Malam Kelam di Tengah Kebun Tebu

238 views

Malam yang gelap ditingkahi suara burung hantu membuat suasana terasa mencekam. Burung itu mengeraskan suaranya kala aku telah berhasil melompati sebuah parit kecil. Aku tertawa dalam hati. Kau kira aku akan takut padamu, wahai burung hantu? Kau salah besar. Aku bahkan lebih menakutkan daripada hantu itu sendiri. Ketakutan adalah kawan karibku. Rasa takut adalah senjataku.

Kakiku terus melangkah. Semak-semak kulewati. Pematang sawah kulalui. Sampai juga aku di jalan beraspal. Aku mengambil jalan tikus. Jalan kecil yang hanya dilalui orang-orang yang mau ke sawah atau orang yang kebetulan kebelet di tengah jalan dan hendak membuang hajatnya di kali seberang sana. Aku berjalan dengan tenang. Di buntalan sarungku telah siap peralatanku untuk mencari nafkah malam ini. Aku pasti akan berhasil lagi. Desa ini cukup sepi. Jarang ada orang masih berseliweran di malam hari. Apalagi di malam segelap ini. Langkahku terus berpacu. Kulihat di ujung jalan sana ada rumah yang cukup besar. Cahaya lampunya cukup terang. Aku berjalan menghindari cahaya. Kulalui jalan setapak menuju rumah milik janda kaya itu.

Advertisements

Janda kaya pemilik rumah ini pasti sudah tidur. Lampu di dalam rumah telah mati. Langkah kakiku kuperlambat. Aku mengamati sekitar rumah untuk memastikan keadaan aman. Setelah jarakku semakin dekat aku melihat ternyata lampu kamar di sisi kanan masih menyala. Aku lantas bersembunyi di balik pohon beringin yang rindang dan gelap. Apakah janda itu masih belum tidur di tengah malam seperti ini? Kudengar suara pintu dibuka. Aku jadi was-was. Sepertinya dia memang belum tidur. Kucoba tunggu barang beberapa saat. Mungkin dia akan segera tidur. Aku lantas memanjat cabang beringin untuk melihat isi kamar itu dari lubang ventilasi. Janda itu keluar kamar menuju ruang tamu. Lampu menyala. Tapi sebentar kemudian lampu mati kembali. Bahkan lampu depan rumah juga mati. Mau apa orang itu? Aku diam memantau keadaan.

Tiba-tiba dari jalan setapak yang baru saja kulewati tadi terdengar suara daun kering terinjak. Suara langkah kaki terdengar agak samar di ujung pendengaran. Semakin lama suara langkah kaki itu semakin jelas di telingaku. Detik berikutnya sesosok bayangan terlihat mendekat. Entah siapa dia. Apakah dia juga maling sepertiku? Keadaan sedang gelap sekali, tak dapat aku mengenalinya. Pandanganku beralih ke rumah janda kaya itu lagi. Tiba-tiba pintu rumah terbuka. Dan bayangan hitam itu menuju ke sana. Siapa dia? Aku semakin penasaran. Lampu rumah tiba-tiba dinyalakan lagi. Sarjud kah dia? Iya benar, penglihatanku tidak salah lagi. Lalu carik desa itu mau apa datang kemari malam-malam gelap begini? Lampu rumah kemudian mati. Dari lubang ventilasi kulihat mereka masuk ke dalam kamar. Bejat! Sejak kapan janda itu jadi selingkuhannya? Di depan orang saja carik itu kelihatan baik! Nyatanya? Cuih! Tak lebih baik dariku! Begini-begini aku nekat karena demi menafkahi keluargaku? Dia? Bangsat sekali dia harus menafkahi batin janda pelit itu!

Haruskah kutunggu mereka selesai “main” untuk melancarkan aksiku? Setelah ini pasti mereka akan segera kelenger. Aku mencoba bersabar untuk menunggu mereka selesai. Mereka tak akan lama. Sarjud sekerempeng itu. Tenaganya pasti tak seberapa. Dia tak akan kuat berlama-lama bermain dengan janda itu. Dan tak mungkin pula Sarjud akan menginap di sini. Ketahuan warga bisa mampus dia. Mungkin carik desa berperawakan kerempeng itu tadi pamit pergi mengairi sawah bengkok pada istrinya sampai dia berani masuk rumah orang malam-malam begini.

Aku duduk dengan tenang di cabang pohon beringin sambil memikirkan strategiku memasuki rumah mewah itu nanti. Ah, janda itu pasti akan kecapekan setelah meladeni Sarjud. Ini akan mempermudah langkahku. Sial, tiba-tiba aku bersin. Tak dapat kutahan. Siapa yang dapat menahan bersin? Tak ada kukira. Lalu kutengok ke kamar itu. Lampu telah mati. Ada suara pintu berderit. Mungkin Sarjud keluar rumah. Dia pasti mendengar bersinku. Dikiranya mungkin aku adalah warga yang akan membongkar perselingkuhan mereka. Aku tahu. Aku orang jahat. Tak perlu saling melaporkan sesama penjahat. Aku bukan tipe penjahat yang pura-pura baik dengan melaporkan kejahatan orang lain. Bagiku kejahatanku. Dan baginya kejahatannya.

Kanan-kiri rumah itu ditanami pohon pisang. Mungkin dia menyelinap di sana. Sedangkan tetangga rumah itu terbilang agak jauh. Aku harus pergi. Tak ingin aku menyia-nyiakan waktuku di sini. Persediaan makan besok dan lusa buat anak-istriku harus kudapat malam ini. Aku bergegas turun dari pohon beringin dan meninggalkan pekarangan rumah itu dengan langkah cepat. Misi pertamaku malam ini gagal total. Aku terus berlalu. Umpatan dan sumpah serapah kuulang-ulang sambil berlari.

Dari sebuah penjuru desa kudengar bunyi kentongan satu kali. Suara itu menggema di kegelapan malam. Suara kentongan itu tak lain berasal dari petugas jaga poskamling yang memukul kentongan untuk menunjukkan jam satu. Perasaanku mulai tak tenang. Sebentar lagi pagi akan datang. Akan ada banyak orang meronda guna membangunkan sahur. Aku harus segera mendapatkan “oleh-oleh” sebelum pagi tiba.

Aku berjalan menerobos gelap di pinggiran parit yang berada di belakang pemukiman warga. Di sini pemukimannya agak ramai. Aku harus lebih berhati-hati. Jika sampai tertangkap nasib anak-istriku akan kembali berada di ujung tanduk. Aku tidak ingin mengulangi kesalahanku ketika aksiku dipergoki warga menjelang lebaran tahun kemarin. Kawanku bekerja waktu itu terlalu gegabah dan tak cakap melihat situasi. Sekarang aku lebih suka solo karir, bekerja sendiri. Tidak perlu berdiskusi, untung ambil sendiri. Mengingat kegagalanku waktu itu membuatku sedikit ngeri. Aku nyaris mati di tangan warga. Untung waktu itu ada polisi yang menyelamatkan nyawaku.

Aku terus melangkah.

Sebuah rumah besar terlihat lengang. Kalau tidak salah istri dari pemilik rumah ini sedang kerja di luar negeri. Hongkong atau Taiwan, atau Arab Saudi, tak tahulah aku. Yang pasti uang kirimannya ke suami lancar. Si suami sendiri kabarnya memanfaatkan betul keberadaan uang dari sang istri. Kabarnya, Astri tetanggaku itu melahirkan anak dari hasil mainnya dengan orang ini. Tak tahulah aku. Mungkin juga Astri main dengan lelaki lain. Aku mengendap-endap di pekarangan belakang rumah. Lampu tak begitu terang terpasang di sudut-sudut luar rumah. Suasana sepi sekali. Orangnya pasti sedang larut dalam mimpi. Tak butuh waktu lama bagiku untuk segera sampai di rumah itu. Dengan alatku kucongkel jendela kamar. Butuh waktu agak lama untukku membukanya. Kampret! Ternyata jendela dipenuhi dengan teralis besi yang cukup kuat. Aku menyerah. Ini tidak mungkin aku teruskan. Dan waktu terus berjalan.

Langkahku terus berderap di senyap malam. Kini aku berjalan melewati jalan sepi yang kanan kirinya dipenuhi tanaman tebu. Tiba-tiba aku ingin buang air kecil. Di tempat rimbun seperti ini jangan-jangan ada ular. Kuurungkan niatku buang air kecil di sini. Aku melanjutkan langkah. Tubuhku terasa semakin payah. Dan belum ada sepeser pun “oleh-oleh” yang kudapat. Di tengah kebun tebu kulihat ada cahaya lampu. Aku terus mendekat. Ternyata sebuah surau kecil. Di sampingnya ada rumah kecil pula. Di samping surau itu ada kamar kecil. Aku bergegas ke sana. Beberapa saat kemudian aku telah selesai buang air. Entah kenapa malam ini aku merasa lelah sekali. Tiba-tiba terbersit di sanubariku untuk mengambil air wudhu. Aku lantas masuk surau untuk salat. Mumpung bulan Ramadhan, pikirku. Aku salat dengan cepat lantas berbaring sebentar. Kutengok rumah kecil di sebelah surau. Jendela kecil tampak terbuka sebagian. Perasaan penasaranku mencuat. Naluriku bergerak cepat. Aku lantas berdiri dan bergerak mendekat. Tampak olehku seorang lelaki tua tidur meringkuk berselimutkan sarung. Ah, apa yang bisa kuperoleh dari rumah seperti ini? Tunggu dulu. Tiba-tiba mataku menangkap sesuatu. Di atas meja kulihat ada uang dua puluh ribu. Aku disergap ragu. Tapi kemudian kubulatkan tekadku. Jendela kubuka sedikit lebih lebar. Dan, ternyata tanganku dapat meraihnya. Uang itu kuambil dan menjadi satu-satunya oleh-olehku malam ini.

Malam berikutnya aku kembali beraksi. Dan sialnya aku kembali gagal. Bahkan di salah satu rumah aku hampir di tangkap warga yang sedang jaga poskamling. Aku pulang dengan tangan hampa. Malam berikutnya pun aksiku kembali tak mendapatkan apa-apa. Karena teringat suasana damai surau di tengah kebun tebu itu aku kemudian sengaja lewat ke sana. Aku kembali buang air lantas salat seperti yang kulakukan tiga hari sebelumnya. Dan lagi-lagi kulihat jendela rumah kecil itu terbuka sedikit. Karena penasaran pula akhirnya aku kembali ke sana. Dan lelaki tua berselimut sarung itu juga sedang meringkuk. Mataku meneliti keadaan kamar. Kulihat ada selembar uang dua puluh ribuan dan selembar uang tiga puluh ribuan. Aku kembali tergoda. Sebagai bahan pertimbangan kuamati lelaki tua berambut putih yang sedang meringkuk itu lekat-lekat. Tekadku kembali bulat. Lantas kulebarkan jendela dan kuambil uang itu. Aku pulang dengan membawa uang lima puluh ribu. Alhamdulillah.

Malam berikutnya aku kembali beraksi. Rumah janda kaya itu menjadi target utamaku lagi. lagi-lagi sial. Kulihat ada bayangan Si Sarjud lagi di tengah kegelapan. Kali ini kehadiranku sedikit lebih lambat daripada dia. Bayangannya kulihat telah berada di depan rumah Si Janda. Nekat betul dia di bulan Ramadhan seperti ini mau berbuat zina. Karena rasa jengkelku sudah mencapai ubun-ubun aku ambil kerikil di bawah kakiku. Dari kejauhan kulempari carik itu. Karena saking terkejutnya dia lantas berteriak. Dan aku terus melemparinya. Dia ketakutan lantas berlari tunggang langgang. Suara gaduhnya membangunkan tetangga sekitar. Sarjud yang berlari sambil berteriak ketakutan itu akhirnya dikejar warga. Aku lantas pergi. Biarlah carik bejat itu diurusi warganya sendiri. Rumah janda kaya itu pasti sudah tidak aman lagi bagiku. Banyak warga yang sudah bangun. Aku bingung harus beraksi kemana lagi. Sampai kentongan dipukul tiga kali aku belum mendapat apa-apa. Akhirnya aku kembali pulang dengan tangan hampa.

Malam berikutnya aku mampir ke surau tengah kebun tebu itu lagi dan kudapatkan uang seratus ribu. Malam berikutnya aksiku kembali gagal. Dan berikutnya lagi aku mampir ke rumah kecil dekat surau kecil itu. Kudapatkan uang dua ratus ribu. Kejadian ini terjadi terus berurutan seperti itu. Aku merasa sangat janggal. Di malam yang ke sembilan dan ke sepuluh aku berturut-turut datang ke rumah kecil itu. Kali ini aku tidak mampir ke surau terlebih dahulu karena malam masih belum terlalu larut. Tak seperti biasanya, jendela rumah kecil itu tertutup rapat. Begitu pula dengan pintunya. Semua tertutup rapat. Aku berjalan mengelilingi rumah itu. Tapi hasilnya tetap nihil. Hatiku mulai gusar. Kukeluarkan alatku. Tak lupa kututupi mukaku dengan masker seperti anjuran pemerintah itu. Setidaknya aku adalah warga yang taat untuk hal-hal tertentu. Ketika aku sedang sibuk mencongkeli jendela tiba-tiba ada suara orang dari arah belakangku.

“Maaf malam ini pintunya belum aku buka.”

Aku kaget setengah mati mendengar suara orang itu. Kutoleh dia. Ternyata lelaki tua yang biasanya tidur meringkuk itu. Dia memakai sarung dan baju takwa dengan memakai kopiah haji. Sepertinya baru pulang dari surau.

“Tak biasanya tuan datang jam segini. Mari masuk biar kubukakan pintunya,” ucap lelaki tua itu santai.

Aneh sekali. Siapa dia? Kenapa dia begitu tenang melihat kehadiranku? Bukannya takut melihatku dia malah tersenyum dan terlihat ramah padaku. Justru aku yang tiba-tiba merasakan takut. Tubuhku terasa menggigil. Belum pernah sebelumnya aku merasakan ketakutan seperti ini.

Lelaki tua itu membuka pintu dan masuk. Gila, dia melambai ke arahku mengajak masuk ke rumahnya. Aku sangat bingung harus berbuat apa. Tapi dia terus memaksaku. Akhirnya aku ikut masuk rumah kecil dan sederhana sekali itu. Aku dipersilahkan duduk di sebuah kursi kayu reot. Beberapa saat kemudian di datang sembari menyuguhiku air putih dan ubi rebus.

“Makanlah tuan. Biarkan kuambilkan uangnya.”

Gila! Apa-apaan ini? Kenapa dia memperlakukanku begini rupa?

“Ambil saja uangnya,” dia memintaku menerima uang di amplop itu. Kulihat mukanya sangat sejuk. Aku ragu, walaupun sebenarnya sangat membutuhkannya. Aku diam, kubiarkan amplop itu teronggok di atas meja.

“Siapa sebenarnya kamu Pak Tua?” aku bertanya memberanikan diri.

“Aku pemilik rumah ini,” jawabnya singkat disertai senyum tulus.

“Lalu kenapa kamu selalu menaruh uang di meja kamarmu itu?” tanyaku lagi.

“Di bulan Ramadhan ini semua amal dilipatgandakan pahalanya. Aku ingin menyodakohkan uang itu, tapi tidak tahu kepada siapa,” tukasnya.

Aku mengernyitkan dahi dan menelan ludah. Kuberanikan diri bertanya sekali lagi. “Lalu kenapa sekarang kau beri aku uang? Tidak tahukah kamu bahwa aku adalah seorang maling?”

“Ya aku tahu kamu maling,” jawabnya dengan tenang. “ Besok  kamu tidak perlu keluar rumah lagi. Uang itu cukup untuk hidup beberapa hari. Tapi, jika suatu saat kamu mampir ke sini lagi kamu tak akan menemukan uang lagi. Seluruh upahku menjaga kebun musim ini telah kutaruh di amplop itu. Silakan bawa pulang dan berikan pada anak dan istrimu.”

Tubuhku terasa gemetar. Rasa takutku berubah menjadi rasa malu. Malam tiba-tiba terasa begitu dingin. Ada semilir angin yang berhembus menembus bilah-bilah papan dinding rumah reot ini. Uang itu kukembalikan dan aku berjanji tak akan maling lagi.

Bantur, 25 April 2020/2 Ramadhan 1441

Multi-Page

One Reply to “Malam Kelam di Tengah Kebun Tebu”

Tinggalkan Balasan