Soften berucap dengan semangatnya pada Ernue. Baru kali ini dia melihat masjid tanpa dinding. Awalnya tampak begitu aneh, tapi orang-orang di sana tak mempermasalahkan hal itu.
“Kau pasti bercanda. Ah, nggak lucu.”
“Ini sungguhan, aku melihatnya dengan mataku. Meski rabunku sudah bertambah, tapi itu masih terlihat.”
“Lalu bagaimana mereka bisa menghindari hujan ataupun panas.”
“Aku tak tahu, besok aku akan menanyakan itu pada takmirnya.”
“Kamu berani?!”
“Why not?”
Pria yang bulan November mendatang jangkap berusia 24 tahun itu masih menggelengkan kepala. Darimana sebuah ide untuk membangun masjid tanpa dinding. Atau mungkin itu hanya kebetulan karena mereka masih kekurangan dana. Apa para orang-orang desa di sana tak punya uang, atau mereka terlampau pelit, atau juga tak ada subsidi dari pemerintah? Entahlah, yang pasti pemandangan itu masih terlintas berulang kali di kepalanya.
Malam hari langit tampak mendung. Tak ada chat dari Nirma. Kekasihnya yang sudah dia pacari sejak SMA kelas XI. Heran saja, suasana tampak sangat mendukung lamunannya malam itu. Udara yang dingin, segelas kopi panas, dan tak ada bising notifikasi yang mengganggu telinganya, meskipun kadang dia sangat mengharapkannya. Namun Soften tampak sangat tenang di jendela kamarnya.
Besok dia akan mengantar barang lagi. Pagi, kalau bisa lebih pagi dari biasanya. Agar dia bisa menyempatkan sedikit waktu untuk ke masjid itu. Bertemu takmirnya, bertanya segala penasaran yang timbul di benaknya sejak malam tadi. Dia memutuskan tidur lebih awal.
Paginya pemuda itu berangkat ke kantor lebih awal. Mengenakan baju seadanya, membawa tas dikalungkan di pundaknya. Beserta dengan semua beban hidupnya, beban pengharapan terhadap pekerjaan dengan gaji tak seberapa. Tapi apa yang disodorkan dunia pada pemuda itu tak pernah menjadi pilihan. Dia tak pernah punya pilihan karena jalan yang diambilnya bukan melulu soal takdirnya. Tapi juga soal mereka yang Soften sayangi.
Menuju siang Soften mencuri waktu di sela jam istirahat yang sempit. Ia menyusuri gang-gang agar bisa menghemat waktu ke Masjid. Kali ini dia bertemu dengan Pak Gilbas, pemegang kunci di sana. Meskipun itu hanya suatu kiasan karena masjid itu tak berdinding. Lalu untuk apa sebuah kunci tanpa lubangnya, karena di sana juga tak berpintu. Mereka berdua mudah sekali akrab, seperti di masa silam pernah menjadi karib, lalu setelah terlahir kembali bertemu atas jalan dari benang merah takdir.
“Tapi kenapa!? Apa tidak takut barang-barang di sini diambil maling?”
“Memang ada barang apa di sini?” Tanya Pak Gilbas enteng.
“Kita terlalu banyak hidup dalam ketakutan, Le. Bahkan masalah hal yang harusnya jadi prerogatif Tuhan juga kita takutkan. Seakan dia gak bisa liat aja,” kelakarnya.
Tak ada tujuan lain kenapa di masjid itu tak dibangun berdinding. Bukan karena tak cukup dana. Bahkan kamar mandi masjid terlihat lebih mewah daripada bangunan utamanya. Semua dana yang diperuntukkan untuk pembangunan masjid dibagikan kepada orang-orang yang tak mampu. Bisa dibilang tak ada rasa nyaman ketika beribadah di sana.
“Lah nyaman itu kan masalah rasa, bukan penempatan dhohir atas diri kita. Meskipun tempat juga mempengaruhi.”
“Yang terpenting itu hati, yang membatasinya itu isi kepala. Dan yang menjalaninya itu raga.”
Pemuda itu termenung sejenak. Merekam semua pembicaraannya dengan sang takmir. Mencari celah untuk kembali melayangkan pertanyaan demi pertanyaan. Namun semakin dia bertanya, semakin dia tersekap pula pada pertanyaannya sendiri. Seakan lamunannya melayang ke masa lalu. Saat lukanya terbuka lebar melihat api yang meluap-luap.
“Mas?”
“Bagaimana dengan hati yang penuh dendam?” Soften bertanya tanpa mengedipkan mata. Menatap sang takmir sedikit dalam.
“Ada yang bilang mata dibalas mata, nyawa dibalas nyawa. Tapi itu tak mengubah apa pun,” jawab sang takmir.
“Ada bara di matamu mas, dan nyala apinya hitam. Bila itu berkenaan dengan kami, saya meminta maaf dengan amat sangat.”
Tak lama setelah takmir membicarakan hal itu Soften berpamit.
Esok harinya di sebuah surat kabar, ada berita tidak mengenakkan. Dari hal tersebut siangnya beberapa polisi datang, meminta keterangan pada tetua adat di sana. Meskipun didampingi oleh kepala desa, namun tetua yang juga takmir itu merasa bertanggung jawab, dan harus menjelaskannya di kantor kepolisian.
Di sela kerumunan wartawan yang juga datang berduyun meminta keterangan, terlihat Soften juga mengamati dari kejauhan.
“Diam!”
Satu entakan suara itu membuat semua kerumunan yang riuh itu hening bagai air telaga.
“Bolehkah saya lewat?” si takmir dengan sopan dan nada halusnya meminta jalan.
Kerumunan itu membelah dengan sendirinya. Bahkan cengkraman tangan polisi yang menempel di bahu takmir seketika udar dengan sendirinya. Takmir itu lalu berjalan ke arah pemuda 24 tahun itu.
“Entah tanggal berapa, tapi setidaknya aku tak lupa beberapa tahun lalu. Seorang anak menangis di depan rumahnya yang menyala. Itu kau kan?.”
“Iya pak, dan dendam itu masih berkobar di sini,” sambil menunjuk dadanya.
“Masjid tak berdinding ini karena kalian membawa semua hartanya bukan? Padahal dengan ketulusan pria itu datang dari perantauannya bersama anak istrinya untuk membantu. Kini semuanya setimpal pak.”
“Maafkan bapak, dulu memang kami terkena hasutan orang itu. Meskipun, setelahnya kami tahu bahwa kami ditipu.”
Semuanya kembali ke desa tersebut saat ayah Soften ingin membangun masjid di lahan bekas buyutnya. Namun semua berkas diambil dan diakui oleh kepala desa yang lama, diatasnamankan miliknya, dan menuduh ayah Soften sebagai penipu. Menfitnahnya bahwa masjid cuma akal-akalan untuk menutup pekerjaan ayahnya yang sebenarnya pengedar narkoba. Walaupun beberapa tahun lalu, warga desa melihat di berita, bahwa ada orang-orang di balik layar yang menyelidiki kasus korupsi di pelosok desa. Dan salah satunya adalah ayah Soften.
Namun sebelum ada penjelasan, warga desa terburu dimakan amarah. Rumah Soften dibakar, dia dan ibunya diusir. Dan ayahnya diamuk massa dan tanpa sengaja terbunuh ketika warga mengeroyoknya.
“Maafkan saya.”
“Tak ada kebijaksanaan yang dibangun dari kebohongan. Dan tak ada kedamaian bagi orang yang menutupi kebenaran.”
Akhirnya sang takmir menyerahkan dirinya. Atas tuduhan pembunuhan dan provokasi massa yang dia lakukan pada ayah Soften. Serta pencurian berencana atas hak milik tanah dari ayah Soften yang dilakukannya dengan mantan kepala desa yang masih buron.