Ketika ibunya pamit untuk mencari kayu bakar, Raka tinggal bersama kesunyian. Rumahnya yang jauh dari pemukiman warga semakin membuatnya yakin bahwa kesunyian adalah tetangga terbaik yang bisa mengasuhnya jadi pribadi tangguh untuk terus tumbuh dan hidup di lereng hutan. Tegun benda-benda baginya adalah puting susu yang senantiasa diisap batinnya untuk sebuah kesejukan.
Mainan satu-satunya yang ia punya hanyalah lintingan daun pisang yang digantung ke bentang salah satu usuk menggunakan serat daun pandan. Lintingan daun itu akan bergerak-gerak seperti menari-nari saat diterpa angin yang berembus dari arah hutan. Melihat itu, Raka tersenyum dan merasa terhibur meski kadang ia juga menangis. Butiran air bening akan pecah dari kedua matanya saat ia ingat bagaimana angin itu menggasak rimbun daun siwalan yang sedang dipanjat ayahnya hingga ayahnya jatuh ke datar tanah keras yang sedang dijamah kemarau tujuh tahun silam saat dirinya masih berusia dua tahun.
Ada kalanya Raka mengambil lintingan daun itu dan menjatuhkannya ke bawah hingga terdengar bunyi empasan ke tanah. Ia kemudian menyimpulkan; begitulah ayahnya jatuh dari pohon siwalan dengan segala rasa sakit tak terperi hingga akhirnya meninggal.
“Hingga akhirnya kau di sana, Yah. Dalam gundukan tanah yang masih harum oleh taburan kelopak bunga. Padahal aku ingin kau mengajariku mengolah sawah dengan mata bajak, mengerat mayang guna menyadap lahang, membaca cuaca dari rasi bintang dini hari, mengetuk tanah dengan telapak tangan untuk menentukan lokasi terbaik menanam ketela. Kata ibu, kau pandai semua itu. Tapi sayang, kau ditakdirkan untuk tak bersamaku lagi,” rintih Raka serak dan memungut kembali lintingan daun yang jatuh berpupur debu.
Untuk meredam tangis dan demi menghibur luka batinnya, biasanya Raka akan mencari benda-benda yang ada di dalam dan di sekitar rumahnya. Ia akan bicara atau sekadar saling bertatap dengan benda itu. Cara itu baginya merupakan cara terbaik untuk bercakap dalam keadaan tak ada siapa pun yang bisa diajak bicara. Benda yang biasanya ia tatap dan ia ajak bicara antara lain tungku, asbak bambu, meja, cagak, gerabah, bunga-bunga yang tumbuh di halaman rumahnya, pohon, dan seekor cecak yang kerap muncul di celah pintu. Benda-benda tersebut jadi teman dialognya secara bergiliran sesuai kesukaan dirinya sampai pada suatu hari ia merasa benda-benda tersebut terlalu statis dan cenderung menimbulkan rasa bosan.