. Aku ambil tasmu. Silakan lihat isinya apakah ada yang dia ambil?” paparnya.
“Jadi dia sudah lari?” aku bertanya lagi. Rasa takutku mulai hilang.
“Iya,” lelaki bermasker itu menjawab pertanyaanku dengan singkat tanpa melihat ke arahku. Seingatku dari tadi dia juga tidak melihat ke arahku.
Aku keluar dari persembunyian. Kuambil tasku dan aku lihat isinya ternyata masih utuh. Aku sangat bersyukur, kuucap hamdalah berkali-kali. Kulihat lelaki itu sudah berjalan meninggalkanku.
“Mas tunggu!” aku berteriak menahan langkahnya.
“Ada apa Mbak?” tanyanya tetap tanpa melihat ke arahku.
“Kenapa kamu menolongku? Kenapa kamu mengikutiku?”
“Bukankah menolong merupakan perilaku baik? Diganjar kebaikan itu dengan pahala yang berlipat ganda oleh Yang Kuasa di bulan suci ini?” ucapnya sok bijak. Aku masih penasaran kenapa dia tadi mengamatiku, lalu duduk di dekatku bahkan sampai mengikutiku ke sini. Dan sekarang tiba-tiba dia tidak mau melihat mukaku.
“Aku tak percaya. Kamu pasti seseorang…” aku bingung harus melanjutkan ucapanku.
“Iya. Aku memang orang,” jawabannya dilengkapi dengan deraian tawa.
“Kamu sebenarnya siapa?” aku semakin berteriak. Dia mulai berjalan. Dan aku mengikutinya di belakang.
“Kamu kenapa mengikutiku?” dia malah menjawabku dengan pertanyaan lain, membuatku jengkel.
“Pulanglah, memangnya mau ke mana? Jalannya kan cuma ini. Hei Mas, kamu belum menjawab pertanyaanku. Siapa kamu sebenarnya?” aku mengulang pertanyaan. Kali ini aku berjalan tidak jauh di belakangnya. Entah kenapa aku merasa aman dan nyaman berada di dekatnya. Sepertinya dia memang orang baik. Dan aku punya utang budi padanya.
“Kamu belum berterimakasih padaku,” tukasnya. Jleb! Tiba-tiba aku merasa malu.
“Oh iya maaf. Terima kasih atas pertolongannya, Mas. Tapi kamu siapa?”
“Tadi aku melihat ada logo pondok Al-Hikmah di kerudungmu. Aku merasa kita adalah satu keluarga,” ucapnya.
“Ha? Kamu mengajakku berkeluarga?”
“Aduh! Maksudku aku juga di Al-Hikmah. Dan melihatmu diincar copet aku merasa prihatin. Perempuan itu tadi sudah berhasil mengambil dompet seseorang di perjalanan, tapi terjatuh dan diambil lagi oleh pemiliknya. Pemilik dompet itu tidak tahu jatuhnya karena diambil pencopet perempuan itu. Makanya aku duduk di dekatmu karena khawatir pencopet itu akan beraksi saat kamu tidur.” Kali ini aku begitu terharu mendengar ucapannya. Dan sepertinya aku terpesona.
“Terima kasih banyak ya, Mas. Jadi ternyata sampean adalah santri putra Al-Hikmah?”
“Iya,” jawabnya pendek dan terkesan angkuh.
“Lalu kenapa kamu tak mau melihat aku?” kuberanikan diri menggodanya. Dia diam saja.
“Mas?” panggilku.
“Jika aku melihat kecantikanmu aku takut menolongmu hanya karena nafsu, bukan lillahita’ala.”
Jawabannya menggetarkan hatiku. Perasaanku seolah terbang melayang.
“Sebenarnya kamu siapa, Cak?” aku mengulang pertanyaan untuk yang ke sekian kalinya.
Tiba-tiba dia berhenti. Aku mendadak nervous. Lelaki itu membuka maskernya. Deg!
“Gus Mus?” desisku spontan. Aku sangat terkejut. Ternyata dia Gus Mus putra kiaiku yang mondok di Tulung Agung itu. Bagaimana aku harus melukiskan rasa maluku bertingkah centil di depan gusku sendiri seperti ini?
“Maaf Gus, saya tidak tahu ternyata jenengan. Sekali lagi mohon maaf telah bertindak tidak sopan kepada jenengan,” aku memohon maaf dengan sepenuh hati.
“Iya Mbak, kumaafkan. Tapi sebaiknya jadi perempuan jangan centil, apalagi kamu seorang santri. Ya sudah, sekarang ayo kita cepat-cepat, jangan sampai ketinggalan bus. Aku harus segera kembali ke pondok.”
Kami berjalan cepat. Dia berada agak jauh di depanku. Pikiranku tidak karuan. Rasanya ini adalah pengalaman yang paling memalukan seumur hidupku.
Mangsel, 21 Mei 2020