Pernikahan sepasang anak di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), pria S (15) dan wanita NH (12), viral di media sosial. Pasalnya, keduanya menikah saat masih bersekolah di Madrasah Tsanawiyah (setingkat SMA).
Pernikahan dilangsungkan sebagai akibat dari kedua bocah tersebut pergi jalan-jalan berdua ke salah satu tempat wisata di Lombok Tengah pada Rabu (9/9/2020) hingga pulang pukul 19.30 WITA. Setelah kejadian itu, orang tua NH memaksakan kedua bocah tersebut untuk menikah. Pernikahan tersebut akhirnya dilangsungkan pada Sabtu (12/9/2020). Mempelai pria memberikan mahar senilai Rp 2 juta kepada gadis pujaannya.
Berdasarkan data Pemerintah Provinsi NTB, kasus pernikahan dini anak usia 10-19 tahun di 10 kabupaten/kota di NTB berada di atas 30 persen sampai 58 persen. Peringkat pertama kasus pernikahan dini diduduki Lombok Timur 58,05 persen, kemudian Lombok Tengah 57,98 persen, Lombok Barat 49,89 persen, Lombok Utara 47,95 persen, Sumbawa Barat 37,81 persen, Sumbawa 37,32 persen, Dompu 34,19 persen, Bima 34,64 persen, Kota Mataram 42,14 persen dan Kota Bima 32,95 persen.
NTB merupakan salah satu provinsi yang masih memegang “rekor” pernikahan dini sampai kini. Dengan menggunakan Social Cognitive Theory, determinan sosial kejadian pernikahan dini di NTB meliputi faktor personal, perilaku, dan pengaruh lingkungan. Dari faktor personal, terdapat kondisi pendidikan rendah yang mendorong masyarakat untuk menikahkan anak-anaknya yang masih di bawah umur.
Anak-anak yang tidak bersekolah akan dinikahkan untuk mengurangi beban ekonomi. Faktor personal lainnya, yaitu pemahaman yang salah pada ajaran agama. Mereka percaya pernikahan dini bisa menghindari seks pranikah atau seks bebas.
Dari faktor lingkungan, pernikahan dini terjadi karena adanya dorongan dari keluarga. Ada peran dominan keluarga di dalamnya yang menentukan masa pernikahan. Kemudian, faktor lingkungan dari budaya lokal. Terdapat adat “dipaling” yang artinya dibawa lari.Calon mempelai dibawa ke rumah pihak calon mempelai laki-laki. Terakhir, faktor lingkungan dari pola pikir masyarakat bahwa perempuan hanya bertugas sebagai istri di rumah.
Berdasarkan ketentuan, batas usia minimal seseorang dapat menikah telah ditetapkan Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 pasal 7 ayat 1 yang berbunyi: “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”.
Selanjutnya, pasal 2 menerangkan bahwa: “Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita’.
Dispensasi pernikahan itu merupakan keringanan atau kelonggaran yang diberikan bagi pasangan yang ingin melangsungkan pernikahan, namun salah satu calon mempelai belum mencapai umur sesuai yang telah diatur dalam UU tersebut tentang batas minimal umur, boleh melangsungkan pernikahan. Dispensasi pernikahan tersebut diajukan oleh orang tua calon mempelai ke Pengadilan Agama tempat mereka tinggal.
Selanjutnya, dalam pasal 15 Kompilasi Hukum Islam juga menerangkan bahwa: “Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 UU Nomor 1 Tahun 1974.”
Risiko Nikah Dini
Persyaratan umur minimal dalam UU itu berdasarkan penelitian. Laporan dari Kajian Perkawinan Usia Anak di Indonesia pada akhir 2019 menyebutkan, tingginya angka pernikahan usia dini dapat meningkatkan risiko kematian ibu dan bayi. Selain itu, pernikahan usia dini juga dapat menimbulkan dampak bagi kesehatan anak-anak mereka di kemudian hari.
Jika dilihat dari segi kesehatan fisik perempuan, organ reproduksi pada perempuan di bawah usia 20 tahun belum matang dengan sempurna. Perempuan yang melakukan aktivitas seksual di bawah usia 20 tahun dapat berisiko menimbulkan berbagai penyakit, seperti kanker serviks dan kanker payudara.
Selain itu, kehamilan di bawah usia 20 tahun dapat menimbulkan risiko perdarahan, anemia, pre-eklampsia dan eklampsia, infeksi saat hamil, dan keguguran. Perempuan yang hamil dan melahirkan pada usia 10-14 tahun memiliki risiko lima kali lebih besar dibandingkan dengan perempuan berusia 20-24 tahun.
Selain penuh risiko, kehamilan pada usia dini dapat menempatkan janin berisiko mengalami masalah kesehatan, seperti kelahiran prematur. Bayi yang lahir prematur dapat berisiko mengalami gangguan pernapasan, pencernaan, penglihatan, hingga penurunan kemampuan kognitif.
Selain itu, risiko masalah kesehatan pada bayi yang dilahirkan oleh ibu belum cukup umur antara lain BBLR (Berat Bayi Lahir Rendah), kelainan kongenital (cacat bawaan), hingga kematian janin. Kesedihan tentu akan dirasakan oleh pasangan jika buah hatinya mengalami masalah kesehatan yang dapat membahayakan nyawa janin tersebut.
Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) juga bagian dari risiko pernikahan dini, seperti yang terjadi di Indramayu pada 2018 yang menyebabkan satu korban meninggal dunia.
Usia merupakan salah satu faktor yang memengaruhi kematangan emosional seseorang. Pada usia remaja, terjadi masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang diawali dengan pubertas. Pada masa tersebut, selain proses kematangan fisik, terjadi proses kematangan sosial dan emosional.
Seorang remaja telah mencapai kematangan emosional apabila pada akhir masa remaja (usia 17-22 tahun), ia dapat mengontrol emosi, memahami diri sendiri, dan mampu menilai situasi secara kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi secara emosional. Namun, pada pernikahan usia dini, laki-laki dan perempuan yang menikah belum memiliki kematangan emosional sehingga percekcokan, perceraian, dan kekerasan dalam rumah tangga rawan terjadi.
Dari segi kesehatan, BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional) mengkampanyekan batasan usia yang ideal untuk menikah baik dari segi fisik dan mental, yaitu minimal 21 tahun bagi wanita dan 25 tahun pada pria. Oleh karena itu, sebaiknya pasangan memperhitungkan usia yang ideal untuk menikah, terutama dari segi kesehatan.
Al-Quran memang tidak menyebutkan secara spesifik pada usia berapa orang sebaiknya menikah. Namun, dari penafsiran ayat yang dikaitkan dengan usia pernikahan dini sebagai mana terlihat dalam penafsiran Ibn Jarir al-Tabarin dan para ulama yang senada dengannya, tidak mengaitkan penjelasan makna kata kunci ini (baca: usia) dengan boleh tidaknya menikahkan seorang anak.
Namun, dalam kitab fikih, pemaknaan atas kata kunci usia ini cukup menentukan. Ketika kata ini diartikan perempuan kecil yang belum haid, maka dipahami sebagai pembolehan pernikahan anak di usia dini dengan alasan jika idahnya anak kecil yang belum haid saja diatur dalam al-Quran, maka hal ini berarti bahwa menikahkan anak kecil adalah boleh.
Jumhur atau mayoritas ulama memandang umur bukan bagian dari kriteria calon mempelai. Oleh karenanya, mereka menganggap sah perkawinan anak kecil di bawah umur. Hal ini disebutkan oleh Syekh Wahbah Az-Zuhayli berikut ini:
ولم يشترط جمهور الفقهاء لانعقاد الزواج: البلوغ والعقل، وقالوا بصحة زواج الصغير والمجنون. الصغر: أما الصغر فقال الجمهور منهم أئمة المذاهب الأربعة، بل ادعى ابن المنذر الإجماع على جواز تزويج الصغيرة من كفء
Artinya: “Mayoritas ulama tidak mensyaratkan baligh dan aqil untuk berlakunya akad nikah. Mereka berpendapat keabsahan perkawinan anak di bawah umur dan orang dengan gangguan jiwa. Kondisi anak di bawah umur, menurut jumhur ulama, termasuk ulama empat madzhab, bahkan Ibnul Mundzir mengklaim ijmak atau konsensus ulama perihal kebolehan perkawinan anak di bawah umur yang sekufu.” (Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1985 M/1405 H] cetakan kedua, juz VII, halaman 179.)
Pandangan jumhur ulama ini didasarkan pada sejumlah riwayat hadits yang berkenaan dengan perkawinan anak di bawah umur. Sedangkan, beberapa ulama menolak perkawinan anak di bawah umur. Mereka mendasarkan pandangannya pada Surat An-Nisa ayat 6 yang membatasi usia perkawinan sebagai kutipan berikut ini:
المبحث الأول ـ أهلية الزوجين :يرى ابن شبرمة وأبو بكر الأصم وعثمان البتي رحمهم الله أنه لا يزوج الصغير والصغيرة حتى يبلغا، لقوله تعالى: {حتى إذا بلغوا النكاح} [النساء:6/4] فلو جاز التزويج قبل البلوغ، لم يكن لهذا فائدة، ولأنه لا حاجة بهما إلى النكاح. ورأى ابن حزم أنه يجوز تزويج الصغيرة عملاً بالآثار المروية في ذلك. أما تزويج الصغير فباطل حتى يبلغ، وإذا وقع فهو مفسوخ
Artinya: “Pembahasan pertama, kriteria calon mempelai. Ibnu Syubrumah, Abu Bakar al-Asham, dan Ustaman al-Bitti RA berpendapat bahwa anak kecil laki-laki dan perempuan di bawah umur tidak boleh dinikahkan sampai keduanya baligh, berdasarkan ‘Sampai mereka mencapai usia nikah,’ (Surat An-Nisa ayat 6). Kalau juga perkawinan dilangsungkan sebelum mereka baligh, maka perkawinan itu pun tidak memberikan manfaat karena keduanya belum berhajat pada perkawinan. Ibnu Hazm berpendapat bolehnya perkawinan anak kecil perempuan di bawah umur dengan dasar sejumlah riwayat hadits perihal ini. Sedangkan, akad perkawinan anak kecil laki-laki di bawah umur batal sampai anak itu benar-benar baligh. Kalau perkawinan juga dilangsungkan, maka ia harus difasakh.” (Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1985 M/1405 H] cetakan kedua, juz VII, halaman 179.)
Meskipun jumhur ulama ada yang menerima perkawinan anak di bawah umur, yang harus dipertimbangkan adalah masalah kematangan psikologis, ekonomi, dan kesehatan calon mempelai sebelum melangkah ke jenjang perkawinan. Usia kematangan (untuk menikah) baik lelaki maupun perempuan memang relatif; tidak sama di semua zaman dan di berbagai tempat. Yang pasti, pertimbangan kematangan dan kesiapan tersebut diperlukan agar kelak calon mempelai bisa membina keluarga yang sakinah, mawadah, dan warahmah.