Pada beberapa waktu lalu, kita dihebohkan dengan kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh salah satu “guru agama” kepada beberapa murid perempuannya. Bahkan, mirisnya, di antara mereka sudah ada yang memiliki anak. Kasus ini bukan yang pertama, hanya pengulangan kasus dengan orang dan tempat yang berbeda.
Belum lagi viralnya potongan ceramah seorang ustazah yang menceritakan seorang istri di negara Timur Tengah yang dipukul oleh suaminya, dan sang istri tersebut memilih untuk tidak membeberkan perilaku suaminya.
Perlakuan perempuan tersebut diamini oleh sang ustazah dengan pandangannya yang mendukung perempuan tadi. Terlepas dari niat atau maksud dari sang ustazah, pandangannya telah menunjukkan suatu kemunduran bagi kaum perempuan. Sungguh ironi. Perempuan yang seharusnya dimuliakan selalu mendapat perlakuan tidak adil bahkan direndahkan oleh “kaum patriarki” bahkan dari golongannya sendiri.
Ketidakadilan terhadap perempuan selama ini telah melahirkan gerakan feminisme yang dilakukan oleh sebagian orang. Gerakan ini menjadi lokomotif perlawanan terhadap kekuatan dominan patriarki. Kerangka kerja yang selama ini dilakukan memperjuangkan kesetaraan dan keadilan yang berbasis gender.
Tentang perjuangan feminisme oleh seorang perempuan, saya kutip perkataan Nawal el-Sa’adawi, seorang tokoh sastrawan feminis asal mesir:
“Woman in most contries have not achived much, because they can’t be liberated under the patriarchal, capitalist, imperialist, and military system that determines the way we live now, and which is governed by power not justice by false democracy, not ideal freedom.”
“Perempuan di sebagian negara tidak banyak berkembang, karena mereka tidak bebas di bawah sistem patriarki, kapitalis, imperialis dan militeris yang menjadi jalan hidup kita saat ini, dan yang menata dengan kekuasaan, bukan dengan keadilan, dengan demokrasi palsu, bukan kebebasan sejati.”
Pernyataan Nawal sangat relevan terhadap kondisi sekarang, meskipun kejadian memandang rendah perempuan sudah ada semenjak masa lalu. Perlakuan yang sangat subordinatif selama ini hanya dirasakan oleh kaum perempuan. Dari perbuatan perbuatan individu yang “patriarki” sampai sebuah komunitas, seolah-olah peristiwa alamiah.