Mari Bermain Domino…

Di sebuah sore yang hangat di warung kopi pinggir kampung, dua orang bapak-bapak sedang asyik bermain domino sambil menyeruput teh manis.

Tiba-tiba, seorang santri muda menghampiri dengan wajah bingung. “Pak De, boleh nggak sih main domino? Katanya haram karena mirip judi?”

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Pertanyaan sederhana ini ternyata telah menjadi perdebatan panjang dalam khazanah fikih kontemporer Indonesia, hingga akhirnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan jawaban tegas pada bulan Juli 2025: domino halal, selama tidak mengandung unsur judi.

Fatwa ini bukan sekadar keputusan administratif. Ia adalah cermin dari pergumulan intelektual umat Islam Indonesia dalam menghadapi modernitas, sekaligus refleksi mendalam tentang bagaimana tradisi Islamic jurisprudence mampu beradaptasi dengan realitas sosial yang terus berubah. Lebih dari itu, fatwa domino MUI menjadi pintu masuk untuk memahami dinamika metodologi fatwa dalam Islam Nusantara yang khas dan kontekstual.

Mengapa Domino Problematik?

Keraguan terhadap permainan domino dalam tradisi fikih klasik bukan tanpa dasar. Imam al-Ghazali secara tegas menyatakan bahwa segala permainan yang menyerupai judi (qimar) harus dihindari karena berpotensi mengalihkan manusia dari mengingat Allah dan mengundang permusuhan. Prinsip ini kemudian diadopsi oleh banyak ulama dalam menilai permainan-permainan modern, termasuk domino.

Namun, pendekatan al-Ghazali yang cenderung penuh kehati-hatian (ihtiyat) ini perlu dibaca dalam konteks zamannya. Pada masa al-Ghazali, permainan sering kali identik dengan perjudian dan aktivitas yang merugikan. Realitas sosial saat itu memang belum mengenal konsep permainan sebagai sarana rekreasi sehat atau olahraga otak seperti yang kita pahami hari ini.

Di sinilah letak genialnya metodologi fatwa kontemporer. MUI tidak terjebak pada interpretasi literalis yang kaku, melainkan menggali maqashid al-syariah (tujuan-tujuan syariat) di balik larangan judi.

Apa yang sebenarnya ingin dilindungi oleh Islam ketika melarang qimar? Tidak lain ialah melindungi harta dari pemborosan, mencegah permusuhan sosial, dan menjaga produktivitas umat.

Istinbath: Membaca Realitas

Keputusan MUI tentang domino mencerminkan kematangan metodologi istinbath al-ahkam (penggalian hukum) yang tidak sekadar mengandalkan analogi (qiyas) sederhana, tetapi melibatkan pertimbangan maqashid yang komprehensif.

Jasser Auda, dalam Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law, menegaskan bahwa pendekatan maqashid memungkinkan hukum Islam untuk responsif terhadap perubahan zaman tanpa kehilangan esensi spiritual dan moralnya.

Dalam kasus domino, MUI mengidentifikasi bahwa ‘illah (alasan hukum) diharamkannya judi bukanlah bentuk permainannya, melainkan unsur spekulatif yang merugikan (gharar fāhisy) dan potensi kehilangan harta secara sia-sia. Ketika domino dimainkan sebagai hiburan, olahraga otak, atau sarana sosialisasi tanpa taruhan, maka ‘illah tersebut tidak terpenuhi. Konsekuensinya, hukum asal permainan kembali kepada prinsip al-aṣlu fi al-ashya’ al-ibāha—pada  dasarnya segala sesuatu dibolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya.

Pendekatan ini sejalan dengan pemikiran Ibn Taymiyyah dalam Majmu’ al-Fatawa, yang menekankan bahwa hukum Islam harus mempertimbangkan maslahah (kemaslahatan) dan mafsadah (kerusakan) secara kontekstual. Ibn Taymiyyah bahkan secara eksplisit menyatakan bahwa permainan yang tidak mengandung judi, tidak mengalihkan dari kewajiban agama, dan memberikan manfaat rekreatif, adalah dibolehkan dalam Islam.

Kontekstualisasi Islam Nusantara

Fatwa domino MUI juga mencerminkan kekhasan metodologi Islam Nusantara yang dipengaruhi oleh tradisi fiqh al-waqi’ (fikih realitas). Konsep ini, yang dipopulerkan oleh Yusuf al-Qaradawi dalam Fiqh al-Aqalliyyat al-Muslima, menekankan pentingnya memahami konteks sosial-budaya dalam penetapan hukum.

Dalam konteks Indonesia, domino bukanlah permainan asing. Ia telah menjadi bagian dari budaya populer masyarakat, dimainkan di warung-warung kopi, pos ronda, hingga acara-acara keluarga. Melarang domino secara mutlak tanpa mempertimbangkan konteks sosial ini justru berpotensi menciptakan haraj (kesulitan) yang sebenarnya ingin dihindari oleh syariat.

MUI, dengan keputusannya, menunjukkan kepekaan terhadap realitas sosial ini. Alih-alih melarang secara absolut, MUI memberikan batasan yang jelas dan operasional: domino halal selama tidak ada unsur judi, tidak mengalihkan dari kewajiban agama, dan dimainkan dalam konteks yang positif. Pendekatan ini memungkinkan umat untuk tetap menikmati tradisi budayanya sambil menjaga komitmen religiusnya.

Menuju Fikih Kontekstual

Fatwa domino MUI memiliki implikasi epistemologis yang lebih luas dalam diskursus Islamic jurisprudence kontemporer. Keputusan ini menandai pergeseran dari pendekatan formalistik menuju pendekatan substansialistik dalam memahami hukum Islam.

Jika pendekatan formalistik cenderung terjebak pada bentuk luar (zahir) suatu perbuatan, maka pendekatan substansialistik lebih menekankan pada substansi dan tujuan (maqashid) di balik hukum tersebut.

Pergeseran ini sejalan dengan semangat pembaruan pemikiran Islam yang digagas oleh para reformis seperti Muhammad Abduh dan Rashid Rida. Dalam Tafsir al-Manar, Rashid Rida menegaskan bahwa Islam sebagai agama yang shālih li kulli zamān wa makān harus mampu memberikan jawaban yang relevan terhadap problem-problem kontemporer tanpa mengorbankan prinsip-prinsip fundamentalnya.

Fatwa sebagai Instrumen Moderasi

Di tengah maraknya isu radikalisme dan konservatisme yang kerap menggunakan interpretasi agama yang rigid, fatwa domino MUI menjadi contoh penting bagaimana otoritas keagamaan dapat berperan sebagai instrumen moderasi. Keputusan ini menunjukkan bahwa Islam Indonesia mampu memberikan ruang untuk budaya populer tanpa kehilangan identitas religiusnya.

Lebih dari itu, fatwa ini juga merefleksikan kematangan umat Islam Indonesia dalam menghadapi tantangan modernitas. Alih-alih defensif atau reaktif, umat Islam Indonesia, melalui lembaga seperti MUI, menunjukkan sikap proaktif dan adaptif dalam merespons perubahan sosial.

Lesson Learned dari Fatwa Domino

Fatwa halal domino MUI bukan sekadar keputusan tentang permainan kartu. Ia adalah manifestasi dari pergulatan intelektual yang dalam antara tradisi dan modernitas, antara tekstualitas dan kontekstualitas, antara universalitas dan lokalitas.

Fatwa ini mengajarkan kita bahwa hukum Islam, ketika dipahami dengan metodologi yang tepat, mampu memberikan jawaban yang bijak dan kontekstual terhadap problem-problem kontemporer.

Bagi para santri dan aktivis Islami, fatwa domino MUI menjadi case study yang menarik untuk memahami dinamika metodologi fatwa dalam Islam kontemporer. Ia menunjukkan bahwa tradisi  hukum Islam tidak berhenti pada masa lampau, tetapi terus hidup dan berkembang, menjadi “maps” yang relevan bagi umat di setiap zaman.

Kembali ke warung kopi tadi, kini sang santri muda tersenyum lega. Ia tidak perlu lagi merasa bersalah ketika sesekali ikut bermain domino dengan para sesepuh kampung.

Yang penting, ia memahami batas-batasnya—tanpa judi, tanpa berlebihan, dan dengan tujuan menyambung silaturrahim. Maka, mari bermain domino. Halal…

Multi-Page

Tinggalkan Balasan